Bab 11

177 21 6
                                    

"Percaya saja, doa-doamu masih disimpan baik oleh-Nya. Lalu pada saat yang Ia rasa tepat, doa-doa itu akan diterbangkan satu-persatu agar tidak lagi menjadi harapan semu."

-Athena Putri Senjani

×××

Pergi, dan pesawat kertas

×××

Seperti permintaan Dika siang tadi, kini Jani sudah berada di sebuah warung sate yang letaknya tepat bersebrang dengan kafe mereka. Keduanya duduk bersebelahan, namun cenderung Jani yang membuang pandangan ke arah luar.

"Jani, lo beneran nggak makan?"

Jani menggeleng pelan. "Enggak, aku masih kenyang, Dik. Kamu aja yang makan,"

"Yaudah kalo gitu. Bentar ya,"

"Iya santai aja, jangan buru-buru."

"Kalo nggak buru-buru ntar lo-nya diambil orang lagi," celetuk Dika asal.

Namun Jani yang masih belum mengerti maksud Dika hanya diam saja. Ia tidak ingin menanggapi obrolan itu karena sepasang matanya tengah sibuk menganalisis mobil yang terparkir di halaman kafe tempat ia berkerja.

Matanya memincing, mencoba mengenali mobil yang entah mengapa sangat tidak asing baginya.

Kayak punya Mas Gio, tapi kok aku nggak ketemu orangnya?

"Liatin apa, Jan?" Suara Dika kembali memecahkan fokusnya. "Ada temen kamu di sana?"

"Ah, enggak kok. Cuman liatin mobil aja,"

"Oh, gue kira ada yang mau jemput lo pulang,"

"Aku 'kan selalu pulang sendiri. Emang, siapa yang mau jemput cewek aneh kayak aku? Rasanya enggak ada deh," ujar Jani sambil nyengir lebar.

Entah mengapa ia menganggap dirinya seperti itu, padahal di mata kebanyakan orang Jani lebih bisa memikat hati lebih cepat. Bukan hanya karena parasnya, tetapi juga karena kebaikan hatinya.

Cantik dan sederhana.

"Ngerendah aja mulu,"

"Aku enggak bisa merendah, soalnya tumbuhku ke atas,"

Dika yang mendengar jawaban Jani hanya bisa geleng kepala kemudian melanjutkan makannya yang tinggal sedikit. Begitu mengelap bibir yang sedikit belepotan karena saus kacang, Dika meneguk es tehnya, lalu memberikan sejumlah uang pas.

"Makasih ya, Pak," ia kemudian menoleh ke arah Jani. "Ayo, Jan, gue anterin pulang,"

"Loh?"

Kedua mata Jani langsung membulat, tapi Dika justru meraih tangan kirinya dan ia gandeng untuk menyebrang jalan.

"Dik, barusan aku bilang apa?"

"Bilang apa? Gue lupa,"

"Aku cewek aneh, Dik, kamu nggak boleh nganterin aku pulang."

Dear, JaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang