بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kita tidak pernah tahu kapan maut menghampiri kita. Detik ini kita masih hidup tapi kita nggak tahu detik berikutnya kita hidup atau mati.
~Asheeqa~
Aku masih duduk termenung sejak sepeninggalan dokter Azlan.
Kata-kata dokter singa benar-benar jadi cambuk di hatiku. Semua perkataan dokter singa tentangku yang malu dengan Bila memang benar. Aku begitu malu dengan Bila. Kenapa aku begitu egois? Kenapa aku masih seperti ini? Kenapa aku masih enggan menutup aurat? Satu-satunya alasan yang bikin aku kayak gini ya karena sosok dia.
Dia yang telah menorehkan luka hati terdalam. Dia yang membuatku jatuh terpuruk seperti ini. Dia yang membuatku menjadi Asheeqa yang enggan memakai hijab. Itu alasan terbesarku.
Tapi melihat Bila, aku benar-benar malu. Bila yang terlahir dengan keterbatasannya, Bila yang telah kehilangan orangtuanya. Tapi tak sedikitpun Bila marah sama Allah. Dia malah menjadi seorang gadis kecil yang taat sama Allah. Kenapa aku nggak bisa?
Seharusnya aku lebih bersyukur di bandingkan dengan Bila. Aku masih punya bunda dan abah. Aku juga terlahir normal. Tapi lagi-lagi aku mengutamain ego dan menerima mentah-mentah godaan setan.
Tak terasa airmataku kembali mengalir.
"Kakak kenapa?" Ucap seseorang di depanku.
Aku segera menghapus airmata. Dan tersenyum menatap seseorang yang duduk di atas di kursi roda. Menatapku prihatin.
"Kakak nggak apa-apa de." Kataku pura-pura.
"Kakak kayak mamah, suka bohong. Aku tau kak kalau orang abis nangis." Jawabnya masih tersenyum.
"Ketahuan ya?"
"Iyalah. Tuh pipi kakak basah. Mata merah, hidung merah apalagi tuh ada ingusnya hehehe." Dia terkekeh.
Aku buru-buru membersihkan ingus. Malu juga dilihatin anak kecil.
"Saudara kakak ada yang sakit ya? Sampai bikin kakak nangis kayak gini." Tanyanya penasaran.
"Kakak nggak usah nangis diam-diam kayak gini. Kami yang sakit tahu kalau kalian menangisi kami. Sejujurnya kami nggak ingin bikin kalian nangis. Kami hanya ingin lihat senyum kalian. Karena senyum kalian obat buat kami." Lanjutnya masih memamerkan senyum manisnya.
"Kakak nggak nangis soal itu kok. Kakak lagi pengin nangis aja." Kataku masih bohong.
"Kalian orang dewasa memang nggak pandai buat bohong." Jawabnya menatapku.
Aku tertawa mendengar pernyataannya.
"Tuh kan malah sekarang ketawa. Aneh." Jawabnya mengejekku.
Aku mencubit pipi anak cowok di hadapanku ini. Spontan dia langsung manyun dan mengelus pipinya.
"Kok kamu di sini sih? Nanti di cariin dokter loh." Kataku menakut-nakutinya.
"Kakak gitu banget sih. Jahat. Aku capek minum obat kak." Katanya lirih.
"Minum obat kok nggak mau sih? Nanti kamu nggak sembuh-sembuh gimana? Nggak kasian sama mamah dan papah kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Asheeqa (SUDAH TERBIT)
Духовная литератураPesan via shopee aepublishing Aku tidak pernah tahu, Aku pun tak ingin mengetahuinya. Yang aku tahu, aku mengenal sosoknya pada diri orang lain. Tanpa pernah aku merasakan kehadirannya di sampingku. Dan ini,,,, membuatku sulit berdamai dengan kehi...
