Appa

952 152 25
                                    

Seungcheol membeku, dia merasa seluruh tubuhnya bagai dipaku di tempat. Lengan yang melingkari pinggangnya itu mengerat, membuat napasnya sulit unyuk ditarik. Lebih dari itu semua dia jadi kagok mendengar sesenggukan itu semakin menjadi-jadi dan tidak ada tanda-tanda bahwa Jihoon akan berhenti menangis segera.

Bukan apa-apa, pasalnya Jihoon yang menangis dalam dekapannya ini berbanding terbalik dengan pemuda setengah vampire yang dia kenal, seungcheol tidak tahu harus berbuat apa jika Jihoon tiba-tiba berubah seperti ini.

Dia terbiasa bertingkah tenang menghadapi Jihoon yang selalu saja punya seribu macam cara untuk mengalihkan perhatiannya, membuatnya lengah, dengan itu si vampire akan mendapat lebih banyak kesempatan untuk kabur, tapi alih-alih melancarkan aksi pelarian diri yang kesekian kalinya Jihoon justru mendekapnya bak ingin melekatkan tubuhnya pada seungcheol dengan air mata dan ingusnya sebagai lem perekat.

Seungcheol tidak perlu melihat untuk mengetahui bahwa sekarang bajunya telah basah dan kesalahan itu terbagi rata untuk air mata dan lendir hidung jihoon.

appa…” kata-kata itu juga belum berhenti dia gumamkan dan setiap kata-kata itu terucap seungcheol merasa tubuh itu semakin menduselnya.

“Ji, sudah-“

appa…

Makin pecah tangisan itu jadinya. Makin salah tingkah seungcheol dibuatnya.

Jihoon merengek, terisak, sesenggukkan hingga meraung-raung, enggan dipisahkan dari seungcheol dan tangisan itu bagai datang dari seorang bocah yang baru saja berhenti mengenakan popok dan untuk pertama kalinya takut dimarahi setelah terpergok terkencing-kencing di celana.

Seungcheol kelabakan. Dengan kikuk tangannya menepuk-nepuk punggung kecil jihoon yang tak henti-hetinya berguncang sambil mengeluarkan suara-suara lembut yang menenangkan.

“shhh ...” hanya itu yang mampu seungcheol lakukan sembari tangannya sibuk mengusak surai Jihoon.

Perlahan, seiring suara denting jarum jam yang seakan setiap detiknya melahap waktu fana yang tidak berlaku bagi mereka itu, Seungcheol merasakan bahu Jihoon tidak berguncang sehebat sebelumnya, pemuda itu lebih tenang walaupun sesenggukannya masih ada. Jihoon mungkin benar-benar sudah tenang atau dia hanya lelah.

“lelah?” seungcheol bertanya. “mau tidur?”

Jihoon mengangguk dalam pelukannya namun kakinya bergeming saat Seungcheol berusaha menuntunnya ke kamar.

“gendong…”

Seungcheol berhenti untuk menyadari bahwa dia tidak salah dengar, bahwa Jihoon benar-benar merengek, bahwa bibir itu mengerucut.

Jihoon mengusap ingusnya dengan lengan piama kebesaran milik seungcheol yang dia kenakan. Sama sekali tidak risih dengan ingus yang sekarang malah meluber hingga pipi kanannya. Matanya yang berbinar karena air mata itu masih mengerjab-ngerjab penuh penantian. Namun yang seungcheol lakukan justru membersihkan lendir hidung jihoon dengan benar menggunakan sapu tangannya.

Jihoon menggeleng dan lagi-lagi merengek. “gendong!” ko’ornya. Tangannya terlentang di udara, siap mengalungi leher seungcheol.

Suara yang kekanak-kanakan bernada tinggi kali ini jihoon pekikan ketika tubuhnya terangkat dengan mudah oleh kedua lengan sengcheol. Kakinya meninggalkan tegel untuk melingkar di pinggang seungcheol yang menggendongnya ke kamar tamu, tempat dimana dia tidur.

Dia mengeluarkan suara seperti terkesiap saat tubuhnya terhempas ke material empuk kasur. Tubuhnya yang ringan sampai terjungkal ke belakang namun Jihoon justru terkekeh. Kekehan kekanak-kanakan yang kontra dengan tangisannya beberapa saat lalu yang masih meninggalkan jejak berupa mata sembab dan hidung meler.

Prey (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang