Satu hal yang aku sadari sepenuhnya. Dia berbeda—Princess Harzel
***
"Ceritanya.... gue yang bawa, nih?" tanya Revan, sembari mendelik sebal pada gadis di sebelahnya.
Gadis itu hanya cengar-cengir, sembari memasukkan buku-buku pelajarannya ke dalam ransel milik Revan. Untung saja, bukunya hanya dipenuhi pasir dan tidak ternodai oleh bangkai tikus.
"Lo nggak kemana-mana hari ini?" tanya Revan heran. Baru hari ini, Harzel tidak kemana-mana setelah pulang sekolah.
Harzel menggeleng, "Nggak."
Tak lama kemudian, pegawai sebuah jasa laundry yang mereka datangi tersenyum menyapa mereka, "Mbak, tasnya bisa di ambil nanti malem, sekitar jam delapan."
Harzel mengangguk kemudian pegawai perempuan itu pergi. Namun, dalam hati ia berfikir keras. Apakah ia berani keluar malam setelah kejadian penodongan yang menimpanya kemarin? Kecuali, Revan bersedia menemaninya.
Ia menatap Revan yang terduduk di sebelahnya, lelaki itu tertunduk tanpa merespon apapun. Harzel tahu jika ia meminta tolong, Revan tak akan menolaknya. Namun, ia merasa malu jika merepotkan Revan untuk kesekian kalinya. Tatapan gadis itu lama-lama berubah menjadi tatapan kosong.
Menyadari ada yang menatapnya, Revan menoleh. Benar dugaannya, Harzel sedang menatapnya tanpa bergerak. Namun, tatapan itu kosong. Ia tahu bahwa gadis itu menyembunyikan sesuatu yang berkecamuk di dadanya. Revan langsung mengerti apa yang di rasakan gadis itu hanya dengan menatap matanya. Revan sendiri tidak mengerti mengapa instingnya begitu terikat dengan gadis yang duduk sembari melamun di sebelahnya. Apa itu hanya perkiraannya saja? Entahlah!
"Gue bakal nemenin elo malem nanti," ujar Revan lembut, membuat Harzel tersadar dari lamunannya.
Harzel tersenyum semanis mungkin, entah bagaimana ia harus berterima kasih pada orang di depannya. Seketika, ia mendapatkan ide. Gadis itu langsung berdiri
"Van, lo pasti laper, kan?" tanya Harzel penuh semangat.
Revan menatapnya datar, lalu menggeleng, "Nggak."
Harzel memasang raut wajah sebal. Lagi-lagi, Revan menunjukkan karakternya. Ia kembali terduduk, "Yaudah."
Revan tersenyum geli, "Lo laper?
Harzel menanggapinya dengan mengangguk.
"Lo banyak makan, ya?" tanya Revan. Lebih kepada cercaan, "Tadi siang lo makan banyak banget. Sekarang lo laper lagi. Ckckck." Revan berdecak.
Harzel menatapnya sebal, "Bukan kayak gitu! Gue makan sekarang biar nanti malem nggak makan lagi!" Gerutunya kesal, "Kalo lo nggak laper, anter aja gue pulang sekarang! Gue nggak bermaksud ngajak lo makan. Gue cuma nanya!"
Revan meledakkan tawanya. Lelaki itu tak kuasa menahan dirinya melihat ekspresi Harzel yang menggebu-gebu ketika tengah emosi. Mendengar tawa Revan, gadis itu menatapnya seperti seorang pembunuh.
Melihat Harzel melototinya seperti itu, Revan meredakan tawanya. Ia tersenyum manis sembari menatap Harzel tepat di manik matanya. Seketika, jantung Harzel memompa begitu keras. Ia tertunduk. Takut Revan mendengar detak jantungnya. Entah apa yang terjadi padanya, jantungnya tak pernah berdetak normal saat berada di dekat Revan.
"Respon lo berlebihan," ujar Revan. Lelaki itu langsung berdiri, "Lo mau nemenin gue makan?"
Harzel mengerjapkan matanya. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Lalu, ia mengangguk. Mengiyakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Harzel
Teen FictionRevandira Papinka memutuskan untuk pergi dari rumah, setelah sekian lama memendam luka akibat keluarganya yang hancur berantakan. Di kehidupan barunya, ia bertemu Princess Harzel, gadis manis dan menyenangkan yang hampir membuatnya tidak bisa berger...