Pandora

904 134 25
                                    


Jihoon terbaring di atas karpet di ruang tengah apartemen Seungcheol, kedua tangannya tertekuk di belakang kepala. Pikirannya mengelana selagi matanya tak bisa lepas memandangi langit-langit.

Setelah dia hampir saja mati dan mengetahui betapa tersiksanya dijemput ajal, sebuah pertanyaan menari-nari di kepalanya. Bagaimana dulu Jihoon pernah begitu mendambakan momen ini? mati.

Jihoon yakin dia telah melihat sebuah gerbang terbuka di hadapannya—dia hanya bisa berharap bahwa itu surga—sebelum Seungcheol tiba-tiba menyembuhkannya dengan cara aneh yang tidak dia ketahui.

Sekarang setelah kejadian itu berlangsung tiga jam yang lalu, Jihoon masih bergeming dari tempatnya dan takut untuk menutup mata. Seungcheol meninggalkannya sekitar tiga puluh menit setelah Jihoon sadar, setelah Jihoon meminum darahnya untuk yang kedua kali hari ini. tanpa alasan dan keterangan dia meninggalkan Jihoon begitu saja. Dan kali ini Jihoon bersumpah tidak akan keluar dari tempat ini kecuali Seungcheol yang memintanya demikian.

Kotak Pandora telah dibuka, mala petaka telah menyeruak keluar dan memenuhi udara, kesialan telah menimpa Jihoon sekali dan tidak ada kali kedua untuk itu. Kecuali otak Jihoon telah tertinggal di suatu tempat dan tidak dapat ditemukan kembali, intinya Jihoon cukup pintar untuk tidak membiarkan hal itu terulang kembali.

Jihoon menghela napas ketika suara derak pintu yang terbuka menyapanya. Dari sudut matanya dia melihat bayangan seungcheol berjalan mendekat, kemudian  satu bayangan lagi menyusul, lalu satu lagi. Mereka bertiga berdiri di samping Jihoon.

Jihoon terlonjak, terduduk dan mendapati dua orang pria bersama Seungcheol. Mata Jihoon mencermati mereka. Satu orang pria dengan rambut panjang dan senyum lebar, Jihoon bingung harus berkomentar apa tentang parasnya. Dia kelihatan cantik dan tampan secara bersamaan—entah apa itu adil. Dan satu lagi punya eyesmile yang seperti kucing saat tersenyum. Mereka mungkin seumuran, sedikit di atas Jihoon. Mungkin sama seperti Seungcheol, walau Jihoon tidak tahu berapa usia pria itu—maaf, iblis itu.

"Halo!" Yang berambut panjang menyapa.

"Jihoon, kenalkan, ini Yoon Jeonghan dan Hong Jisoo," Seungcheol menunjuk pria berambut panjang dan mata kucing secara bergantian.

"Hai ..."

"H—hai" Jihoon menjabat tangan Jisoo —si pria ber-eyesmile kucing dengan kikuk.

"Senang bertemu denganmu, Jihoon, benar?"

Lagi-lagi dengan kikuk Jihoon mengangguk.

Dia sedang melempar tatapan penuh tanya pada Seungcheol, memainkan alis dan bicara lewat pikiran seolah mereka terhubung dengan seutas benang tipis tak kasat mata antar otak, namun Seungcheol tidak memberikan satu  jawaban pun melainkan hanya gidikan bahu singkat saat Jeonghan mengulurkan tangan.

"Boleh aku menjabat tanganmu juga?"

Seumur-umur tidak pernah ada seorang pun yang meminta ijin pada Jihoon hanya untuk berjabat tangan. Jihoon tidak merasa tangannya adalah bagian terpenting dari tubuhnya yang hanya boleh disentuh orang-orang tertentu saja, maka tanpa keberatan dia menerima jabatan tangan Jeonghan.

Namun nyatanya jabatan itu tidak terasa biasa dengan kedua tangan Jeonghan yang menangkup miliknya. Jihoon dapat merasakan gelenyar sebuah nadi Jeonghan merambat di punggung maupun telapak tangannya dan dia mendapati bahwa itu aneh.

Tetapi tak lebih aneh daripada kenyataan bahwa mata Jeonghan berkilat keemasan seperti miliknya.

Mata Jeonghan melihat ke dalam matanya, menyelami berliannya dengan tatapan kosong yang dingin.

"Berhati-hatilah walau dengan orang yang sangat kau kenal." Katanya begitu datar, hampir Jihoon mengira bahwa Jeonghan tidak sedang bicara kepadanya.

Prey (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang