"Enam bulan lagi, kamu akan merayakan ulang tahunmu yang ke-25. Jadi, kapan kamu berencana menikah?" Pak Dirga menanyakan dengan nada penasaran kepada Mika, putra semata wayangnya yang baru saja menyuap sebutir nasi ke dalam mulutnya.
Mika terkejut, hampir tersedak sebutir nasi yang terpaksa dikeluarkannya kembali, sementara sebutir nasi lain tersangkut di tenggorokannya. Ia tersedak dan batuk dengan keras.
Siska, istri Pak Dirga, cepat-cepat menyodorkan segelas air putih pada putranya.
"Pi, bisakah kita tidak membahas ini di meja makan?" ujar Mika setelah meneguk habis air dalam gelas tersebut. "Ini bikin aku kehilangan selera makan."
"Memang di luar meja makan ini, kapan lagi kamu punya waktu untuk membicarakannya?" Siska menarik napas panjang. "Ingat, Mika, jika pada saat ulang tahunmu yang ke-25 nanti kamu belum menikah, kamu tidak akan mendapatkan sepeser pun dari harta Opa. Semua akan secara otomatis disumbangkan ke beberapa yayasan yang sudah ditunjuk oleh Opamu semasa hidupnya."
Mika, yang berkulit putih dan berhidung mancung, menarik napas panjang. Ia tahu bahwa ia harus menikah sebelum ulang tahunnya yang ke-25 dalam waktu enam bulan jika ingin menjadi ahli waris Opa. Sebagai satu-satunya cucu, dia diharapkan bisa meneruskan semua usaha Opa yang telah dibangun sejak muda.
Tidak ada yang benar-benar mengerti mengapa Opa membuat wasiat yang tampak aneh seperti itu. Usia 25 tahun masih sangat muda untuk seorang pria, dan rasanya sangat wajar jika belum menikah pada usia semuda itu.
Sebenarnya, bukanlah hal yang sulit bagi Mika untuk mencari calon istri. Namun, hatinya telah membeku setelah pengkhianatan yang dilakukan Vera setahun lalu.
Mika menoleh ke arah Oma yang sedang makan disuapi oleh Rana, perawat yang disewa oleh kedua orang tuanya. Matanya bertemu dengan mata Rana yang tampak tiba-tiba canggung. Rana, gadis dengan seragam pink dan rambut dikepang sederhana, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya dengan mengelap bibir Oma yang terkena sedikit bubur.
"Mau lagi, Oma?" tanya Rana dengan suara lembut, berusaha untuk menenangkan jantungnya yang berdetak kencang.
"Tolong antar aku ke kamar saja, Rana," kata Oma sambil meneguk air minum, masih dengan tatapan lembut.
Keluarga Dirga Wijaya memang telah menyewa beberapa perawat untuk merawat Oma yang sudah tua dan lumpuh. Namun, Rana adalah perawat yang paling dekat dengan Oma. Rana dikenal karena kesabaran dan ketelatenannya, meskipun Oma kadang bersikap tidak menentu.
"Nikahkan aku dengan Rana, Pi," kata Mika tiba-tiba saat Rana baru saja memutar kursi roda Oma hendak menuju ke kamar.
Rana terkejut dan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia menoleh ke arah Mika yang tampak serius, sementara Pak Dirga tidak dapat mempercayai apa yang baru saja dikatakannya.
"Kamu bercanda, Mika?" tanya Pak Dirga dengan nada skeptis.
Tentunya, siapa yang akan percaya jika tiba-tiba seorang pria tampan, bertubuh atletis, dan lebih mirip dewa Yunani meminta orang tuanya untuk menjodohkannya dengan Rana, gadis biasa yang kebetulan bekerja di rumah mereka?
"Aku setuju," kata Oma, membuka suara dengan keyakinan. "Rana adalah gadis yang baik. Aku menyukainya."
"Tapi, Oma..." Rana mencoba menyangkal, tetapi kata-katanya terputus. Ia merasa bingung dan tidak tahu harus berkata apa.
"Papi lihat kan? Bukan aku yang terlalu pemilih. Tapi memang tidak ada yang mau menikah denganku. Bahkan Rana pun menolakku," Mika berkata sinis.
"Jangan bilang begitu!" batin Rana, merasa tertekan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever
RomanceRana diam-diam mengagumi cucu dari majikannya. Meskipun laki-laki itu begitu dingin, namun pesonanya terpancar kuat dan mampu membuat siapa saja mendadak jatuh cinta padanya. Termasuk Rana, gadis biasa saja. Rana sering berkhayal berada dalam peluka...