Back

1.1K 157 13
                                    

Jihoon selalu berharap bahwa hidupnya cepat berakhir. Seperti ayahnya, atau mungkin juga ibunya.

Ibunya.

Jihoon bahkan tidak tahu dimana wanita itu sekarang. Ingatan terakhirnya tentang wanita itu hanya wajah sembab yang kontras dengan senyum yang diukir bibirnya. Jihoon melihatnya dalam pandangan kabur setelah terjaga dari tidur. Langit masih gelap, remang-remang lampu kamarnya membentuk sebuah siluet seorang pria di belakang sosok ibunya yang tengah mengemasi barang.

Bahkan ibunya tak lagi bisa dia kenali. Wajahnya yang kelewat tirus, tulang pipi yang menonjol, mata yang cekung, kulitnya yang pucat. Jihoon ingin bertanya kemanakah wanita itu akan pergi. Namun dia ingat kilatan mata yang memancar dari siluet hitam di belakang ibunya membatukannya.

Dia ingat suara hangat ibunya yang bergetar menyentuh pendengarannya dengan getir, "ibu akan bahagia, Hoon. Jangan khawatir."

Dia ingat punggung ibunya yang kecil, bentuk kepala belakangnya yang indah sebelum semua itu tenggelam oleh sosok hitam tinggi menjulang, pergi, menjauh dan tidak pernah kembali dalam sadar Jihoon.

Mulai saat itu Jihoon selalu terbangun secara mekanik, matanya terbuka lebar tanpa kerjapan menuju kesadaran. Menghapus semua bayangan ibunya yang tersaring di jaring-jaring mimpi.

Jihoon ingin semua itu berakhir. Bukan hanya mimpinya yang menyakitkan, kenangan buruknya, namun juga hidupnya. Toh tidak ada yang menginginkannya, tidak ada yang membutuhkannya, dia bukan alasan untuk siapapun bahagia. Tapi sekarang, Jihoon tidak yakin apa yang dia inginkan. Menjadi abadi sebagai vampir jelas kontra dengan kematian, apalagi saat jiwanya menjadi tawanan.

"Pakai ini!"

Jihoon mengerjab. Dia mengadah dan mendapati Seungcheol. "Apa ini?"

"Lensa kontak." Ujar Seungcheol. "Untuk membuatmu kelihatan lebih ... Normal."

Dengan ragu Jihoon menerimanya. Dia lebarkan matanya agar bisa meletakan lembaran tipis lensa kontak itu dengan benar dan mengembalikan obsidian ke matanya.

Jihoon mengerjab, menatap pantulan dirinya pada cermin yang Seungcheol berikan dan merasa kembali ... Hidup. Dia merasa kembali mengenali dirinya. Senyumnya tidak bisa ditahan untuk tidak diukir.

"Lebih baik bukan?" Ujar Seungcheol. Dua piring omelet dan dua gelas jus jeruk dia letakan di meja makan, masing-masing satu di hadapan Jihoon. Tanpa menunggu jawaban Jihoon dia kembali berujar. "Jangan lupa pakai itu saat berpergian ke luar."

Mendengar itu Jihoon menatapnya seketika. Bahkan walaupun menggunakan lensa kontak matanya berbinar bak onyx yang dipoles. "Maksudmu aku boleh keluar?"

Seungcheol menarik kursi di hadapan Jihoon. Mengabaikan pertanyaan vampir itu untuk memasukan sesuap makanan ke dalam mulutnya, lantas mengangguk.

Namun sebelum Jihoon melompat dari tempat duduknya dan membuat tarian perayaan yang konyol Seungcheol berkata, "tidak untuk sekarang." Yang membuat vampir itu mendengus.

Jihoon kembali menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. Dengan malas dia memainkan makanannya dengan sendok dan garpu, secuil pun lidahnya belum mencecap telur dadar yang sekarang berantakan di atas piringnya tersebut. Pikirannya masih mengelana, mencari-cari alasan agar setidaknya dia bisa keluar dari rumah itu hanya untuk memastikan Seungcheol benar-benar tidak menawannya, memperbudaknya, atau menculiknya, hal-hal buruk semacam itu.

"Semua barang-barangku ada di rumah." Kata Jihoon. "Setidaknya aku harus mengambilnya. Uang sewa untuk beberapa bulan ini juga belum dibayar, aku harus memberitahu bibi pemilik rumah sebelum dia membuat laporan di kantor polisi." Kalimat itu berhasil Jihoon selesaikan dengan perasaan membuncah di dada. Dalam hati dia tersenyum bangga mendapati Seungcheol menghentikan gerakan kecil memotong makanannya.

Prey (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang