Chapter 38

7.8K 808 46
                                    

Axel menatap dua lembar foto di tangannya dengan tatapan serius. Sementara Zio, dia malah terlewat santai. Baring rebahan dengan malas di sofa sambil menyilangkan kedua kakinya. Bahkan senyuman yang terukir di wajahnya terlihat menyebalkan bagi Axel.

"Aku sedang fokus disini. Tapi ponselmu benar-benar mengganggu kita!"

Tatapan Zio beralih ke Axel. Ia tersenyum sinis. "Kamu iri?"

"Tidak! Astaga, seorang Axel yang terhormat iri dengan cinta yang menyedihkan?"

Axel terang-terangan menyindir Zio. Temannya itu sepertinya akan jatuh cinta sebentar lagi. Memegang ponsel sambil senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Atau mungkin saling berbalas chat sehingga bibir tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.

Jatuh cinta dengan Sofia. Sama saja menjerumuskan hati untuk menerima sakit hati bahkan bisa lebih dari itu. Axel tahu, Zio tidak mungkin bodoh begitu saja. Tapi kalau sudah menyangkut perihal 'aku mulai suka dengannya' apalagi dengan seorang wanita yang jelas-jelasnya menjadi salah satu wanita yang sedang di selidik. Apakah ia bisa mencegah temannya itu? Sepertinya tidak. Axel akan angkat tangan.

Mau berkata Zio adalah pria bodoh sepertinya salah. Karena pada akhirnya Axel sendiri juga pernah merasakan hal yang sama. Suka dengan sepupunya sendiri. Bedanya adalah, Nafisah bukan penjahat. Itu saja.

Siapa yang bisa mencegah kalau sudah urusan hati ketika hati ini mulai suka bahkan jatuh cinta? Tidak ada yang bisa menghalangi sekalipun otak menyuruh kita jangan melakukannya.

"Zio, aku hanya ingin mengingatkanmu. Jangan terlalu serius bermain dengannya."

"Aku tahu." Zio tersenyum masam. "Hanya itu cara yang bisa aku lakukan. Iya kan? Kalau tidak, dia tidak akan mau berbagai mainannya denganku."

Mainan. Maksud Zio adalah rahasia Sofia, dan fakta-fakta yang harus ia kumpulkan untuk atasannya. Sebelum akhirnya menjebloskan Sofia ke penjara.

"Apakah sekarang dia ada tanda-tanda mau memperlihatkan mainan yang di sembunyikan nya?"

Axel mendekati Zio. Akhirnya ia memperlihatkan dua lembar foto Daniel dan Sofia. Sebelum operasi dan sesudah operasi. Benar-benar wajah yang berbeda.

"Belum." Zio menatap menatap foto tersebut. "Butuh waktu. Dan itu tidak mudah."

"Sekalipun taruhannya adalah perasaanku. Aku tidak mau menyalahkannya. Karena cinta itu murni. Bisa datang kapan saja tanpa bisa di cegah." lanjut Zio dalam hati.

****

Flashback masalalu waktu dimana Ayah dan Ibu Adelard bertengkar..

"Seseorang menjebakku, dan kau tidak percaya?" kesal Orla, Ibu Adelard.

"Dan kau ingin mengatakan kalau foto itu adalah editan?"

"Alano-"

"Frans pernah bilang, demi persahabatan, dia rela kehilangan wanita yang di cintainya. Apanya yang rela kalau akhirnya dia merebutnya dariku?" getir Alano pada istrinya, merasa di khianati oleh Frans yang notabenenya adalah sahabatnya.

Mahram Untuk NafisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang