[[Jungkook pov]]
Musim panas sepuluh tahun lalu, aku mendapat tetangga sekaligus teman sekelas baru.
Namanya Jung Yein, gadis kurus dengan rambut kuncir dua. Dia awal pertemuan kami, dia anak yang tidak terlalu banyak bicara, tapi setelah kami mengenal lebih lama, dia jadi super cerewetㅡmirip seperti ibu, namun dalam sosok yang benar-benar berbeda. Itu agak mengganggu terkadang, namun sangat membantu juga di beberapa kesempatan.
Pertemuanku dengan Yein adalah hal paling klise yang sering dihadapi orang-orang. Dia pindah ke rumah sebelah yang merupakan kediaman paman dan bibinya, Paman Yoongi memintaku untuk dekat dengannya dan disambut antusias oleh Ibu. Saat itu aku melotot, bingung. Aku masih berumur tiga belas tahun, tidak pernah dekat dengan spesies wanita kecuali Ibu, dan aku diminta untuk lebih dekat dengan Yein. Wah, kejutan luar biasa. Tetapi aku mengangguk, takut jika menolak, Ibu akan mengomelku sehari semalaman.
Jadi, semenjak itu kami berdua sering bersama, bahkan digosip berpacaran. Rumor itu menyebar cepat, membuat beberapa anak gadis lain yang dulunya, datang untuk menyapa Yein atau sekedar menanyakan pr atau tentangku, kini memusuhi dan membuat banyak perkara yang menyusahkan.
"Jungkook, bagaimana Yein saat di sekolah? Apa dia punya banyak teman?"
Aku hampir tersedak potongan daging saat Bibi Jiae bertanya di acara jamuan makan malam, membuat semua mata menatap ke arahku, tanpa terkecuali Yein. Gadis itu melotot, memperingatkuㅡentah untuk jawaban, atau niatku yang ingin menyampaikan perihal kasus pemukulan yang di dapatkannya. Ini memang memalukan, bagaimana bisa seorang anak lelaki merasa terintimidasi oleh anak gadis yang bahkan lebih muda darinya, bahkan apa yang ingin ia bicarakan adalah kebenaran, dan ia yakin Yein tidak akan di salahkan.
Di sudut lain, Bibi Jiae menatap penuh antusias, dan pasti mengharapkan jawaban yang bagus. Di sebelahnya ada Paman Yoongi, yang juga menaruh harap walau dengan wajah dingin. Sedangkan Ayah dan Ibu hanya tersenyum, ikut penasaran sepertinya.
"Ehㅡ" aku tertawa gugup sebentar. "Ya, dia anak yang baik dan banyak memiliki teman." ㅡteman yang hanya ingin memanfaatkan. Tapi aku tidak mengatakannya, aku pikir Yein ingin menyimpan itu untuk ia ceritakan sendiri.
Di depanku, Yein tampak menghela napas lega, walau dengan ekspresi yang aku sendiri tidak tahu mesti mengatakannya bagaimana. Dia itu gadis baik, namun kebaikannya terlalu tidak wajar. Bagaimana bisa, dia tetap tersenyum saat lokernya di penuh sampah, atau saat diserang beramai-ramai. Aku saja yang pria, pasti akan mengamuk, tapi dia tidak.
Terlepas dari keterlalu baikannya, dia gadis tanggung, menurutku. Dia gemar belajar, ikut kelas bela diri, tari, dan juga sering terlibat dalam kegiatan amal, ah satu lagi, selalu mengingatkanku dalam segala hal.
"Apa kau tak pernah lelah?"
Dia mengerjapkan mata, seperti orang kebingungan, walau setelahnya langsung paham maksud perkataanku. "Tentu lelah, aku juga manusia sama sepertimu. Tapi jika aku mengeluh, aku tak bisa menghasilkan apa-apa. Benarkan, Kook?"
Terlepas dari segala hal yang gadis itu lakukan, aku sering mendapatinya berkeliaran di pekarangan sehabis makan malam, lalu duduk di tangga teras rumahnya. Pandangannya seingatku sering kali kosong, seperti hanya raganya saja yang ada, tapi tidak dengan pikirannya. Jadi aku akan bergegas menghampiri dengan membawa buku pr, jadi matanya akan langsung berkobar semangat dan langsung meraihnya sambil berkata, Nomer berapa yang tidak kau bisa?
Namun, ketika seminggu sebelum kami mulai masuk keperguruan tinggi, sikapnya jadi berubah. Dia jadi lebih sensitif, bahkan aku pun ikut tersulut emosi dan memarahinya. Dan ketika hari upacara penerimaan, Ibu dan Ayah tiba-tiba berlari panik membelah para orang tua lain yang juga mengantar anak mereka. "Jungkook, kau sudah tahu Yein pergi ke Inggris."
"Maksud, Ibu? Yein pergi?"
"Bibi Jiae tadi menghubungi Ibu, menanyakan apakah kau tahu penerbangan Yein dipercepat. Saat Ibu tanya mengapa dia pergi, Bibi Jiae mengatakan Yein memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di sana."
Penjelasan Ibu sukses membuat aku berdiri kaku, tidak tahu mau melakukan apa. Bahkan ketika aku mendapati diriku menangis di dalam kamar sendirian, Ayah bilang aku mungkin hanya merasa kehilangan teman baik. Tapi untukku itu lebih dari itu, rasa penyesalan ketika emosi mengalahkan akal sehat. Seharusnya seminggu yang lalu aku bisa bertanya, mengapa Yein berubah, lalu membantu melewati segala masalah seperti yang dia lakukan padaku.
Secara sederhana, aku tiba-tiba melupakannya, bergelut dengan tumpukan tugas sebagai mahasiswa baru. Walau terkadang sering terkenang oleh masa lalu dengan Yein.
"Jungkook, Jungkook Sayang."
Aku terkesiap. Sontak segala memori pudar seketika. Ibu nampak tergesa membuka pintu ruang guru, menatapku yang tengah bergelut dengan berkas siswa baru. Wanita itu tersenyum manis, saat aku menyahut bingung.
"Ya, Bu?"
"Mereka sudah datang, kemarilah ikut menyambut. Ibu punya kejutan."
"Nanti saja ya, Bu. Berkas-berkas ini belum disusun dengan rapi."
"Jung..."
Aku mengerang. Aku sungguh tidak tertarik dengan 'kejutan', terakhir kejutan yang dimaksud adalah seorang wanita yang diperkenalkan sebagai calon istri untukku. Lalu sekarang apalagi, apa Ibu akan mengenalkannya dengan janda beranak satu yang merupakan salah satu orang tua murid? Rasanya aku was-was bahwa itu mungkin saja terjadi.
Tapi, kasus perkenal calon istri lebih bisa ditolerir daripada pertemuan dengan dua orang di hadapannya saat iniㅡdan satu mahluk mungil yang sedang memeluk boneka kelinci pink lucu. Belum sempat keterkejutanku terobati, salah satunya sudah memelukku.
"Lama tidak bertemu, Jungkook. Bagaimana kabarmu? Masih ingat Yein? Jung Yein, teman baikmu."
"Bi, jangan terlalu memeluk Jungkook dengan kuat, dia akan kehabisan napas nanti," kata Yein sambil terkekeh santai. "Lama tidak bertemu, Kook."
Jung Yein, gadis bergigi kelinci penyuka cokelat itu sedang berdiri di depan sana, menggandeng pria kecil yang kini menatapku dengan tatapan curiga. Oke. Dia bukan gadis kecil kuncir dua yang dulu pernah memukul pantatku karena kesal mendapati hasil dua di kertas ulangan bahasa inggris milikku. Gadis itu tumbuh jadi seorang wanita. Wajahnya tampak anggun dengan riasan yang tidak berlebihan, tubuhnya yang jangkung dibalut dengan dress coklat bertema floral dan sepatu boot hitam. Astaga Jung Yein, benar-benar tumbuh menjadi wanita dewasa, yang cocok dijadikan pendamping hidup.
Seolah belum cukup, membuatku terkena serangan jantung mendadak, irisku kini tertuju pada buntalan manis yang tengah bersembunyi malu di balik tubuhnya.
Aku gelagapan, "Siapa?"
Dia menjawab lugas, "Anakku."
Aku hampir mati, terkena serangan stroke, jika tempat ini sunyi mungkin aku akan berteriak saking tak percayanya. Tapi ketika gadis di depanku itu kembali bersuara, duniaku benar-benar berputar jalur dari porosnya.
"Dey, ayo beri salam kepada Paman Jungkook."
"Ha-halo Paman. Namaku Denish," kata anak lelaki mungil itu.
Aku tertawa canggung, balik menyapa. Namun ketika tangan gadis itu menjulur untuk berjabat tangan. Tepat saat itu aku yakin, duniaku akan kembali seperti lima tahun lalu sebelum kepergian Yein. Walau kini dengan status berbeda yang disandang gadis, ah tidak, wanita itu. Dia seorang Mommy.
Mommy yang benar-benar seksi. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Antithesis [JJK-JYI]✔
أدب الهواة[Jeon Jungkook - Jung Yein ; Alternative Universe Fanfiction] [Warning : Konten ini mengandung sedikit unsur dewasa. Harap bijak dalam memilih bacaan] Season 1 : Mommy Jung✔ Season 2 : Antithesis✔ Semua orang pasti menginginkan kebahagian. Hidup ber...