Part 2 : She, in my opinion

1.4K 88 5
                                    

Tyson

       Aku sedang berjalan-jalan sambil meminum Nectar. Mencari si anak baru itu, Maria. Aku belum pernah bertemu seseorang yang menyapaku dengan baik. Bahkan ketika ia menyebutku Cyclops, aku tidak merasakan kalau aku Cyclops. Aku merasa normal saat bertemu dengannya. Dia seperti menerimaku apa adanya dan menganggapku sama dengannya. Kebanyakan penghuni camp ini menganggapku sebelah mata karena bermata satu.

      Lalu Aku berhasil menemukannya di depan tempat tinggalnya. Kurasa Zeus memang sudah menyiapkan rumah untuk anak-anaknya.
"Hei", sapaku pada Maria yang sedang memakan apel sambil membaca.
"Oh, hai Tyson", balasnya sambil tersenyum, tangannya menepuk-nepuk lantai kayu di sebelahnya, memintaku untuk duduk di sana.
"Sedang apa ?", tanyaku. Maria menutup bukunya dan menunjukkan sampul buku itu padaku.
"Tentang para dewa", jawabnya, aku manggut-manggut.
"Kau tahu ? aku bingung pada para dewa. Di buku ini, dewi Aprodite menikah dengan dewa-dewa. Tidak hanya satu dewa. Pasti anak-anaknya banyak. Apa masih berlaku silsilah keluarga?", tanya Maria, aku menyesap nektarku sambil mengedikkan bahu. Karena aku tidak berpikir sampai ke sana. "They are gods. They can do anything they want", ucapku kemudian.
"Then there's no such thing as family tree don't they ?", tanya Maria lagi. Aku kembali mengedikkan bahu, "Maybe", kemudian Maria mengangguk sambil menghela napas.
"Mau jalan-jalan ?", ajaknya, aku sedikit terkejut dengan ajakannya, tidak biasanya seseorang mengajakku jalan-jalan, "Ayooo!", seru Maria sambil menarik tanganku.

       Kami berjalan melewati api unggun yang dikelilingi penghuni camp. Sebagian dari mereka ada yang memperhatikan kami dan ada juga yang tampak tidak peduli. Kukira mereka sama kagetnya denganku.
"So, Tyson, does Posseidon married, a Cyclops ?", tanya Maria, membuatku terkekeh.
"Entahlah, kadang aku tidak bisa mengerti selera dewa", jawabku, kini Maria yang tertawa.
"Yeah, I know, that's not a big deal anyway", balasnya sambil menghela napas.
"What about you and Thalia ?", tanyaku, Maria mengedikkan bahu.
"Entahlah, mungkin Thalia butuh waktu untuk menerimaku. Tidak masalah", jawabnya sambil tersenyum menatapku, aku bisa melihat rasa kecewa dalam tatapannya. Aku mengerti perasaan itu, waktu pertama aku bertemu Percy.
"I understand that", ucapku, Maria mengernyit.
"Understand what ?", tanya Maria.
"Your feelings", "Really ?", aku mengangguk.
"Saat pertama kali bertemu Percy, aku juga merasa demikian pada awalnya. But look at us now, so much better than before", ucapku.
"Apa yang membuat kalian bisa akrab ?"
"Well, we were going on a quest. The quest that made your sister alived", jawabku. Mata maria bersinar, "That's it", gumamnya. "That's what ?"
"I have to go on a quest with Thalia!", pekiknya setengah berbisik.
"But there's nothing we have to solve. Everything is okay", ucapku.
"Ah, benar juga. Baiklah, kalau begitu nanti saja. Jika ada misi, aku akan memasukkan namaku dan Thalia untuk diikut sertakan", ucapnya sambil tersenyum. Aku menyukai caranya tersenyum.

       Saat kami sedang berbagi cerita di camp, kami melihat Annabeth sedang memanah. Anak panah yang ia lontarkan tidak mengenai target walaupun tinggal sedikit lagi. "Damn", rutuk Annabeth, Maria mendekatinya.
"Hei", sapa Maria. Annabeth menoleh padanya dan tersenyum, "Hai Maria", balasnya sambil kembali fokus dengan busur panahnya.
"Coba kau arahkan sedikit ke bawah, sampai sejajar dengan dadamu", ucap Maria sambil membetulkan posisi tangan Annabeth perlahan. "Stand and still, focus", ucapnya kemudian.

       Annabeth melepas tali busur panah dan anak panah yang kemudian meluncur hingga menembus targetnya. Wow, she's a good teacher.
"Wah", gumam Annabeth sambil menoleh pada Maria yang sedang tersenyum.
"See, you did it", ucap Maria, Annabeth tersenyum sambil memasukkan busur dan anak panah ke dalam tasnya.
"Hei Tyson", sapa Annabeth, aku membalasnya dengan mengangkat tanganku.
"Have you seen Percy or Grover ?", tanya Anna, "Mungkin di rumah Percy dengan Chiron", jawabku. "Chiron ?", tanya Maria, aku mengangguk.
"Mereka sering berdiskusi banyak hal", jawabku.

****

DemigodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang