Gumpalan Cacing

207 2 14
                                    

Disinilah aku berdiri, menatap sosok perempuan yang membuat insting kuat milikku buyar hanya dengan melihat senyumnya. Seseorang yang menjadi sumber ketenangan hanya dengan mendengar suaranya dan melihatnya menari-nari di balik gorden putih. Seseorang yang mengesalkan sekaligus menggemaskan dalam satu waktu.—Revandira Papinka.

***

"Mama gue nyiapin bekal lagi!" seru Harzel bersemangat di hari keempat mereka latihan.

Revan mendelik sebal, "Gue nggak mau makan roti lo lagi. Gue nggak suka."

Harzel memasang tampang memelas, ia memandang Faraz, Liana, dan Revan bergantian, "Sebenernya, gue lagi pengen makan bakso. Tapi mama gue tiap hari bawa bekal roti. Kalo nggak dimakan, dia bisa marah. Please, bantuin gue, ya?"

Faraz mengangguk, "Yaudah deh. Tapi besok-besok, suruh mama lo bawain pudding! Gue lagi ngidam, nih."

Harzel mengangguk, "Beres."

"Eh, gue mau pesen jus!" seru Liana sembari berdiri dari tempat duduknya, "Kalian mau?"

"Gue mau," Faraz mengacungkan tangan, "Ayo, Li!"

Faraz dan Liana melangkah menuju stan penjual jus. Kini, tinggal Harzel dan Revan yang sedang duduk berhadapan. Hening. Tak ada yang mengatakan apa-apa. Baik Harzel maupun Revan, masing-masing mengatur detak jantungnya sendiri.

Harzel mengeluarkan kotak makanan dari dalam ranselnya. Lalu menaruhnya di atas meja, "Lo yang harus makan roti gue duluan. Oke?"

Revan mendelik sebal, "Nggak!"

Harzel menghela nafas pelan, kemudian langsung membuka kotak makanannya. Napasnya langsung tercekat melihat pemandangan di depannya.

Harzel hampir menjerit, namun berhasil ia tahan melihat keramaian di sekitarnya. Ia menjauhkan kotak makanan itu dari hadapannya, lalu memangku dahinya yang tiba-tiba terasa nyeri.

Revan yang langsung meraih kotak makanan itu, seketika terperanjat melihat isinya bukanlah roti isi, melainkan gumpalan cacing tanah yang masih hidup dan meliuk-liuk.

Dengan hati-hati, Revan mengambil lipatan kertas kecil di antara gumpalan cacing itu. Ia membukanya dan mulai membacanya.

Berhenti dari group balet atau gue bakal ngelakuin sesuatu lebih dari ini!

Harzel mengambil kertas yang sedang dibaca lelaki itu, lalu membacanya. Seketika, bara api di dadanya langsung hidup dan memanas. Matanya menegang dan rahangnya mengeras. Ia tidak bisa diam lagi. Tidak!

"Gue nggak bisa diem aja!" Harzel berdiri dengan murka sembari menghentakkan meja, "Dia fikir dia siapa?"

Pandangan orang-orang yang berada di sekitarnya tertuju pada Harzel yang tengah berteriak. Gadis itu tidak lagi memperdulikan apapun. Dengan gejolak emosi yang membara, Harzel berlari meninggalkan Revan. Mencari seseorang yang akan ia beri pelajaran tanpa memikirkan resikonya.

Setelah menaruh kertas teror dalam saku seragamnya, Revan berlarian menyusul Harzel.

Menyadari ada yang menyusulnya, Harzel membalikkan badan dan memandang Revan penuh amarah. Mata yang biasanya tenang kini berkaca-kaca menunjukkan emosi pemiliknya yang telah berada di ambang batas.

"Jangan hentikan gue kali ini!" Teriaknya.

Revan menangkap kedua lengan Harzel, "Lo jangan gegabah!"

Princess HarzelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang