She

791 128 13
                                    

Pagi selanjutnya Jihoon mendapati dirinya terbangun di tengah-tengah kasur yang lebih lebar dari miliknya, lebih empuk dan harum, di kamar yang bernuansa lebih gelap, penuh perabotan. Semua itu secara keseluruhan menggambarkan Seungcheol, namun pria itu tidak di sana bersama Jihoon.

Hanya Jihoon sendiri. Seraya menghapus kantuk dengan mengusap mata, Jihoon berjalan gontai mencari sosok Seungcheol, berharap mendapati pria itu sedang menggosok gigi di kamar mandi, memanggang roti di dapur, atau menikmati secangkir kopi bersama acara tv pagi di ruang tengah, namun nihil.

"Seungcheol!"

Hening.

Jihoon menjatuhkan tubuh di atas sofa ruang tengah bersamaan dengan helaan napas dalam yang keluar lewat mulutnya.

Rasanya aneh ditinggalkan sendirian tanpa Seungcheol. Padahal Jihoon yakin beberapa hari yang lalu yang dia inginkan hanya menjauh dari pria itu, lari dari rumah ini. Namun sekarang berbeda. Ada perbedaan besar di antara hubungan mereka sekarang dan harus Jihoon akui itu aneh. Aneh yang baik.

Seperti persahabatan antara anjing dan kucing. Hujan di musim panas. Seperti sebatang pohon di tengah gurun tandus. Seperti itulah Jihoon dan Seungcheol.

***

Tampan itu relatif. Pun subjektif.

Dalam hal ini Jihoon tidak menyangkal bahwa Seungcheol termasuk ke dalam orang-orang yang relatif tampan dari sudut pandang Jihoon pribadi, tanpa bumbu-bumbu bisikan pendapat orang lain.

Seungcheol itu tampan, tampan dihitung dari matanya yang lebar, bulu matanya yang panjang, hidungnya yang lebih lancip dari Jihoon dan garis rahangnya yang tegas.

Itu pendapat Jihoon. Dia memang agak subjektif. Tapi kenyataannya Seungcheol memang dilihat tampan seperti itu oleh siapapun.

Darimana dia tahu?

Oh, tentu saja dia tahu.

Itu semua menjelaskan bagaimana tiba-tiba seorang perempuan datang bersama Seungcheol ketika pria itu kembali.

Jihoon melengos ke dapur karena paksaan, itu pun karena dia bersama kepala batunya telah berhasil menolak mentah-mentah Seungcheol yang memaksanya agar pergi ke kamar.

Jihoon tidak bisa tidak merasa dikhianati. Dihina sekaligus. Dia bukan bocah yang tidak harus ikut campur dalam urusan pria dan wanita dewasa. Jihoon sudah dewasa, lagipun dia merasa dikhianati oleh pikirannya sendiri yang berspekulasi bahwa Seungcheol bukan pria hidung belang yang akan bertingkah terlalu baik pada semua orang dan dengan senang hati membawa orang asing pulang.

Kenyataan bahwa Jihoon bukan satu-satunya, menimbulkan sedikit rasa tidak nyaman pada dirinya.

Tidak, Jihoon tidak setuju jika itu disebut cemburu. Cemburu itu hanya terjadi di antara dua pasangan.

Dia hanya merasa terancam. Terancam oleh tubuh semampai perempuan itu, parasnya yang cantik, kemolekan tubuh di balik gaun maroon-nya yang mempertontonkan seluruh lekuk tubuhnya. Dan melihat bagaimana lengan ramping itu begitu pas melingkari milik Seungcheol.

Bahkan jika Jihoon membayangkan dirinya sebagai seorang wanita, dia tetap tidak akan bisa menandingi perempuan itu.

Dia hanya akan terlihat seperti gadis cupu yang memakai kaos oblong dan jeans kemanapun. Mungkin memakai kacamata untuk setidaknya memberi kesan pintar yang sebenarnya hanya mitos.

Dibanding dengan teman perempuan Seungcheol, Jihoon tak lebih dari makhluk kasat mata yang tak dihiraukan.

Dan di sinilah dia, duduk di dapur sendirian, mencoba menarik atensi sebagai makhluk tak kasat mata dari Seungcheol yang wira-wiri di dapur, kewalahan menyiapkan minuman.

Prey (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang