DUA

17.8K 824 11
                                    


"NICKYYY! BENTAR TUTUP DULU PINTUNYA!" Aku berteriak sekencang mungkin.

"I...iya, Om!"

Kudengar suara pintu ditutup. Aku tak bisa menahan cairan spermaku yang sudah berada di leher penisku, kumuntahkan dengan cepat lalu kunaikan celana dalamku dan kututup rapat risleting celana jeansku. Kuseka peluh yang membasahi kening.

Shit! Tanganku basah. Tak ada tissue, kuusap saja ke celanaku.

"Masuk Nick!" kataku. Napasku masih tersengal.

Nicky perlahan membuka pintu, wajahnya sendu. "Maafin Nicky Om." Sepertinya Nicky kaget dengan teriakanku.

Aku tersenyum kikuk. "Om yang minta maaf. Tadi mau ganti celana, lupa tutup pintu...he he he."

Nicky mengangguk-angguk. "Ohhh, pantesan celananya basah begitu." Nicky menunjuk selangkanganku.

What?!?

Aku menunduk. Ya Tuhan, spermaku merembes keluar. Apeeesss...

"Ya udah, Nicky cuma mau ngambil ini kok." Nicky mengacungkan ponsel yang diambilnya dari atas kasur. Bocah imut itu lalu keluar dan menutup pintu rapat.

Segera kukunci pintu kamarku. Kuhembuskan napas lega. Kusandarkan punggungku dibalik pintu.

Ampuuun... bodo banget sih!

*

Jam enam pagi kami sudah berkumpul di ruang makan. Mas Imam tampak gagah dengan seragam polisi dan segala atributnya, Nicky dengan seragam SMA nya, dan aku mengenakan kemeja biru dengan dasi warna senada. Mbak Andini masih berkutat di dapur membuat teh hangat untuk Mas Imam.

Aku menyendok nasi goreng hangat yang rasanya luar biasa. Mbak Andini memang jago memasak.

"Daripada naik taksi, mending kamu pake CRV yang di garasi belakang, sayang jarang dipake. Kan bisa sekalian nganter Nicky ke sekolah," tawar Mas Imam.

"Ide bagus tuh," Mbak Dini muncul dari dapur sambil membawa secangkir teh hangat dan meletakkannya di depan Mas Imam. Ia kemudian bergabung untuk sarapan. "Mbak lagi sibuk banget sekarang, di kampus lagi musim ujian, nggak bisa nganterin Nicky, soalnya arah sekolah dan kampus berlawanan."

Aku mengangguk-angguk. "Emang Nicky mau dianterin Om Dika?" tanyaku.

Nicky menggigit roti kejunya dan mengangguk. "Yang penting Nicky nggak telat."

Aku tersenyum. "Baiklah kalau gitu, mulai sekarang Om Dika akan menjadi sopir pribadi Nicky!"

"Yeaayyy..." Nicky bersorak gembira.

Kami menuntaskan sarapan dengan riang. Mas Imam pergi dinas ke Polrestabes, Mbak Dini diantar Mang Udin ke kampus—ia dosen di fakultas ekonomi, aku bekerja di bank swasta asing dan mulai hari ini aku jadi supir keponakanku.

Aku dan Nicky naik mobil CRV putih yang tetap terawat walau jarang dipakai. Kukemudikan dengan hati-hati. Kami bergerak menuju gerbang keluar perumahan.

"Masih inget nggak Nick, dulu kita sering main kesini?" aku menunjuk taman bermain yang berada dua blok dari rumah Nicky.

Nicky mengangguk. "Dulu Om yang bikin Si Tuti menangis karena ngerebut ayunan kan?"

Kami tergelak. Dia masih ingat kejadian itu. Tuti adalah anak tetangga kami yang terkenal nakal, entah dimana dia sekarang.

Kami lanjut bercerita tentang masa-masa indah kami. Dulu waktu seumur Nicky, aku tinggal bersama Mbak Andini. Kedua orangtuaku meninggal karena kecelakaan pesawat. Aku dirawat Mbak Andini dan Mas Imam selama lima tahun. Selepas SMA aku mendapat beasiswa kuliah ke Jerman dan menetap disana selama 10 tahun.

Nicky sudah seperti anakku sendiri. Dulu, dia sering menangis waktu kutinggalkan sekolah. Di malam hari bocah bermata bening itu lebih memilih tidur bersamaku dibanding kedua orangtuanya.

"Nick, kamu udah punya pacar belom?" godaku.

Nicky menggeleng. Ia sibuk bermain game di ponselnya.

"Masa sih cowok seganteng kamu masih jomlo?"

Nicky berdecak. "Nicky nggak mau pacaran dulu Om, cewek itu ngerepotin!"

Aku terkekeh. "Ngerepotin gimana?"

"Yaaa tau lah Om. Mesti antar jemput, mesti ngasih kabar, nggak boleh ini itu, bikin pusing!"

Aku mengernyit. "Kamu curhat ya?" selidikku.

"Pacarku dulu soalnya gitu Om, aku putusin aja," jawabnya enteng.

Aku menggeleng-geleng. "Dasar, mentang-mentang ganteng main putus-putus aja!"

"Abiiis, dianya ngeselin!"

"Ya kamu mesti sabar dong, kamu yang harus ngasih pengertian."

"Yeee, sok-sok ngajarin, emang Om punya pacar?"

Glek.

"Om, hmm... udah putus juga he he he." Jawabku.

"Mantan pacar Om gimana? Ngeselin juga?"

Aku memutar bola mataku. "Gimana yaaa..."

Aku tidak mungkin menceritakan mantan pacarku kepada Nicky. Seorang pria Spanyol yang berselingkuh dengan laki-laki lain dan membuatku mantap untuk segera pergi dari Jerman.

Kuhentikan mobil di pinggir gerbang sekolah.

"Nanti dijemput Mang Udin kan?" tanyaku.

Nicky mengangguk. Ia mencium tanganku dan turun dari mobil. "Dah, Om." Nicky melambaikan tangan lalu berlari masuk melewati gerbang sekolah.

Bocah itu menghilang seiring bunyi bel. Nicky sudah besar sekarang. Ia bukan lagi boneka lucu yang sering kucubit pipinya hingga merah. Dia sudah menjelma menjadi remaja tampan yang mampu membuat jantungku berdebar.

***BERSAMBUNG***

My Cute NephewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang