S2. Chapter 18

2.3K 260 26
                                    

Babak pertama dalam kehidupanku dimulai dengan pujian dari dokter dan para suster setelah tubuhku di mandikan. Wah bayi anda tampan sekali, kurasa dia akan banyak disukai para wanita, kata salah seorang suster. Saat itu sih aku hanya terdiam, ingin rasa menyahut begini, Apa aku setampan itu? Tetapi yang keluar hanyalah suara tangis. Wajah Ayah menyambut dengan senyum hangat, walau aku yakin masih ada semburat kekhawatiran di sana. Ibu nampak masih kelelahan, walaupun dia dengan senang hati memberiku nutrisi.

Tetapi kini aku begitu menyesal, karena aku tidak dapat berada di posisi Ayah saat itu. Aku melewatkan saat-saat menakjubkan itu. Detik-detik ketika Yein berjuang dengan sekuat tenaga antara hidup dan mati dan aku melewatkannya. Jelas aku tidak bisa menyalahkan Yein, bahkan ketika wanita itu menatapku dengan kebencian dan kesedihan penuh luka, aku hanya dapat menunduk. Mencoba menyita waktu untuk memunculkan kepercayaan diri kembali, walau berakhir gagal setelah Yein bersuara dengan begitu dingin.

"Apa yang kau inginkan sebenarnya, Kook?"

Apa yang ku inginkan katanya? Aku tersenyum getir. Jika ditanya begitu aku pasti akan langsung menjawab; "Kau dan Denish itu yang ku inginkan!" Namun yang keluar hanya, "Maafkan aku Yein."

Dia tertegun, menatap tak percaya saat mendengar ucapanku, walau berakhir dengan pengendalian diri yang baik. "Kau tak perlu minta maaf," katanya.

"Tapi aku harus minta maaf atas semua kekacauan ini. Akuㅡ"

"Kau tak perlu minta maaf!" serunya memotong ucapanku. "Karena aku juga tak mau minta maaf kepadamu."

Aku terdiam, dia pun sama, hanya iris kami yang saling mengunci satu sama lain. Kami sama-sama bersalah dan tersakiti. Tapi jauh dari itu semua, akulah yang paling bersalah, dan dia yang paling tersakiti. Rasa cintaku menyakitinya, membuat luka menganga yang tidak akan bisa sembuh kecuali kematian menjemput. Akalku tahu bahwa aku mesti pergi dari sini, membiarkannya bahagia dengan pilihannya sekarang. Tapi apa? Hatiku tak bisa menerima ini. Dia milikku. Jung Yein-ku. Ibu dari anakku.

"Aku masih mencintaimu, dan aku ingin memperbaiki semuanya seperti semula."

"Caranya? Semua sudah terlambat, Kook. Aku akan menikah dengan Jimin, dan itu semua tidak akan berubah."

"Aku tahu kau tak mencintainya Yein," aku menjeda ucapanku sejenak, lalu melanjutkan, "jadi ayo kembali bersama. Aku, kau, dan Denish."

"Dari mana kau tahu?" Nadanya meninggi bahkan matanya menangis. Oh jangan menangis. "Aku mencintainya."

Aku menggeleng. Itu tidak mungkin terjadi. Yein hanya mencintai dan akan selalu berada di sisiku. Itu semua sudah terjadi sejak dulu dan akan tetap seperti itu selama-lamanya.

"Jimin yang selalu berada di sampingku waktu itu. Dia yang menguatkanku, menjaga Denish selayaknya anak sendiri, dan dia mencintaiku."

Tidak. Berhenti. Aku tak mau dengar. Aku menutup telinga, berjuang menghalau suara Yein. Namun sia-sia, aku tetap mendengarnya. Pengendalian diri yang aku pelajari dari psikiater selama beberapa bulan terakhir luruh seketika.

"Apa lagi yang aku butuhkan, jika ada pria sesempurna itu?" Yein menatapku getir. Dia masih menangis, kini di temani oleh aku.

"Kau butuh aku Yein. Kau memerlukanku. Aku pun memerlukanmu," aku berujar, lebih nyaring dari pada yang kumau.

Yein menggeleng, "Kita mesti bahagia, Kook. Dan kurasa kebahagian itu tak bisa kita dapatkan jika kita bersama."

"Bagaimana kau tahu?"

Air mata wanita itu telah berhenti, bergantikan pemandangan yang paling tidak kusukai. Dia menatapku kasihan. Tidak. Jangan menatapku begitu. Aku meremas tanganku, tubuhku bahkan bergerak gelisah. Aku menjijikkan.

"Kau tau alasanku kembali ke Korea lagi kenapa?"

Dia melanjut setelah tak mendapatkan jawaban dariku, "Karena aku ingin mencoba memulai kehidupanku yang dulu sempat kutinggalkan. Aku juga ingin memulai mengatakan segalanya kepadamu. Aku ingin mencoba, Kook."

"Tapi semuanya nihil. Setiap kali aku mencoba mendekat kepadamu, saat itu juga aku ketakutan. Aku taku karena aku ingat kejadian malam itu. Aku ingat bagaimana reaksimu saat aku ingin bertanya apa kau mengingat apa yang kita lakukan malam itu. Aku ingat kau berciuman dengan Jaein. Aku ingat."

"Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Jaein!" Aku berseru.

"Tapi kau tak mengatakannya saat itu. Kau mengaku kalian memiliki hubungan dan memarahiku karena kesal aku tak ikut pesta," jawabnya. Air matanya kembali.

Apa yang harus kulakukan untuk menghapus air mata itu?

"Aku datang saat itu, Kook. Kita bertemu, dan kondisimu mabuk berat. Aku membantumu kembali ke kamar hotel dan tanpa kurencanakan, kita sudah larut dalam hal itu."

Dia menghapus air matanya, sebelum kembali melanjutkan, "Aku mempercayakan hal yang kujaga selama ini kepadamu, karena aku ingat janjimu dan lamaran tak masuk akalmu."

"Maafkan aku Yein. Maafkan aku."

Kami berdua menangis, hanya ada suara sesenggukan yang beberapa kali terdengar. Aku ingin memeluknya, mengatakan maaf dan cinta secara bersamaan. Tetapi tubuhku kaku. Aku merasa tak pantas dan jijik.

Apa yang harus aku perbuat sekarang?

Kami sama-sama tersakiti. Apa aku harus benar-benar melepaskannya? Membiarkan Jimin mengantikan peranku. Tapi kenapa aku masih tak rela. Bahkan ketika Jimin tiba-tiba muncul dengan beberapa bawahannya, aku tetap diam.

"Aku sudah mengatakan padamu, Jeon Jungkook. Jangan pernah menyakiti Yein lagi. Biarkan dia bahagia," kata pria itu.

Aku juga tahu aku menyakitinya, tapi aku tak mau dia pergi dari hidupku. Jung Yein pusat kehidupanku. Aku tetap diam ketika Jimin membawa Yein pergi.

Orang bilang, lelaki akan mengambil keputusan dengan akalnya, sedangkan wanita akan mengikuti kata hatinya. Jika itu semua demi Yein, kurasa aku rela disebut sebagai banci. Aku akan terus mengikuti kata hatiku, walaupun pilihan ini nantinya akan membawa luka makin besar di hati Yein, aku tak peduli. Jung Yein akan menjadi milikku selamanya. []


Ya ini yang dinamakan Antithesis. Jungkook sebenarnya tau kalau apa yang dia lakuin ini salah, tapi gak rela. Nah Yein ini masih mencoba menata hati kembali dengan bersama Jimin. Konflik di S2 ini lebih bermasalah, keegoisan beneran kelihatan.

Percaya tidak aku nangis ngetik part ini, aku merasakan posisi Yein dan Jungkook. Lalu berakhir kesal sama diri sendiri karena nulis seperti ini. Semoga emosinya sampai aja ya. Ini baru aku tulis, jadi masih fresh from the oven😂 semoga suka dan bye bye.

Antithesis [JJK-JYI]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang