#Chapter 4

461 30 1
                                    


"Wah bisa-bisa saya dipecat ini, Non." Kata koki andalah di rumah besar milik keluarga Wijaya.

"Enggaklah, pak. Masak tetep kerjaan pak koki. Belum tentu mereka suka masakan saya kan?" jawab Rana sambil tersenyum sembari menata sayuran yang baru saja diolahnya. "Tolong lanjutin ya, pak. Saya mandi dulu." Pamit Rana.

Rana menaiki tangga menuju lantai dua dimana kamar Mika yang sekarang juga menjadi kamarnya berada. Ia membuka pintu sebuah kamar besar yang didominasi warna hitam dan putih, warna kesukaan Mika.

Dilihatnya Mika sedang berbaring di ranjang dengan lengan kanan menutupi wajahnya. Rana langsung menuju kamar mandi tanpa berniat mengusik tidur Mika.

"Ini Rana yang masak?" tanya mami sambil menyantap makan malam. "Enak. Harus sering-sering masak ya, Ran." Pujian mami otomatis membuat pipinya memerah seperti tomat.

"Oma mau lagi?" tanya Rana sambil mengelap bibir oma.

"Makasi, Rana. Bisa tolong anter Oma ke kamar?" Rana mengangguk lalu bangkit dan sudah sampai di kamarnya. "Semoga kalian cepet punya anak. Oma kangen suara tangisan bayi di rumah ini."

Uhuk... Uhuk... Rana terbatuk karena kaget.

***

Rana berbaring di ranjang super king size dengan gelisah di bawah selimut. Tiba-tiba Mika masuk ke dalam kamar. Ia tadi berada di ruang kerja yang pintunya terkoneksi dengan kamar tidur.

Rana memejamkan mata pura-pura tidur.

Mika berjalan pelan dan membaringkan tubuhnya di samping Rana.

"Kenapa tidur disini?" kata Rana tiba-tibayang mengagetkan Mika.

"Kamu nggak tau, panjang sofa itu nggak sepanjang badanku? Sepanjang malam aku harus tidur meringkuk. Badanku sakit semua." Keluh Mika.

Mika membuka kaos yang dipakainya dan membuat Rana berteriak. "Mau ngapain?" Rana menutup matanya dengan kedua telapak tangannya.

"Aku memang biasa tidur nggak pake baju." Jawab Mika enteng. "Tenang aja aku nggak bakalan macem-macemin kamu." Rana menarik nafas lega. "Yah kecuali aku khilaf." Mika tersenyum jahil dan Rana melotot sewot.

Mika berbaring di sebelah Rana, mereka sama-sama menatap langit-langit kamar yang remang-remang.

"Kamu pernah punya pacar?" tanya Mika.

"Enggak."

"Kenapa? Nggak ada yang mau ya?"

"Ngawur!" bantah Rana sewot. "Aku nggak mau bikin paman dan bibi kecewa. Mereka sudah sangat baik menampungku selama ini. Aku takut nilaiku turun dan beasiswa dicabut yang akhirnya merepotkaan mereka."

"Kenapa kamu tinggal sama mereka?"

"Aku nggak punya siapa-siapa selain mereka, Mika. Cuma mereka keluarga yang aku punya setelah ayah dan ibu meninggal."

"Rumah orang tuamu dimana?" tanya Mika penasaran.

"Nggak begitu jauh dari rumah paman. Tapi nggak layak huni. Sebenernya aku bercita-cita memperbaiki rumah itu. Supaya bisa aku tempati dan gak merepotkan paman dan bibi. Tapi uangku nggak pernah terkumpul. Gajiku setiap bulan hampir selalu habis."

"Buat apa? Bukannya Mami memberimu gaji yang lumayan?"

"Iya memang. Tapi aku harus balas jasa sama keluarga paman. Setiap kali terima gaji, aku langsung membelikan beras dan beberapa kebutuhan pokok lainnya. Belum lagi anak-anak paman. Mereka sekolah butuh biaya dan aku nggak bisa liat paman dan bibi bekerja keras buat memenuhi kebutuhan mereka. Aku nggak bisa berbuat banyak untuk bales jasa baik mereka ke aku." Mata Rana berkaca-kaca. Untung kamar dalam keadaan remang-remang sehingga Mika tidak dapat melihat matanya yang mulai banjir.

ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang