Mika mematikan Laptopnya, jam di dinding menunjukkan pukul sebelas malam.
Ia merentangkan kedua tangannya untuk meregangkan otot-ototnya yang tegang setelah berjam-jam memeriksa berkas-berkas kerjanya.Mika meninggalkan ruang kerjanya dan membuka pintu penghubung menuju kamar tidurnya.
Kamar itu kosong. Ranjangnya masih terlihat rapi dan lampu masih menyala. Ia berjalan menuju toilet, mengecek apakah Rana ada di dalam toilet. Tenyata tidak.
Mika membuka pintu kamarnya dan menuruni tangga menuju dapur. Lampu dapur yang masih menyala walaupun sedikit redup membuatnya yakin, Rana ada di sana.
"Kenapa belum tidur?" Tanya Mika yang ternyata mengagetkan Rana yang sedang termenung.
"Belum ngantuk." Jawab Rana singkat kemudian menyeruput minuman di hadapannya.
Mika mengamati minuman yang baru saja diminum oleh Rana. "Apa ini?"
"Susu pakai remahan oreo."
"Enak?" Mika mengambil posisi duduk di samping Rana.
"Mau aku buatin juga?"
Mika tak menjawab, melainkan langsung menyeruput minuman milik Rana.
"Sabtu besok, kalau gak keberatan, masak agak banyak ya."
"Buat apa? Ada tamu?"
Mika mengerutkan keningnya. "Aku ulang tahun. Kali ini aku gak mau ngadain pesta. Aku cuma mau kita makan bareng keluarga aja. Jangan lupa undang keluarga Paman. Nanti aku suruh supir buat jemput mereka. Masak sebisamu aja. Selebihnya biar pak koki yang masak. Yang penting ada masakanmu. Aku undang beberapa orang juga buat datang."
"Oke." Rana mengangguk. "Mika, sampai kapan kita seperti ini?"
"Maksudnya?"
"Hubungan ini gak sehat." Rana menarik nafas panjang. "Ini bukan rumah tangga yang sebenarnya. Bukan rumah tangga yang diharapkan perempuan manapun."
"Gak sehat? Karena gak ada hubungan intim?" Mika memperbaiki duduknya. "Bukannya itu kamu yang mau? Kamu kan yang minta supaya kita gak lakuin itu kalau aku belum cinta sama kamu? Kenapa sekarang justru sepertinya aku yang bikin semua perjanjian itu?"
Rana diam. Ia tak tau lagi harus mengatakan apa. Beban di hatinya belum hilang sepenuhnya.
"Makan yuk!"
"Mau aku buatin sesuatu?"
"Gak usah. Kita pergi keluar."
"Tapi ini udah malem banget, Mik."
"Kenapa? Kamu takut digrebek Satpol PP? Kan keluarnya bareng aku." Mika berdiri dan menggandeng tangan Rana menuju garasi rumah. "Naik motor gak keberatan kan?" Rana menggeleng.
Ini pertama kalinya Mika mengajaknya pergi dengan sepeda motor.
"Pegangan kalau gak mau ciuman sama aspal." Rana pun menggenggam baju bagian pinggang suaminya. "Kamu pikir aku tukang ojek?" Rana merain kedua tangan Rana dan mengarahkannya untuk melingkari pinggangnya.
Motor yang mereka tumpangi menembus dinginnya malam dengan kecepatan sedang. Rambut Rana yang tergerai berkibar-kibar dengan bebas.
"Ran..." panggil Mika sambil tetap konsentrasi pada kendaraan yang ditungganginya.
"Hmm..."
"Ternyata sekecil itu ya? Sampe punggungku pun gak berasa apa-apa."
Sedetik kemudian Rana mencubit pinggang Mika yang dibalas dengan gelak tawa.
Mereka tiba di sebuah warung tenda yang tidak terlalu besar namun bersih, cukup terang dan rapi. Tendanya berdiri di depan toko yang sudah tutup.
"Yang biasa dua porsi ya, Pak. Sama teh angetnya sekalian." Ujar Mika sesaat setelah masuk kedalam warung tenda.
"Siap Den Mika." Bapak penjual tersenyum ramah sambil mengacungi jempol. "Tumben Den?"
Mika hanya menjawab dengan sebuah senyuman sambil duduk di sebuah kursi yang menghadap meja panjang. Rana duduk di sebelahnya.
"Sering kesini?" tanya Rana.
"Iya. Dulu waktu SMA hampir setiap malam aku kesini buat makan. Dan ini jadi salah satu makanan favoritku. Tapi udah lama banget aku gak kesini karena emang gak pernah keluar malam lagi."
"Kenapa? Katanya favorit?"
Mika mendekatkan bibirnya ke telinga Rana "Karena harus ngelonin istri yang belum bisa digrepe-grepe. Hahaha" Mika tertawa jahil. Alhasil pinggangnya kembali menjadi sasaran cubitan Rana.
"Kamu harus cobain bebek goreng disini, Ran. Enak banget." Mika mempromosikan makanan kesukaannya saat salah satu pegawai di warung tenda tersebut membawakan pesanannya.
Dua porsi bebek goreng dengan asap mengepul dihidangkan di hadapan mereka dengan masing-masing dua sambal berbeda.
"Gede banget."
"Sebenernya gak segini, cuma aku biasa pesan porsi spesial, setengah ekor bebek goreng pakai dua sambal. Kamu harus cobain sambal mangganya. Juara banget." Mika menyeruput teh hangat di hadapannya.
Rana membagi nasi di piringnya menjadi dua, setengah bagiannya diletakkan di piring Mika. Mika tersenyum kemudian berdiri di belakang Rana. Ia merapikan rambut Rana dan mengikatnya dengan sebuah karet gelang yang tidak sengaja ditemukannya di meja.
"Biar makannya gak keganggu." Mika kembali duduk di kursinya. Giliran Rana yang tersenyum.
Mereka mulai menikmati makanan mereka. Dan benar saja, sambal mangga yang disajikan lain dari sambal mangga yang pernah Rana coba sebelum-sebelumnya. Pantas saja Mika sangat menyukainya.
Perpaduan pedasnya cabai dan asamnya mangga muda terasa sangat segar dan nikmat dipadukan dengan bebek goreng yang garing di luar namun lembut si dalam.
"Boleh duduk di sini kan?"
Mika dan Rana menengok. Vera sudah duduk di hadapan mereka.
"Silahkan." jawab Rana berusaha biasa saja.
Vera tak mengindahkan Rana. "Tumben kemari, Mik?" Mika tak menjawab.
Mika mengulurkan tangannya ke piring bebek goreng milik Rana. Ia memisah-misahkan daging bebek dari tulangnya untuk memudahkan Rana makan.
"Uhuuuk... uhuukkk..." Tiba-tiba Rana terbatuk. Tersedak biji cabai.
Mika dengan gesit mengambilkan gelas berisi teh hangat dan meminumkannya pada Rana.
"Cobek pecah bisaan aja nyari perhatiannya." Vera mendengus sambil memalingkan wajahnya merasa kesal.
Rana dan Mika meneruskan kegiatan makan mereka tanpa mengindahkan adanya Vera sedikitpun.
"Gimana? Enak kan?" Tanya Mika pada Rana sambil mencuci tangannya di sebuah mangkok kecil yang berisi air dan irisan jeruk nipis.
"Iya, enak." Jawab Rana dengan senyum manis.
"Tapi masakan kamu gak kalah enaknya. Bener kata Oma, aku beruntung banget punya istri kamu." Rana tersipu malu.
"Puji terooooss sampe gede kepala..." celetuk Vera yang tetap tidak diindahkan Rana dan Mika.
"Besok sehabis anter makan siangku ke kantor, kamu pergi belanja ya."
"Belanja apa?" Tanya Rana bingung.
"Baju, tas, sepatu, apapun yang kamu mau. Kamu gak pernah pergi belanja selain sama aku. Buat siapa aku kerja kalo bukan buat kamu? Credit card, debit card, semuanya gak pernah kamu pakai sama sekali. Nikmati itu sayang. Belilah apapun yang kamu mau. Tolong hargai kerja kerasku."
"Mik, aku gak terbiasa dengan semua itu." Rana mencoba membntah suaminya.
"Sok-sokan aja nih gak doyan duit, padahal dalem hati juga girang banget." Vera menyambar kemudian berdiri dan meninggalkan pasangan suami istri yang sejatinya ingin diganggunya. Namun sebaliknya, justru ia yang merasa tak tahan dan panas hati menyaksikan adegan demi adegan di hadapannya.
"Rana aku serius soal tadi. Besok pergilah belanja. Pakai semua fasilitas yang aku berikan."
Rana mendengus pasrah. Sejujurnya ia bingung karena ia terbiasa hidup sederhana sejak kecil. menggunakan barang-barang murah sampa benar-benar rusak dan tidak bisa digunakan. Selain untuk berhemat, ya karena memang dia tidak memiliki cukup uang untuk membeli sebuah barang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever
RomanceRana diam-diam mengagumi cucu dari majikannya. Meskipun laki-laki itu begitu dingin, namun pesonanya terpancar kuat dan mampu membuat siapa saja mendadak jatuh cinta padanya. Termasuk Rana, gadis biasa saja. Rana sering berkhayal berada dalam peluka...