Berkenalan dengan Jingga

150 11 3
                                    

Kata manusia langit hari ini sedang bagus-bagusnya. Warna jingga yang menghiasi langit membuat banyak orang jatuh cinta. Berbeda hal bagiku. Karena warna luka yang sesungguhnya adalah jingga dibalut dengan indahnya.

Langit juga tidak selalu terik ataupun tiba-tiba hujan. Tapi langit juga ada waktunya memunculkan senja dengan warna kemerahan jingga. Jangan dulu bahagia dengan keindahannya. Karena yang indah belum tentu membawa bahagia, bisa saja dia menyampaikan luka. Atau bisa saja indahnya senja dalam warna jingga hanya datang untuk menghibur saja.

Langit kuat ya. Dia tetap memberikan ruang ketika senja datang dan pergi begitu saja.

Langit juga kadang seram ya. Dia bisa menyengat kulit manusia dengan teriknya.

Tapi langit juga kadang suka berduka. Mungkin dia lelah. Maka ruangnya menjadi basah karena tetes air hujan yang begitu derasnya.

Kadang kita tidak boleh terlalu perasa menjadi manusia. Kadang juga sesuatu harus kita tertawakan, bukan malah diratapkan.

Karena orang lain tidak terlalu peduli apa yang kamu rasakan, bisa saja dia hanya menunjukkan sikap kemanusiaan. Atau hanya karena kamu mencuri perhatiannya. Tapi ketika dia sudah bisa mengendalikan, kamu yang masuk ke dalam perangkapnya.

Lagi dan lagi kamu menjadi penyuka warna jingga, dimana yang kamu lihat hanyalah indahnya. Tapi tidak pernah tahu bahwa saat itu kamu yang terluka. Sadis ya.

Sejujurnya kamu tidak perlu berkenalan dengan jingga.
Cukup ketahui bahwasanya langit pernah diposisi indah-indahnya.

Tapi cukup juga kamu ketahui bahwa jingga perlahan berganti menjadi gelap gulita. Karena senja hanya muncul sekejap mata, dan kamu sama saja. Sama-sama indah dan dengan mudah bersikap semena-mena lalu menorehkan luka.

Aku yang salah. Menempatkan di satu ruang pergantian. Harusnya berposisi selayaknya manusia yang merima setiap pergantian musim ataupun waktu. Bukan malah sok menjadi ratu yang seenaknya memilih apa yang ku mau.

Tapi nyatanya kamu yang membuat sang ratu membeku akan sikap dinginmu. Atau pun tergugu ngilu karena perilaku sebercanda itu.

Nyatanya. Kita pernah sedekat kertas dengan ujung pena. Tapi setiap lembarnya kau buat dengan rangkaian cerita yang berbeda. Tentunya bukan aku saja pemerannya.

-Aulia Trisia

(Saat rasa dijadikan bahan canda).

******

Langit BerpuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang