Apa Boleh Buat

123 11 2
                                    

wajahnya datar namun terpancar
kharismanya bagai rembulan
apa boleh buat dan di kata
rasa ini kian tumbuh dan semakin tercemar

senyumnya tipis namun manis
dibilang tampan tapi menawan
gaya tubuhnya bagai magnet
kau takkan kuat,

apalagi dia bicara dan
kau cinta

Dia seperti ilusi
tapi aku ingin memiliki
Dia seperti ada rasa tersembunyi
tapi ternyata itu hanya mimpi.

Aulia Trisia

Jakarta, 2018

*******

Pada sebuah diksi yang menari di pagi hari. Pertemuan kita kala itu ternyata menyimpan banyak sekali teka-teki. Dimulai dengan sebuah tanya hingga akhirnya berakhir dengan rasa. Semesta kadang suka bercanda, mempertemukanku denganmu yang bukanlah tipeku. Karena menurutku kamu itu terlewat tampan, jadi yang bisa kulakukan hanyalah mengagumi bukan?

Setahuku pada tanggal yang menggoreskan diksi seindah lazuardi, aku tidak menyangka bahwa pertemuan denganmu adalah hal tak ku impi-impikan dan tentunya tidak terduga. Bukan. Bukan karena kita sebelumnya pernah bertemu. Hanya saja pertemuan itu terlalu menyudutkanku. Menarik jauh ke dalam jurang, bahwa kamu bukanlah sosok yang pantas walau hanya sekedar duduk bersebelahan saja.

Tapi karena langit kala itu sedang terang-terangnya, cuaca sedang bahagia dan penulis tidak kehilangan tintanya. Maka hari itu juga adalah dimulainya sebuah rasa yang tidak dipaksa apalagi untuk dibuang begitu saja.

"Hai."

Sapaan itu yang terngiang. Bukan katanya yang singkat dan mudah diingat. Tapi karena sapaan itu berbarengan dengan tatapan tajam malu-malu darimu. Malu untuk berbicara dengan orang baru, atau mungkin saja saat pertemuan kali pertama kita membuatmu terpikat. Setidaknya berilusi seperti itu yang ku punya. Menarik bukan? Karena aku tidak akan mudah berpaling dengan yang lain, percayalah. Karena setiap langkah dan tingkahmu selalu terekam di otakku dan juga berubah menjadi diksi yang selalu saja terabadikan.

Pada kota yang penduduknya saling berlomba-lomba, disitulah tempat pertemuan kita.

Pada suatu acara yang tak direncanakan dan apalagi untuk aku siapkan. Disitulah tempat pertama kali aku benar-benar hidup kembali.

Disuatu ruang yang sama kala itu, hanya mata yang kadang suka berkelana merekam jejak suara dan juga gerakmu. Acara kala itu memang benar-benar merepotkan dan juga membosankan. Namun lagi dan lagi melihatmu menjadi minuman ion untuk tubuhku saat itu. Bukan lagi kopi yang selalu membuatku candu. Tapi dengan satu nafas dan juga tidak jauh darimu itu sudah menjadi minuman favorit untukku. Ah iya, itu dinamakan apa? Sepertinya aku sudah kecanduan senyummu.

Kala itu aku mengabadikan pertemuan kita dengan kopi di pagi hari, lalu sebuah diksi selamat pagi dengan kamu yang berceloteh bagaimana sampai saatnya kita bisa bertemu. Tidak. Bukan itu. Hanya saja itu inginku. Tapi nyatanya itu hanya ilusiku. Aku tidak salah kan tuan jika untuk hari itu aku mulai mengagumimu dan menjadikan kamu subjek dari setiap diksiku di pagi hari? Kamu juga tidak akan keberatan bukan jika mulai saat itu kopi dengan senyumanmu adalah perpaduan yang benar-benar tak bisa terkalahkan? Ku harap kala itu juga kau menginginkannya.

Tunggu. Aku ingat sesuatu. Bahwa saat itu adalah pertemuan singkat untuk kita, yang ku ingat adalah ketika aku menyeduh kopi tanpa gula. Entah karena aku lupa atau mungkin untuk sekedar menikmati rasanya. Tidak terlalu pahit, namun pekat terasa, sedikit dipaksa untukku meneguknya. Berharap kamu melihat betapa kuatnya aku sebagai wanita yang pencinta kopi ini. Lebih tepatnya pecinta kopi dengan pemanis senyumnya di setiap pagi.

Selain itu juga, senja adalah saksi mata selain swafoto diantara kita, walaupun ada semut-semut lainnya yang menjadi alibi. Tapi tidak apa, yang terpenting kita bersebelahan, jadi ketika foto itu aku cuci, kamu akan tetap berada disampingku. Mungkin semut-semut yang menggangu akan kucoba edit hilangkan sehingga hanya seperti kita berdua yang sedang foto itu.

Tuan, entah mengapa untuk kali pertamanya aku senyaman itu untuk banyak cerita denganmu. Untuk kali pertamanya juga aku tidak pernah bosan menatap mata itu. Untuk kali pertamanya ketika kamu bercerita tentang dirimu, aku merasakan sesuatu bahwa ada kesamaan diantara kita. Saat itu benakku berkata. "Aku menginginkanmu."

Maka semesta kala itu sedang berbaik hati dengan kita. Entah ada apa gerangannya. Entah apa alasan dari pertemuan kita. Entah mengapa saat itu kamu yang menjadi pusat semesta. Dari rasa yang bersumpah dengan asa, satu yang kuharap dalam doa. Semoga kamu sama menginginkannya, semoga kamu menyukai pertemuan kala itu, semoga kamu pun merasakan hal yang sama. Semoga dari segala semoga, kau lebih indah dari semesta dan rasa yang sudah menetap dalam angkasa.

September 2018, pada sebuah acara. Pada sebuah pertemuan yang tidak disangka. Ku mencintainya.

-Aulia Trisia.

Langit BerpuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang