I am Not Fine

0 0 0
                                    

Taeyeon melangkah gontai menuju halte bus. Bukannya tak mau menelepon Namjoon,hanya saja dia terlalu gengsi. Dia tidak tahu apakah Namjoon juga sama merindukannya seperti dia. Rasa sesak menghampirinya ketika mengingat kejadian di kantor tadi,bagaimana bisa mereka membuatnya menjadi kambing hitam atas kesalahan yang tidak pernah ia perbuat?

Taeyeon mendengus,

"Joon-ah, aku merindukanmu."

Taeyeon meneteskan airmata. Tidak mampu menahannya lagi,lagipula tidak ada siapapun di sini. Kembali menghela napas panjang,dia ingin hari ini segera berakhir. Tubuh dan jiwanya begitu lelah,taeyeon membayangkan kasur empuk dengan boneka Koya hadiah satu tahun anniversary hubungannya dengan Namjoon.

Membayangkan Koya membuatnya kembali mengingat Namjoonnya. Harusnya ia tidak menuduh Namjoon,pria itu hanya sebentar pulang ke Ilsan untuk menemui orangtuanya. Kenapa juga Taeyeon harus marah?

Arghhhhhhhhhhhh.

"Hiks  hiks. Joon-ahhhh aku merindukanmu, kenapa kau tidak menghubungiku sih? Apa kau tidak merindukanku juga."

Taeyeon menangis sambil berbicara pada ponselnya. Biar saja orang melihatnya seperti orang gila,mereka tidak tahu betapa buruk harinya.

Ketika melihat bus berhenti di depannya, cepat-cepat dia naik lalu memilih kursi paling belakang sebelah kanan. Itu adalah kursi favorite Namjoon.

Lagi.

Taeyeon ingat pertemuan pertamanya dengan Namjoon beberapa bulan sebelum mereka resmi berpacaran dan tinggal bersama. Pria tinggi itu duduk di bagian belakang bus yang Taeyeon temlati sekarang.

Hari itu terhitung masih pagi,Namjoon memakai kaos yang di padukan dengan kemeja. Kakinya di balit jeans namun masih terkesan rapi.

Casual.

Sopan.

Manis.

Lesung pipit.

Hal itulah yang pertama kali jadi perhatian Taeyeon. Pria itu tersenyum ketika memeberinya sebuah kuncir rambut sambil berkata,

"Kau akan terlihat cantik ketika rambutmu di ikat. Aku yakin perusahaan tempatmu melamar pasti akan langsung menyukaimu. Percayalah."

Dan gotcha!.

Namjoon benar.

Taeyeon di terima dan berhasil memberi kesan baik. Semua proses test entah itu wawancara atau test tertulis di lewatinya dengan lancar.

Esoknya mereka kembali bertemu di dalam bus. Kali ini Taeyeon menyapanya lebih dulu, mengucapkan terimakasih padanya. Dari pembicaraan mereka saat itu,Taeyeon tahu kalau Namjoon seorang guru bahasa Inggris di salah satu sekolah favorit Seoul. Dan lebih gilanya lagi,Dia lulus dengan predikat Doktor di usia yang masih sangat muda.

Dua puluh tiga tahun.

Taeyeon tersenyum mengingatnya. Skor TOEIC Namjoon juga mendekati sempurna,850. Wahh, pantas saja dia jadi guru di sekolah favorit saat usia masih muda.

Si tampan yang jenius.

Taeyeon begitu merindukannya.

Taeyeon langsung turun begitu sampai di halte dekat apartemennya.

'Aku akan langsung mandi setelah itu tidur. Tidak perlu ada acara tangis-tangisan.'

Begitu batinnya.

Namun begitu ia melangkah masuk ke apartemennya,dia menemukan sosok tinggi yang dia rindukan tengah tertidur di ruang keluarga. Televisinya menyala.

'Apa kau menungguku Joon-ah?'

Seketika seluruh bebannya terangkat. Dia berjalan lalu berlutut di depan Namjoon yang tengah berbaring. Tangisnya sudah tidak bisa di bendung lagi. Dia memeluk pinggang Namjoon dan menangis sesenggukan hingga akhirnya dia merasa sebuah tangan besar mengusap kepalanya.

Pria itu ikut berlutut.

Ah tidak.

Dia duduk dan memeluk Taeyeon yang menangis dalam hening yang tercipta. Bias oranye sore itu menyaksikan rapuhnya seorang Kim Taeyeon. Namjoon tidak mampu bicara,dia hanya mengelus kepala Taeyeon dan memeluknya erat.

Dia tahu gadisnya lelah.

Namjoon tahu,ketika seseorang terkena masalah. Dia tidak menginginkan saran atau apapun,Dia hanya butuh di dengar dan di peluk.

Menyalurkan kekuatan yang di milikinya untuk si lapins.

"Hei lapins... apa terjadi sesuatu di kantor? Are you okay?"

Taeyeon mendongak menatap Namjoon dengan gurat khawatir yang terlihat melalui kerutan di dahinya.

"Joon-ah,i am not fine."

Fin_

Note:

Lapins : Kelinci

ShortFicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang