Nightmare

690 115 42
                                    

Jihoon bermimpi.

di dalam mimpinya dia berada dalam kepungan kabut warna-warni yang bernyanyi. nyanyian samar-samar yang terdengar seperti gema. Jihoon tak dapat memastikan apakah suara itu terpantul dari dinding ke dinding yang kasat mata atau terkurung di kepalanya dan menggema di tengkoraknya.

Perlahan suara itu berubah menjadi suara lembut ibunya yang menyanyikan lagu pengantar tidur untuknya saat malam. saat malam terasa begitu dingin dan mengekang. Kemudian Jihoon mendapati dirinya sebagai anak 14 tahun yang terbaring di atas kasur lapuk di rumah kecil mereka dengan ibunya bernyanyi di sampingnya mengiringi suara hujan di luar dan suara tetes air yang jatuh dari atap yang bocor ke dalam ember besi.

Ketika nyanyian itu berhenti wanita itu tersenyum. namun perlahan air mukanya berubah dari kalem penuh perhatian menjadi was-was dan penuh ketakutan.

"Eomma?"

Wanita itu terisak. Jihoon bangkit karena panik. Ingin dia memeluk ibunya sebelum dia sadar akan kehadiran seseorang yang berdiri di belakang ibunya, memenuhi ambang pintu kamar mereka. Kegelapan membuat Jihoon tidak mengenali sosoknya, namun Jihoon kenal mata merahnya yang menyala.

Bahkan di dalam mimpi pun ketakutan yang Jihoon rasakan sekarang begitu nyata dirasa.

"Maafkan eomma." Itu kata-kata terakhir yang wanita itu ucapkan sebelum sosok di belakangnya menyeret tubuh wanita itu menjauh ke luar dari kamar mereka yang harusnya adalah ruang tamu, namun Jihoon tidak dapat melihat apapun kecuali kegelapan di sana. bak ruang hampa yang dibingkai oleh kosen.

"Eomma!"

Bersamaan dengan gelegar guntur, pintu berdebum begitu keras hingga menghempaskan tubuh Jihoon, membuatnya tersentak bangun di kenyataan.

Jihoon terlonjak dari posisi tidur nya yang mengejutkan: tengkurap di atas tubuh Seungcheol yang tidak sepenuhnya terbaring di tempat tidur. Kepala Seungcheol bersandar di headboard, membuat posisinya lebih seperti duduk daripada berbaring dan membuat Jihoon seperti dalam pangkuannya. Lengan pria itu mendekapnya agar tidak terguling jatuh namun tidak terlalu erat.

Jam digital di samping nakas menunjukan waktu 02.00. Jihoon membebaskan diri dari dekapan Seungcheol. Mimpi yang baru saja dia alami membuat dia sadar sepenuhnya.

Masih dengan napas yang terengah-engah dia menghampiri balkon, membuka pintu kacanya. Udara dingin dan kabut yang langsung menerpa tidak menganggunya sama sekali, malahan Jihoon menarik napas dalam-dalam, berharap dinginnya udara akan menenangkan dirinya dan membuat pikirannya jernih.

Namun Jihoon tidak bisa berhenti mengingatkan dirinya sendiri bahwa mimpi tadi tak lebih hanya bunga tidur yang datang karena kegelisahan Jihoon sendiri terhadap suasana baru. Posisi tidur mungkin juga memengaruhi. Jika Jihoon tidur dengan benar mungkin mimpi seperti itu tidak akan datang. Tapi bagaimana pun juga itu cuma mimpi.

Perlahan Jihoon merasakan perubahan suhu udara yang kontras di belakangnya. Maka tak terkejut lagi dia saat mendengar suara serak Seungcheol berujar di balik punggungnya, "sedang apa?" Jihoon diam. "Ayo masuk!"

Jihoon bergeming. Seungcheol kembali berujar, "aku tahu udara dingin tidak akan membunuhmu tapi kau juga harus ingat bahwa aku tidak sepertimu." Katanya. "Masuk dan tutup pintunya."

Respon Jihoon yang masih sama akhirnya membuat Seungcheol bertindak. Dia angkat Jihoon, menggendong tubuh mungil pemuda itu untuk di hempaskan ke kasur, dan walaupun Jihoon menolak untuk bergerak dia tidak menolak saat digendong masuk, itu membuat Seungcheol bergumam dan mendumal, agaknya pria itu sedikit kesal.

Namun tangannya tetap bergerak lembut mengusap kepala Jihoon, membuat pandangan kosong pemuda itu memerhatikannya.

Seungcheol tidak bertanya kenapa karena dia sudah tahu jawabannya.

Prey (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang