Bab 1

322 22 2
                                    

Tak Sadarkan Diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak Sadarkan Diri

×××

Pantangan bagi seorang Sergio Aldama adalah, berpacaran lebih dari satu bulan dengan cewek-cewek yang dikenalnya ketika menghabiskan waktu di kelab malam, maupun ayam-ayam kampus yang selalu mengejarnya.

Bukan hal yang asing lagi bagi Gio ketika mendapati rentetan pesan dan puluhan panggilan masuk di ponselnya. Itu biasa. Cewek-cewek itu seperti biasa akan mengumpatinya, menangis untuk mengemis perhatian kecil dari Sergio. Berharap cowok itu masih mau kembali, meskipun hati mereka sudah dicampakkan begitu saja.

Tapi seperti yang sudah-sudah, Gio bisa dengan gampang membuang bahan mainannya. Bermodal nomor ponsel yang baru, Gio rasa hari-hari berikutnya akan terlewati sesuai dengan keinginannya. Karena pada dasarnya, Gio tidak pernah mau ambil pusing dengan masalah yang baru saja ia buat.

Gio pikir semua hal di dunia ini memang berjalan seperti itu. Sama seperti kehidupan masa lalu yang sempat mengajarkannya. Bahwa setia pada satu orang tidak membawamu pada sebuah kebahagiaan. Dan Gio sudah banyak belajar tentang hal itu, ia bahkan bisa menebak akhir dari kisahnya. Sangat klasik sekali.

Maka dari itulah Gio mendapat julukan lain, yaitu heartbreaker.

Ia memang sudah terkenal sebagai pematah hati sejati. Namun sayangnya, julukan itu dianggap angin lalu oleh cewek-cewek yang masih menggilainya. Seolah tak ada yang mampu mengubah pikiran mereka tentang cowok brengsek seperti Gio.

Kebanyakan dari mereka lebih suka menutup mata. Setelah dipatahkan hatinya begitu saja, terkadang mereka masih suka mengemis perhatian kecil Gio. Mereka masih mengingikan sang 'pematah hati' itu meliriknya sekali lagi. Padahal jelas-jelas, Gio tidak pernah menganggap mereka special barang sekali pun.

Gio hanya bersenang-senang dengan mereka. Lalu ketika dirasa bosan, Ser

Gio akan membuang mereka dan menggantikannya dengan mainan yang baru lagi. Tak sulit bagi Gio untuk mencari mainannya, ia bahkan tak perlu berusaha keras untuk mendapatkannya. Mengapa harus susah? Jika cewek-cewek itu sudah mengantri dulu padanya. Jadi Gio hanya perlu mengangkat telunjuknya, dan memilih cewek seperti apa yang ia mau.

Sama halnya seperti malam ini. Gio sedang berada di sebuah kelab malam ibukota bersama dengan teman-temannya. Ah, jangan lupa soal cewek-cewek yang mengelilingnya, Sergio tidak pernah absen mendapatkan perhatian dari mereka. Beberapa dari mereka bahkan tak sungkan untuk mendekati Gio lebih dulu.

Berteman dengan hingar-bingar malam, bau alkohol maupun asap rokok sudah menjadi hal yang biasa bagi Gio. Sesekali ia membasahi tenggorokannya dengan minuman panas itu, lalu kembali menari di lantai dansa bersama cewek yang ia pilih untuk menghabiskan malam bersamanya.

Sebrengsek itu memang, tapi apa ini murni salahnya? Bahkan cewek-cewek itu tidak pernah menolak permintaannya.

"Baby," cewek dengan dress minim itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Gio dengan manja. Ia sesekali mengecup singkat pipi Sergio, mencoba membuat Gio semakin tertarik padanya.

Tetapi Gio hanya memandangnya dengan datar. Atau bahkan menatapnya tanpa minat. Namun Gio hanya diam saja saat cewek itu beralih mencium bibirnya. Dia tidak marah, karena ia cukup menikmatinya sampai-sampai napasnya terasa habis. Gio pun kemudian melepas tautan tangan cewek itu dari lehernya, lalu berjalan menuju meja bar dan meneguk segelas vodka.

Malam ini terasa cukup penat, dan ia butuh hiburan yang lebih baik dari ini.

Akhirnya Gio memutuskan untuk pergi dari kelab itu. Dengan keadaan setengah mabuk, Gio mengendarai mobilnya sendiri. Sebenarnya teman-temannya ada di dalam sana, dan bisa menggantikannya untuk menyetir. Tetapi Gio tidak mau, rasanya malam ini ia ingin sendiri. Bahkan cewek yang dirasa akan membuatnya sedikit terhibur malam ini, justru membuat nafsunya semakin buruk. Maka dari itu, Gio sudah tidak memiliki niat untuk tetap berada di kelab itu.

Gio mengendari mobilnya dengan pandangan yang sedikit samar-samar. Beberapa pengendara yang lain bahkan mengumpatinya ketika mobil yang dikendarai oleh Gio hampir saja menyenggol mobil orang lain. Gio memang sudah gila. Ia tidak peduli dengan nyawanya sendiri. Akalnya memang sudah hilang bersama dengan kesadarannya yang tinggal setengah.

Di tengah jalanan ibukota itu, Gio tetap menancap gasnya menuju apartemen. Sekarang bukan rumah lagi yang ia bayangkan, namun lebih mengarah pada beberapa luka yang akan Gio dapatkan ketika sampai di rumah besarnya. Maka dari itu Gio ingin menghindarinya. Moodnya sedang dalam keadaan buruk untuk meladeni omelan papanya. Belum lagi pikiran-pikiran yang bersarang di otak kecilnya membuatnya semakin terasa penuh.

Tepat pada perempatan besar jalan raya Sergio berhenti karena lampu merah. Sejenak ia menyandarkan kepalanya ke kemudi mobil. Kepalanya benar-benar terasa berat, sampai dirasa napasnya mulai berembus tak beraturan. Tangannya bergerak menurunkan jendela mobilnya, berharap rasa pusingnya itu akan hilang diterpa angin malam.

Di sisi lain, seorang gadis dengan sepedanya tak sengaja berhenti tepat di samping mobil Gio. Gadis itu setengah keheranan ketika melihat Gio yang mungkin sekarang benar-benar tidak sadar sepenuhnya. Bahkan saat lampu hijau sudah menyala, Gio belum juga mengangkat kepalanya.

Beberapa pengendara di belakang mobil Gio saling bersahutan membunyikan klakson. Tapi suara bising itu sama sekali tidak membuat Gio bangun. Lantas gadis itu merasa cemas. Ia ingin sekali pulang ke rumah karena ibunya pasti sudah menunggu. Tapi melihat Gio seperti itu membuat gadis itu memutuskan untuk menepikan sepedanya dan beralih membangunkan Gio.

"Mas, bangun Mas!" Gadis itu menggoyangkan bahu Gio dari balik jendela mobil. Namun hal itu sama sekali tidak berhasil.

Gadis itu menggigit bibir bawahnya, cemas. Sementara Gio belum sadar, para pengendara lain sudah mengumpatinya habis-habisan dan tak ada yang bisa gadis itu lakukan selain mengatakan kata maaf lalu meminta para pengendara itu untuk menyalip mobil Gio yang masih menyala di tempat.

"Duh, mas ini masih idup nggak ya?" Gadis itu celingukan sendiri. Bingung mau mencari bantuan pada siapa lagi.

Jalanan terlihat tak begitu ramai, dan gadis itu tidak bisa mempercayai orang begitu saja. Hal ini membuat gadis itu kelimpungan sendiri, tak tau harus menolong dengan cara apa. Ia lantas teringat untuk menghubungi ayahnya. Tak ada pilihan lain, selain memanggil ayahnya kemari untuk menolongnya. Ia benar-benar merasa kesusahan jika harus menggotong Gio sendirian.

Gadis itu pun segera memeriksa ponselnya, memanggil ayahnya begitu sambungan kedua dari teleponnya.

"Yah, tolong jemput Jani dong. Jani nggak bisa pulang,"

"Kamu dimana? Kok larut banget pulangnya?"

"Nanti Jani jelasin, tapi sekarang tolong jemput Jani yah. Jani butuh ayah,"

"Kirim alamatnya lewat sms aja, ayah nanti langsung kesana."

"Oke, yah."

Seperti perintah ayahnya, gadis bernama Jani itu buru-buru mengetikan nama jalan juga lokasi tempat ia berdiri sekarang. Begitu memasukkan ponselnya, tangan gadis itu masih bergerak, berusaha membangunkan Gio yang ternyata sudah benar-benar kehilangan kesadarannya.

"Mas ini enggak kenal tapi udah ngerepotin aja!" Sesal Jani.

×××

Hai! Mungkin cerita ini akan sedikit di rombak dari awal, jadi maaf ya yang sudah baci Jani sampai jauh. Aku pasti akan cepat menyelesaikannya^^

Agnes,

24 November 2018

Dear, JaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang