Bab 17

97 12 0
                                    

"Terkadang, tanpa terasa kita pernah melukai seseorang. Melukai hatinya, dan membuatnya harus menanam benih kebencian."

-Athena Putri Senjani

×××

Kaku

×××

Canggung. Adalah hal pertama yang keduanya rasakan setelah terjadi hal yang tidak diduga tadi. Baik Gio maupun Jani, masih belum angkat bicara perihal ciuman itu. Atau setidaknya Gio yang minta maaf.

Tapi untuk apa kata maaf? Karena Gio sendiri tidak merasa menyesal setelah melakukan hal itu pada Jani. Karena di dalam hatinya ia sudah benar-benar bertekad, secepatnya ia ingin Jani jadi miliknya. Gio sudah yakin jika Jani adalah sosok yang berbeda. Sosok yang akan membuatnya lebih berharga walaupun diselimuti dinding kasarnya.

"Jan," Gio mencoba membuka suara.

Bukannya menjawab, Jani justru membuang pandangannya ke arah luar jendela dengan wajahnya yang masih merona. Entah karena menahan marah, atau ia masih teringat tentang ciuman Gio tadi.

"Jani?" Gio berusaha memecah suasana yang menurutnya sangat tidak nyaman itu. "Lo marah soal tadi?"

Jani masih diam, enggan menjawab semua pertanyaan Gio. Ada sesuatu yang tiba-tiba ia rasakan hingga membuat dadanya terasa sesak.

"Aku mau pulang,"

Suara lirih Jani membuat Gio akhirnya menyerah. Ia membuang sedikit sikap kerasnya dan menuruti perintah Jani. Yah, walaupun dalam hatinya sendiri ia masih belum mau berpisah dengan Jani.

Mobil Gio mulai menyala, digasnya secara perlahan sampai mereka benar-benar meninggalkan gedung fakultas seni. Setelah itu keadaan benar-benar hening. Jani masih tidak mau menengok ke arah Gio, sedangkan Gio sendiri mulai menyadari bahwa sikapnya tadi benar-benar keterlaluan.

Tak seharusnya ia membiarkan kebiasaan itu merusak hubungannya dengan Jani. Jani itu berbeda, bukan seperti ayam-ayam kampusnya, tapi karena Jani itu istimewa. Bahkan sejauh ini Gio masih tidak bisa menemukan letak kekurangan Jani. Meski bersikap norak dan kuno sekali pun, jika orang itu adalah Jani, Gio mau-mau saja bila keduanya harus bertemu dan terlibat dengan hal-hal yang terduga.

Di malam yang semula terasa ramai, kini dapat berubah dalam satu kedipan mata. Kebisuan Jani benar-benar membuat Gio kehabisan kata-kata. Terlebih lagi Gio bukan tipikal cowok yang terbiasa merayu perempuan, jadilah suasana di dalam mobil semakin membuatnya tidak nyaman.

"Mulai besok jangan temui aku dulu,"

Kalimat dingin itu keluar dari bibir Jani begitu ia sadar akan sampai di rumahnya. Seketika itu Gio melotot, mengerem mobilnya secara mendadak dan menatap Jani dengan penuh tanda tanya.

"Kenapa? Apa lo marah soal tadi?"

"Seminggu lagi aku ada lomba. Bukan ngehindar, aku cuman mau fokus sama musik aku," Setelah itu Jani keluar dari mobil Gio, meninggalkan keganjalan yang bisa Gio rasakan. "Hati-hati, jangan ngebut."

Kemudian Jani segera menutup pintu mobil Gio dan langsung berjalan menuju pagar rumahnya. Tanpa menoleh sekali lagi, Jani masuk ke dalam rumahnya tanpa menunggu Gio untuk pergi dulu. Dengan berat hati Gio pun akhirnya berlalu. Sebenarnya ia ingin menahan Jani dan meminta penjelasan juga permintaan maaf atas kelakuannya, tapi sikap tegas Jani seolah sudah memberi Gio batas.

Dear, JaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang