Chapter 5

3.3K 357 14
                                    

[[Jungkook pov]]

Berkas.

Sudah berapa lama aku tidak melihat tumpukan map sebanyak ini, ya?

Mendongak, menatap benda yang tertumpuk dalam dua posisi, aku hanya dapat menghela napas. Seingatku kemarin tidak sebanyak ini. Atau mungkin saja mereka beranak-pinak dalam semalam.

Sebenarnya, mengurus suatu bisnis bukanlah gaya seorang Jeon Jungkook, aku memang tidak menyukai kegiatan yang melibatkan duduk terlalu lama dan berpikir keras. Namun dua tahun terakhir aku dipercaya Ayah untuk menjabat sebagai direktur utama pusat perbelanjaan milik keluarga. Ya, walau aku mengatakan ini bukanlah kesenanganku, namun bisa kukatakan apa yang aku lakukan berhasil; dengan menjadikan usaha keluarga ini maju pesat.

Kembali aku menghela napas, pusing dengan otak yang tidak mau berkompromi. Semestisnya pikiranku tetap fokus pada berkas-berkas ini, namun entah bagaimana angan berjalan menuju ingatan kemarin malam. Kejadian yang melibatkan aku, Yein, dan masa lalu.

Apa yang terjadi dengan Yein selama lima tahun terakhir?

Malam tadi ketika aku ingin menutup tirai jendela lalu kembali melanjutkan proposal, tubuhku mendadak beku. Irisku terpatri pada beranda rumah Paman Min. Di sana dulunya Yein sering duduk sendirian setelah makan malam dan menyelesaikan tugasnya. Saat ditanya apa yang sedang dia lakukan, jawabannya selalu satu; menatap bulanㅡ sekalipun benda langit itu tidak muncul.

Mengenang masa lalu itu memang menyenangkan, terlebih masa-masa indah pertemanan kami berdua. Dan ketika sesosok bayangan muncul, duduk kembali di tempatnya dulu, kurasa mengulang kembali masa lalu bukanlah hal tabu.

"Jung Yein," aku berteriak, membuat sosok itu memalingkan wajah dengan senyuman. "Tetap di situ, aku akan ke sana."

Idiot.

Aku berteriak malam-malam hanya untuk mencoba mengulang sebuah kenangan. Mengabaikan persetujuan ataupun penolakan yang mungkin di sampaikan Si Mama Muda itu. Tapi aku tak peduli. Aku hanya mencoba berlari secepat yang kakiku bisa; secepat tubuhku mampu. Namun satu hal yang aku tahu, sebelum menutup jendela yang sempat kubuka dan bergegas menuruni tangga, aku menyadari satu ekspresi pahit yang bersarang di wajah gadis itu walau samar.

"Hai, Kook." Dia menyapa, menggeser duduknya; mempersilahkanku duduk dan aku melakukannya.

Entah ini sekedar intuisi atau apa, aku meyakini ada suatu rahasia di balik senyuman yang ia sematkan saat ini. Senyum yang bahkan tak sampai menyentuh matanya. Namun alih-alih bertanya, apa itu, aku memilih opsi untuk diam menyusun kata yang bahkan mungkin tak akan terucap.

"Kau tahu?" Dia menjeda ucapannya, mengalihkan maniknya sejenak dari langit padaku, "Bukan suatu hal baik berteriak saat malam begini tahu? Kau bisa saja membangunkan orang-orang yang tengah mencoba tidur, salah satunya Denish."

Aku tercekat dengan kata-katanya. Dia benar. Pun aku hanya bisa menggusap tengkuk, malu dengan kelakuan idiot yang barusan kulakukan. "Apa Dey sudah tidur?"

Dia mengangguk, "Ya, dia tidur dengan Bibi. Jika kau mau tahu."

"Jadi, apa yang kau lakukan di sini? Menatap bulan seperti masa lalu?"

Yein terkekeh sebelum menjawab, "Ya, jika kau berkata begitu, aku mengaku memang sedang menatap bulan." Dia memalingkan wajah, menatap serius ke arahku, "Tapi, bukan untuk mengenang masa lalu."

Aku terdiam. Mencerna setiap ekspresi serta kata yang tumpah dari mulutnya. Membawa segala informasi itu untuk diproses dalam otak, walau kebanyakan berakhir pada bagian pencernaan, membuat perutku seolah diaduk oleh mesin penggiling. Satu hal yang terlihat jelas di sini adalah tatapan penuh kehampaan di mata teduh itu. Dan tanpa bisa disadari atau dicegah, sebuah pertanyaan tak sopan langsung keluar begitu saja dariku.

"Apa penyebab kepergianmu lima tahun lalu? Apa ada hubungannya dengan Denish?"

"Kau tahu?" Dia terburu memutus kontak mata, melanjutkan dengan pelan. "Sebaiknya kau kembali ke  rumah. Sudah malam. Tidur yang nyenyak. Aku baik-baik saja dan apa yang terjadi lima tahun lalu bukanlah suatu yang berhubungan denganmu."

Ah, pasti. Sebuah penolakan lagi. Jung Yein memang tetaplah si kecil jangkung yang selalu menyimpan masalahnya seorang diri. Walaupun tahu bahwa hal itu bukan tindakan baik, Yein lebih memilih opsi merusak tubuhnya dengan memendam semuanya dalam-dalam.

Tetapi aku tetap berada di sana, duduk di tempat yang sama seperti dulu dan tak bergeming sedikit pun, lalu berkata tanpa ragu. "Aku ingin tinggal," balasku tipis. "Aku tahu kau lagi-lagi mencoba membangun dinding untuk pertahan diri sendiri dan orang lain. Tapi kau tak membutuhkan itu Yein, aku ada di sini sekarang. Kita berdua di sini. Biarkan aku mendengar ceritamu dan menjadi seorang teman."

Yein terdiam. Tersenyum kecut sebelum bangkit dan berkata dengan nada yang tersirat penuh penolakan. "Kau tidak berubah, Kook. Masih tetap menjadi seorang pria lugu yang mengabaikan banyak hal besar dan memilih menuntaskan hal kecil." Dia meraih tanganku, mengusap permukaannya perlahan, sebelum kembali berucap. "Aku bisa mengatasi semuanya, dan kumohon jangan terlalu memberi perhatian berlebih pada Denish. Aku tak mau dia menganggapmu sebagai ayahnya."

"Tapi kau tak bisa menjadi ayah dan ibu sekaligus bagi anak itukan?" Aku berujar, lebih dingin daripada yang kumaksud. Pun mataku menatap penuh keseriusan pada manik hampanya.

"Aku bisa," katanya sambil tersenyum kecil. "Kau tak perlu mempedulikan hal itu, karena aku sudah melakukannya sepanjang hidup Denish."

Ah, sial.

Sial sekali sebab hanya dalam sepersekian sekon yang melebur kelewat cepat, aku mendadak kehilangan setiap persediaan kata-kata. Gadis itu bahkan sudah keburu pergi menuju pintu, lalu memutar kenop pintu.

Cepat pikirkan suatu, Jeon.

"Aku bisa menjadi ayah untuk Denish."

Yein berhenti pada posisinya, menengok padaku yang terkejut dengan ucapan sendiri. Bodoh sekali kau Kook. "Serius?"

"T-tentu saja."

"Apa itu artinya, aku sedang dilamar sekarang?"

Aku merasa jantungku berhenti berdegub untuk sesaat, "Mm... mungkin."

Dia mendadak tertawa. Tawa yang benar-benar menyentuh matanya dan sukses membuat tubuhku bergetar dengan sengatan aliran listrik statis. Kedua mata itu bahkan terlihat menyipit dengan hidung berkerut lucu sebelum membalas geli, "Kau mestinya belajar cara mengajak wanita untuk berkencan dulu sebelum melamar mereka."

"Pulanglah, selamat malam," katanya sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu.

"Aku serius dengan perkataanku, Yein," aku berteriak. Pun sudah hilang akal dan rasa malu jika dipergoki tetangga atau Ibu yang mulai mengomel karena anak laki-lakinya berteriak di rumah seorang wanita yang mungkin berstatus janda.

Satu hal yang mungkin aku pahami sekarang, mungkin pesona Jung Yein masih berpengaruh terhadap kinerja otak dan tubuhku, walaupun wanita itu sudah lama pergi.

***

Jadi, untuk sekarang, setelah berhasil mengenang kejadian semalam, lalu mencoba kembali fokus pada tumpukan berkas yang mesti dibaca, teliti, dan ditanda tangani, lagi-lagi aku mesti diinstrupsi dengan ketukan pintu. Serim bersuara, meminta izin untuk masuk.

"Maaf mengganggu, Pak. Saya datang untuk memperkenalkan sekertaris baru yang akan bertanggung jawab menggantikan saya nanti," kata Serim bersahabat.

Aku mengalihkan fokus sejenak, menatap sosok wanita lain dengan rok sepan biru malam dengan blouse biru langit di sebelah Serim. Jadi apa ini? Kenapa wanita di balik pakaian itu mirip seperti Yein? Bukan itu memang Jung Yein.

"Selamat pagi, Pak."

"Jung Yein? Kau di sini?"

Dia tersenyum, sebelum melanjutkan ucapan, "Mohon bimbingannya." []

Antithesis [JJK-JYI]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang