Cahaya

371 7 8
                                    



Adakah seseorang yang akan memberikan cahaya? Menerangi hidup yang selama ini bagaikan malam tak berbintang, hitam pekat, dan kelam? Aku berharap menemukannya. Segera menemukannya. Takkan melepaskannya—Revandira Papinka.

***

"Revan!" Seru seorang wanita cantik, berumur 42 tahun, sembari mengetuk pintu kamar milik putranya.

Seseorang bernama Revan itu membuka matanya pelan. Sembari menguap dan bermalas-malasan, ia membuka pintu kamarnya.

Wanita itu tersenyum. "Mama pulang!"

Revan hanya tersenyum tipis. Kembali menguap. Dan melengos ke dalam kamarnya kemudian menelungkup di atas kasur. Meneruskan aktivitas tidurnya yang tertunda.

Wanita itu hanya bisa tersenyum kecut.

***

"Revan, besok Mama mau berangkat ke Itali. Nanti Mama kasih kamu uang buat kursus," ujar perempuan cantik berumur 42 tahun itu sembari melangkah pelan. Hendak memasuki kamarnya.

Wanita itu tetap terlihat anggun dengan blazer biru tosca dan rok pendek hitam, serta rambut pendek sebahu model bob layer yang dibiarkan terurai dan tampak rapi dengan warna hitam pekatnya, meski lelah karena baru pulang bekerja seharian.

"Nggak usah pulang lagi, Ma!" Seru Revan santai, kemudian meneruskan kegiatan menonton televisi di ruang tengah.

Langkah mama Revan itu terhenti, terperangah, kemudian berbalik menghadap putranya, "Apa kamu bilang?" serunya dengan suara keras, sembari menatap lelaki 17 tahun itu dengan tatapan penuh amarah.

Revan mematikan televisi, kemudian membalikkan badan untuk menatap wanita di hadapannya dengan tajam, "Aku bilang Mama nggak perlu pulang lagi ke rumah! Sudah jelas?"

Mama Revan menarik nafas panjang. Tidak menyangka dengan apa yang di dengarnya barusan. Selama 10 tahun ia mengurus Revan sendirian tanpa suami, baru kali ini Revan berkata kasar padanya.

"Kamu berkata seperti itu pada orang yang mengurus kamu sendirian selama 10 tahun???" Teriak Mama Revan. Marah, emosi, dan sedih. Wanita itu menangis.

"Lebih tepatnya, mama yang memberi aku harta selama 10 tahun, bukan mengurus aku! Bahkan selama setahun, hanya seminggu aku bisa melihat mamaku," Lelaki itu berdiri. Berusaha menahan tangis dan emosi yang menyesaki dadanya, "Maaf. Silahkan lanjutkan aktivitas mama. Travelling sesuka hati. Berkarirlah. Carilah uang sebanyak-banyaknya. Aku akan pergi dari sini. Tinggal dengan Kak Ian di Depok."

Mata wanita itu berkaca-kaca. Entah mengapa, kata-kata sederhana Revan mengukir rasa bersalah di dalam hatinya, "Re..Revan."

Revan melangkah cepat menuju kamarnya. Mama Revan yang sudah berderai air mata mengejarnya sebisa mungkin. Aura rumah itu benar-benar panas, hingga semua pembantu rumah tangga menatap kaget dan tidak percaya.

Revan membanting pintu dengan keras, lalu menguncinya. Dengan lemah, ia duduk bersandar di pintu sembari menangis. Kebiasaan buruk yang hampir setiap hari ia lakukan tanpa diketahui banyak orang.

Wanita itu mengetuk pintu kamarnya pelan, "Revan, buka pintunya, Nak!" Serunya pelan dengan suara serak.

"Maafin Mama...." Wanita itu mulai terisak, "Mama melakukan semua ini karena kamu, Mama masih mencari uang untuk masa depan kamu."

"Diam!!" Teriak Revan keras, lalu membanting 3 buah vas bunga yang terletak di meja sebelahnya. Emosinya semakin menjadi-jadi.

Mama Revan yang sudah tidak tahu harus bagaimana, langsung berjalan gontai sembari terisak. Wajahnya memerah. Karena tak mau terjadi perpecahan untuk kedua kalinya, wanita itu memilih pergi dan diam.

"Bu Dewi, mari saya bantu!" Ujar salah satu pembantunya, lalu mengamit lengan mama Revan yang bernama Dewi itu.

Wanita bernama Dewi hanya mengangguk, lalu kembali berjalan dengan lemas dan dituntun oleh pembantu rumah tangganya.

***

Revan melangkah seperti kesetanan. Menelusuri setiap sudut rumahnya dalam diam. Demi mencari seseorang. Entah apa yang akan ia lakukan jika bertemu orang itu. Minta maafkah? Atau langsung memeluknya kemudian menangis terisak-isak seperti anak kecil? Entahlah!

"Ibu sudah berangkat, Mas Revan." Sahur salah satu asisten rumah tangganya.

Revan hanya bisa tertunduk dan menelan ludah. Entah mengapa, separuh hatinya merasa sedih, sesak, dan menyesal.

Asisten rumah tangga yang berusia 30 tahun itu menyerahkan sebuah amplop putih berisi surat,

"Ibu hanya menitipkan ini."

Revan mengangguk, kemudian meraihnya. Ketika asisten rumah tangganya permisi untuk pergi ke dapur, Revan melangkah menuju ruang kosong yang hanya berisi piano. Tempat dimana mamanya menghabiskan waktu sendiri bersama alunan piano yang selalu menyairkan elegi. Lagu kesedihan yang tiada henti.

"Revan.. Mama tahu mama sangat bersalah. Luka yang kamu alami 10 tahun yang lalu tidak bisa mama obati. Meskipun mama sudah melakukan banyak cara untuk membuat kamu kembali seperti dulu, mama baru sadar bahwa mama tidak bisa mengendalikan hati kamu yang sudah keras seperti batu.

Maafkan mama Revan. Mama sudah membuat masa kecil sampai masa remaja kamu seperti berada di dalam penjara. Mama berharap, suatu saat kamu akan menemukan seseorang yang dapat memberikan cahaya untuk menerangi hidup kamu.

Mama sudah menghubungi Ian, dia bersedia menampung kamu. Siang ini kamu sudah bisa berangkat ke Depok. Mama juga sudah mengurus pidahan sekolah kamu ke SMA Bright Star. Ambil dulu beberapa berkas kamu di sekolah, setelah itu kamu bisa berangkat ke Depok.

Mama sudah mengirimkan uang ke rekening kamu. Pergunakan sebaik-baiknya.

Mama sayang kamu Revan."

"Sial!" Revan menyeka air bening yang mengalir deras di pipinya.

Bagi lelaki 18 tahun itu, menangis adalah kelemahan. Ia melakukan adegan 'menangis' dikarenakan telah berada pada titik terlemah. Sejak kecil, ia melatih diri untuk kuat di depan banyak orang. Tak mau menunjukkan sisi lemahnya. Namun ia tetaplah lelaki yang dirundung pilu ketika tengah sendiri. Berada di dalam kamar pribadinya. Pada tengah malam. Tak apa, asalkah hanya ia dan Tuhan yang tahu.

Revan berdiri, memasukkan kertas tersebut kedalam amplop.

Seseorang yang akan memberikan cahaya? Aku berharap menemukannya. Segera menemukannya. Takkan melepaskannya.

Princess HarzelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang