Tragedi Pentas Seni

228 4 13
                                    

Sorakan-sorakan itu. Cemooh-cemooh itu. Sungguh! Rasanya jauh lebih sakit daripada sakit fisik ketika keduanya melanda bersamaan. Sekali lagi, untuk kesekian kalinya, aku gagal!—Princess Harzel.

***

"Sella, kok belum siap-siap?" tanya Harzel setelah membuka pintu kamar adiknya.

Misella melirik Harzel lalu menggeleng, "Aku nggak ikut."

"Loh? Kenapa? Bahkan sekolah lain pun datang buat nonton acara kita," Harzel mendelik sebal ke arah Misella. Bahkan tahun kemarin, ia dan Misella datang ke gedung seni untuk menyaksikan penampilan terakhir kakak kelasnya.

Mama menghampiri Harzel, "Harzel, Revan udah di depan."

Harzel memandang mama sembari mengangguk, lalu kembali memandang Misella yang masih duduk di tepi ranjang kamarnya, "Sella, cepetan siap-siap!"

Misella melirik Harzel kesal, "Kakak pergi sama Revan, aku mau duduk dimana? Di atas ban??"

Harzel membenarkan ucapan adiknya. Sangat kejam jika ia menyuruh Misella pergi naik bus di malam hari seperti ini. Ia mulai paham sumber sensitif adiknya selain datang bulan yaitu tidak ada kendaraan. Setidaknya, tahun kemarin ia dan Harzel pergi naik taksi. Namun sekarang? Harzel kemana-mana cenderung bersama Revan. Entah sejak kapan.

"Itu masalah mudah, Sella," timpal Mama, "Mama bakal tanya ke Revan, dia bisa bawa mobil atau nggak. Kalo ternyata dia nggak bisa, nanti mama yang akan antar jemput Sella."

Mama pun melangkah pergi menemui Revan, meninggalkan kedua putrinya yang terdiam membisu.

Harzel menghela nafas, "Sella, siap-siap!" Serunya pelan.

Misella pun berdiri lalu membuka lemari dan mencari beberapa gaun pesta disana. Tak lama kemudian, mama datang menghampiri mereka.

"Revan bisa bawa mobil, kalian bertiga berangkat sama-sama ke gedung seni," Mama menepuk bahu Harzel, "Kamu jagain Sella baik-baik, ya!"

Harzel mengangguk, "Iya, Ma."

Mama pun pergi lagi meninggalkan mereka. Harzel melangkah memasuki kamar Misella dan duduk di tepi ranjangnya. Menatap Misella yang menghilang di balik pintu kamar mandi pribadi gadis itu untuk berganti pakaian.

***

Revan menatap sebuah kalung yang selama ini ia simpan. Kalung berlian itu masih tetap awet meskipun umurnya sudah menginjak sepuluh tahun lebih di tangan Revan. Lelaki itu tersenyum sendiri, ia bahkan tidak ingat bagaimana wajah si pemilik kalung. Yang ia tahu, gadis itu pasti cantik jika saja ia masih hidup hingga sekarang.

Ah, gadis cilik itu!

Revan tak ingat persis wajahnya, namun lelaki itu tak bisa melupakan momennya. Momen dimana ia dan gadis cilik secantik peri bersama-sama bertahan hidup saat tragedi kapal karam 10 tahun yang lalu.

Revan pergi meninggalkan gadis kecil itu seketika ingat bahwa ia harus mencari papanya. Namun, setelah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwasanya papa kesayangan lelaki cilik itu terkulai lemas, pucat, dan tak bernyawa di sebelah kamar rawatnya. Revan kecil menangis tersedu-sedu kemudian berlari. Tak tahan berada di dalam ruangan itu lagi.

Revan kecil melangkah kembali ke ruang rawatnya. Berniat menemui gadis kecil itu, untuk sekedar mencurahkan isi hati dan kesedihannya.

Namun langkahnya terhenti.... keramaian menyesaki ruangan itu disertai tangisan-tangisan yang pecah. Beberapa orang mengerumuni tempat tidur itu. Tempat dimana gadis kecil yang ia selamatkan terkulai lemas beberapa jam yang lalu. Beberapa orang memeluk tubuh mungil sang pasien. Revan tak bisa melihat dengan jelas siapa yang terbaring itu, namun ia yakin bahwa pasien itu tak lain adalah gadis kecil yang telah ia selamatkan.

Princess HarzelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang