Fact

778 141 21
                                    

Jihoon tidak haus, dia pun yakin Seungcheol tahu bahwa dia tidak haus, tapi entah kenapa pria itu tetap menambahkan darahnya ke dalam menu sarapan empat sehat lima sempurna Jihoon.

Napas Jihoon memburu dan tidak stabil, tersengal-sengal seolah dia baru saja mengikuti lari maraton, saat dia menarik dirinya dari bahu Seungcheol—yang punya bekas luka baru—.

Sesak. Rasanya selalu sesak di dekat Seungcheol. Bak sesuatu dalam dirinya terisi penuh. Jihoon tidak yakin apa itu di perutnya atau dadanya.

"Lagi?" Seungcheol bertanya.

Jihoon mengadah. Pandangan mereka bertemu. Tanpa sadar Jihoon menjilat bibirnya, hampir seperti gerakan spontan setelah selesai makan makanan yang sangat kau nikmati.

Tiba-tiba Jihoon bangkit, melangkah mundur beberapa langkah kemudian membenahi pakaiannya yang lusuh karena cara duduk yang serampangan.

"Tidak!" Sahutnya. "Aku tidak punya waktu untuk itu."

Sebelah alis Seungcheol terangkat. Bibirnya membentuk garis tipis menahan tawa: lesung muncul di kedua pipinya. Namun dia tidak berkomentar apapun.

"Kau tahu sendiri, kan, aku sibuk sekarang. Aku tidak bisa terus duduk di sini. Santai-santai, itu bukan pekerjaan orang yang punya karir." Mata Jihoon beralih dari Seungcheol untuk memperhatikan letak kancing baju—yang baru Seungcheol beli untuknya. "Dengar ya, kau tidak membelikan ku baju ini, aku akan membayarmu dua kali lipat untuk ini jika gaji pertamaku sudah keluar nanti."

Ah, Jihoon yang optimis. Dia lupa kapan terakhir kalinya dia seoptimis ini dalam hidup. Padahal jelas sekali bahwa seharusnya tak banyak yang bisa diharapkan dari pekerjaan mudah seperti penjaga toko.

Gaji pertamanya mungkin hanya akan cukup untuk mengembalikan uang Seungcheol yang telah terbuang untuk membeli baju untuknya.

Seungcheol melipat tangan di depan dada. Senyum tipis tersungging di bibirnya. "Oke, mau aku antar?"

Jihoon menggeleng.

"Tahu jalan pulang, kan?"

Jihoon mengangguk, lantas alisnya berkerut, dia melotot pada Seungcheol kemudian melempar pria itu dengan bantal sofa telak di kepala.

Seungcheol tergelak. Lemparan bantal itu tak ada apa-apanya. Tawanya masih menggelegar mendapati wajah Jihoon yang sekarang sudah tampak seperti udang rebus. Di sela-sela tawanya dia berkata, "Jangan bicara dengan orang asing, mengerti?"

Jihoon membisu.

"Jangan pulang dengan orang yang tidak dikenal."

Alis Jihoon terangkat. Dia mencibir, sudah pasti dia akan berkomentar untuk ini. "siapa kau bisa menasehati seperti itu? Lihat lah dirimu sendiri! sesuka hati membawa orang asing pulang,"

Telak. Seungcheol bungkam, namun lebih dari itu ekspresinya yang tidak dapat Jihoon artikan membuat Jihoon menyesal telah bicara tanpa pikir panjang.

Pandangan Jihoon kembali jatuh pada deretan kancing bajunya ketika Seungcheol bangkit dan kepalanya semakin menunduk seiring dengan  suara derap langkah Seungcheol yang semakin dekat. Tubuh Jihoon menegang ketika kedua bahunya disentuh.

Jihoon mengangkat kepalanya, dan seketika dadanya serasa dihantam sesuatu ketika pandangannya bertemu dengan milik Seungcheol.

Hampir Jihoon melupakan fakta bahwa Seungcheol tidak mengenakan apapun untuk menutupi dadanya yang bidang, perutnya yang kencang, lengannya yang kekar, atau bekas lukanya yang segar. Semua jelas, terpampang di hadapan Jihoon dan semuanya tampak berbeda karena Jihoon tidak sedang meminum darahnya—sesuatu yang bisa mengalihkannya dari apapun di dunia ini.

Prey (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang