Bagian Tiga

30.9K 2.1K 90
                                    

Jakarta, 20 November 2015

Irfan langsung menginjak pedal rem kuat-kuat saat seorang anak kecil tiba-tiba berlari ke tengah jalan. Lelaki itu hanya melajukan mobilnya pelan karena dia sudah melewati jalanan kompleks perumahan. Dia sontak mengembuskan napas lega karena jarak mobil dengan anak itu masih berkisar dua langkah kaki orang dewasa.

Irfan segera keluar dari mobilnya untuk menemui anak itu. Dia kontan terkekeh lirih seraya mengusap alis tebalnya saat tahu anak lelaki itu justru tampak tenang mengambil bolanya yang berada di tengah jalan.

"Hey, anak kecil. Kamu tahu akibatnya kalau tidak hati-hati mengambil bolamu di tengah jalan seperti ini? Kamu bisa saja tertabrak mobil dan akan dibawa ke rumah sakit. Kamu tahu? Berada di rumah sakit dengan disuntik beberapa kali itu rasanya tidak enak," kata Irfan dengan ekspresi bergidik saat anak kecil itu sudah kembali ke pinggir jalan.

Anak yang ditaksir berusia 5 tahun itu hanya menatap Irfan dengan pandangan asing. Melihat reaksi anak itu, Irfan makin bertambah geli.

"Lekaslah masuk ke rumah," saran Irfan seraya melirik arloji di tangan. Dia mendengus pelan. Lalu, menggeleng-geleng heran. "Bahkan ini sudah jam 8 malam. Kamu masih sempat-sempatnya main bola? Lebih baik kamu segera tidur," pintanya dengan menepuk lembut puncak kepala anak itu.

"Kak Athar!" seru seseorang dari arah pekarangan rumah.

Irfan kontan menoleh ke sumber suara. Dia terkesiap. Seseorang itu tampak jauh berbeda dengan yang terakhir dilihatnya pada pertengahan tahun 2005 silam. Wanita itu terlihat lebih kurus dengan pipi yang tirus. Meski sudah berubah banyak seperti itu, Irfan masih bisa mengenali siapa sosok wanita yang tengah menggendong seorang bayi yang masih terjaga tersebut.

Irfan terus mengamati sampai wanita itu menyadari keberadaannya ketika sudah mencapai pintu pagar yang terbuka sempurna. Wanita berambut lurus sebahu yang dikuncir asal itu tampak terkejut. Namun, beberapa saat kemudian dia segera menutupi keterkejutannya dengan mengalihkan pandangan pada putranya.

"Kamu itu ya ... kalau main bola tidak kenal waktu. Lekas masuk sana! Bang Gibran sama Mas Abyan nyariin Kak Athar."

Anak lelaki yang dipanggil Athar itu menurut pada ibunya. Dia gegas berlari kecil memasuki halaman rumah.

Selepas kepergian Athar, keheningan mulai merayap. Beberapa detik berlalu, mereka hanya diam dengan pikiran masing-masing.  Irfan melirik wanita yang masih bergeming di tempatnya itu. Dia Andina Maelani, sosok yang pernah mengisi hatinya bertahun-tahun lamanya. Dari jarak sekira dua meter—dengan penerangan lampu jalan yang bersinar benderang, Irfan semakin meyakini jika penampilan Andina sudah banyak yang berubah. Kulit kuning langsatnya yang dulu tampak merona dan bersih, kini sedikit kusam, mengkilap di bagian wajah dan seperti tidak pernah dirawat. Tubuhnya juga terlihat layu, selayaknya bunga pukul empat sore yang lama tidak disirami.

Kelopak mata Irfan menyipit ketika dia menangkap ada dua goresan bekas luka sayatan di pipi sebelah kiri Andina yang tirus. Irfan bisa meyakini jika itu seperti luka akibat disengaja, bukan karena kecelakaan. Lelaki itu terhenyak setelah mengetahui kemungkinan apa yang terjadi dengan Andina.

Andina menyadari tatapan Irfan yang tertumbuk pada dua bekas luka di pipi kirinya. Goresan di bawah bahkan memanjang dari ujung bibir hingga ke bagian tengah pipi. Wanita itu merapatkan gendongan pada bayinya. Dia lekas berbalik. Lalu cepat-cepat menutup pintu gerbang. Meninggalkan Irfan yang hanya mematung dengan banyak pikiran berkelindan di benak lelaki itu.

Episode Kedua (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang