Datang lagi?

54 1 0
                                    

Langit menghitam. Tanah masih saja basah. Cuaca tiba-tiba dingin. Sorot itu mendalam. Aku antar, kamu memaksa. Tidak, aku lapar. Baik aku temani. Bisa sendiri. Keras kepala. Apa adanya. Ke kedai dulu, kopi menghangatkan. Cukup dengan pelukan. Sini. Boleh? Boleh ku pukul? Kamu mundur. Menunduk. Menghela nafas. Kemudian berbalik. Tiba-tiba saja tangan menghianati. Ku tarik tangannya, sambil bilang, "temani aku." Ah! Lupa jam segini kebab langganan kita sudah mau tutup. Bagaimana kalau kali ini dapurku yang akan menjadi langganan? Aku tenggelam mendengarnya. Lebih tepatnya dalam angan.

Aku ikut. Aku menyanggupi, kataku. Kamu terkekeh garing, duh! Kebabnya terlalu kematangan kan! Hehe, tak apa, aku suka. Ya aku juga. Bukan, bukan. Tidak, tidak. Aku bicara soal kebab. Hei, kata siapa aku mengikuti alur bicaramu? Lalu, bagaimana? Tadi aku membicarakan soal kamu. Ah aku bayar dulu. Sudah ku letakkan dalam laci. Tidak bisa. Aku menyanggupi, apapun yang kamu minta ataupun yang kamu tolak. Tapi. Tapi aku suka. Bagaimana? Nanti, kupikir-pikir dulu. Maaf kali ini, sunyi lebih lantang dari hati.

-Aulia Trisia.

******

Aku menutup catatan kecil itu. Angan ku berputar bagai film. Cerita kita selalu terkenang dan tercatat setiap halamannya. Tuan. Sampai kapan kamu seperti ini? Datang kemudian pulang. Pulang ke hati yang lain. Sedangkan aku hanya dijadikan stasiun, tempat persinggahan.

Semua diksi dalam puisi yang aku tuliskan tidak pernah mengalahkan indahnya senyummu. Saat senja ditelan kegelapan, namun wajahmu bersinar bagai rembulan. Dengan keyakinan, kamu menatapku lalu meyakinkan, aku tidak akan pergi kemana-mana, aku akan selalu bersamamu. Kebohongan. Kebohongan yang kuterima. Kamu menghilang. Lalu datang kembali. Kamu bilang, menghilang bukan berarti pergi. Kataku, yang sudah hilang, selama-lamanya akan hilang.

Kamu itu bagaikan ibukota. Yang kalau rindu bisa pilih pintu mana saja untuk bertemu. Harusnya itu kita layaknya negara. Punya tanggung jawab dan juga aturan-aturan rasa. Seharusnya.

Selayaknya, kita manusia. Tidak bisa memilih dan dipilih. Kita hanya bisa menerima kemudian percaya. Semesta tidak akan salah meletakkan bahagia. Setiap kita ada porsinya. Setiap kecewa ada obatnya. Setiap yang hilang ada yang menggantikannya. Hidup itu memang perjalanan. Setiap petualangan ujung-ujungnya adalah keikhlasan.

Semesta, mengapa semuanya terlihat becanda? Mengapa sesuatu yang menyakitkan itu datang kembali? Kalau emang dia bukan akhir dari cerita, kenapa kamu buat dia jadi tokoh utama? Kenapa rasa ini lebih berkuasa atas diri ini?

Entah sudah berapa banyak kata yang kujadikan nada dalam ilusiku. Aku ingin kata itu bukan hanya sekadar nada, tapi juga bisa berbentuk lagu yang indah. Bukan seperti sekarang, menyakitkan.

Cukup. Apa yang singgah memang tidak akan pernah jadi rumah. Seluruh rasa rindu tidak selalu ujungnya bertemu, mungkin saja obatnya membisu.

Cukup. Jangan lagi datang. Kalau ujungnya emang untuk menghilang. Pun. Jangan lagi kembali kalau ujung dari janji hanyalah ilusi.

Cukup. Jangan sampai. Jangan lagi. Kembali. Lagi. Aku. Ingin kamu berkali-kali.

Tidak. Ini tak bisa lagi. Aku disini. Kata 'kita' sudah mati.

Namun nyatanya, lagi-lagi yang belum usai tidak akan pernah selesai. Aku ditarik lagi. Kebodohan dalam perasaan adalah memaafkan berkali-kali walau sudah hancur tak berbentuk lagi. Sebenarnya, rasa ini yang diciptakan hanya untuknya, atau aku yang sudah dikultuskan olehnya?

Langit BerpuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang