Author's POV
Dengan santai ia melangkahkan kakinya memasuki rumah saat sudah larut malam seperti ini. Ini sudah wajar terjadi, ia sering pulang larut malam karena berbagai alasan yang ia buat. Entah itu benar atau tidak.
Senandung kecil keluar dari mulutnya seiring langkahnya menuju kamarnya di lantai dua. Namun langkahnya terhenti pada pijakan anak tangga ketiga saat menyadari ruangan kecil di dekat tangga menyala diantara seluruh ruangan rumahnya yang gelap.
Kerutan didahinya tercipta, namun beberapa detik kemudian wajahnya kembali datar. Sudah beberapa kali ia menemukan kejadian seperti ini dan ia juga sudah tau siapa yang ada di dalam ruangan itu.
Kakinya mulai menuruni tangga dan berjalan ke rungan tersebut, ia berinisiatif membangunkan pria yang pasti tertidur di ruangan itu. Ayahnya pasti sedang banyak pikiran atau mungkin sedang banyak pekerjaan sehingga ia kembali tertidur di ruang kerjanya itu. Begitulah pemikirannya.
Tapi ternyata dugaannya salah, ia tak menemukan seorang pria paruh baya yang sedang menutup mata, melainkan seorang pria paruh baya yang sedang menatapnya nyalang.
"Bertemu gadis itu lagi, 'huh?" tanya pria itu seketika.
Untuk mencairkan suasana yang seketika menegang, ia tertawa renyah dan kembali menatap pria dihadapannya santai. "Ayah tidak berhak melarangku bertemu dengannya," ucapnya datar.
"Hahahaha..." suara tawa pria paruh baya itu menggelegar dan terkesan mengejek.
"Gadis itu akan membencimu jika ia tau yang sebenarnya, Will." katanya setelah berhenti tertawa, membuat Will yang sedari tadi menatapnya datar berubah marah.
"Aku menyesal sudah berniat baik membangunkanmu." pekik Will yang berusaha meredam emosinya.
"Dengar, Will. Berhentilah menemuinya dan lupakan dia. Aku tau kau mencintainya, dan aku juga tau ia mungkin akan membencimu saat tau kejadian yang sebenarnya." ucapnya lembut pada anak semata wayangnya itu.
Will tersenyum miring, "Mungkin. Itu masih kemungkinan. Vannesa mungkin akan membenciku atau mungkin akan menerimanya dengan lapang dada. Dan aku tidak takut jika kemungkinan pertama yang kudapatkan karena jika kemungkinan pertama itu terjadi aku pasti sudah berusaha membuatnya bahagia."
"Kau terlalu percaya diri, Nak. Apa kau tidak memikirkan apakah kau sanggup melihat kebencian Vannesa padamu?"
Pertanyaan ayahnya membuat Will diam seribu bahasa. Ia lupa tidak memikirkan hal itu. Dan tanpa ia jawab, ayahnya pasti tau ia tidak akan sanggup melihat kebencian dari orang yang ia cintai padanya.
Will melirik sekilas pada ayahnya yang sedang tersenyum kemenangan.
"Dasar pengecut! Seharusnya Vannesa hanya membencimu. Tapi, jika Vannesa juga ikut membenciku––
Matanya tetap menatap pada ayahnya dengan penuh kemarahan, bukan lagi rasa hormat yang seharusnya anak tunjukkan pada orang tuanya.
––Maka aku juga akan membencimu." lanjutnya sebelum pergi dengan penuh emosi.
•••
Rasa gugup terus menyelimutinya mulai dari rumah hingga ditempat pemotretan. Vannesa masih menggigit bibir bawahnya untuk meminimalisir rasa gugup yang tak kunjung hilang.
Setelah kejadian tadi malam, ia menjadi gugup sendiri bahkan hanya memikirkannya saja sudah membuat jantungnya berdegub kencang. Ia tak tau lagi bagaimana kondisi jantungnya nanti saat bertemu Zayn.
Beberapa langkah lagi ia akan sampai ke ruang rias. Disana, ia akan bertemu Zayn, dan Vannesa terus berdoa di setiap langkahnya agar Zayn melupakan kejadian malam itu yang menurutnya memalukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Sunflower [Zayn Malik] - (Complete)
Fanfiction"Apa aku juga harus mengalah kali ini?" ucap Vannesa lirih menandakan betapa sakitnya hati perempuan itu. 1000-2000 words