TIGA BELAS (END)

13.4K 588 63
                                    


"MBAK tunggu disini dulu, aku mau ke atas ngambil jaket sekalian ngajak Nicky," kataku terburu-buru.

Mbak Andini mengangguk, masih kulihat raut cemas di wajahnya. Aku bergegas ke kamarku, kuambil jaket hitam yang tergantung di balik pintu lantas menuju ke kamar Nicky.

Kuketuk pintu kamarnya sambil kupanggil namanya, tak ada jawaban.  Setelah tiga kali memanggil, aku mendorong pintu kamarnya. Ternyata tidak terkunci, aku masuk namun Nicky tidak ada.

Aku menggaruk kepalaku. Ini aneh, tadi sore dia bilang mau ngerjain PR di kamarnya tapi sekarang malah menghilang.

"Permisi..." Bik Anti, ART baru rumah ini masuk sambil membawa setumpuk pakaian yang terlipat rapi. Ia kemudian menaruhnya di pinggir tempat tidur Nicky.

"Bik, lihat Nicky nggak?" tanyaku.

Bik Anti berpikir sejenak lantas mengangguk. "Tadi bibik lihat Den Nicky pergi lewat pintu belakang."

Pintu belakang?

"Nicky nggak bilang mau kemana?" tanyaku lagi yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Bik Anti.

Baiklah, kuputuskan untuk segera turun ke bawah, urusan Nicky biar nanti saja. Yang penting sekarang aku harus segera pergi ke rumah sakit untuk mengantar Mbak Andini.

Tiba di rumah sakit, kami langsung menemui dokter yang merawat Mas Imam. Dokter mengatakan kondisinya cukup parah dan harus segera dioperasi. Mbak Andini ditemani seorang perawat segera mengurus administrasi untuk proses operasi. Sementara aku menunggu di ruang tunggu UGD.

"Om..."

Sebuah suara yang kukenal. Aku berbalik dan melihat keponakanku tengah berdiri di belakangku.

"Nicky? Dari mana saja kamu?"

Nicky mematung, tubuhnya gemetar. Ia seperti ketakutan.

Tak berapa lama ponselku berbunyi. Ada pesan dari Bik Anti.

Pak Dika, pas Den Nicky pergi bibik lihat dia bawa pistol punya pak imam. Tapi jangan bilang siapa2 ya pak. Bibik takut.

Jantungku terasa berhenti seketika. SMS Bik Anti langsung kuhapus agar tak ada yang membacanya.

Nicky masih berdiri di depanku dengan matanya yang sembab. Apakah Nicky menembak ayahnya? Tapi kenapa...

"Om..." Suara Nicky mulai terdengar berat dan matanya memerah.

"Nick," Aku memeluknya. Kuenyahkan sejenak prasangkaku padanya. Bagaimanapun juga Nicky tetap keponakanku.

Nicky meremas jaketku dan membalas pelukanku erat.

Aku masih tidak percaya kalau Nicky melakukannya. Anak sebaik dan sepolos Nicky tidak mungkin tega menembak ayahnya sendiri. Tapi aku harus memastikannya, aku harus mendengar sendiri pengakuannya.

Aku segera menarik tangannya dan membawanya ke dalam mobil.

"Kamu nggak nembak papamu kan?" Tanyaku langsung.

Nicky menunduk dan terdiam. Masih kudengar sisa isak yang berusaha ditahannya.

"Jujur sama Om, Nick. Kamu nggak melakukannya kan?"

Nicky masih terdiam.

Aku semakin tak sabar, kuremas pundak Nicky.

"JAWAB NICK! JAWAB!" teriakku sambil mengguncang pundak Nicky.

Keponakanku masih enggan menjawab, tangisannya kembali pecah.

"NICKY!"

***

Aku mendapati Mbak Andini tengah duduk di depan ruang operasi. Ia tampak sangat sedih. Mas Imam sudah satu jam berada di dalam dan masih belum ada tanda-tanda selesai.

Mbak Andini melihatku dan Nicky, ia langsung berdiri dan memeluk putranya.

"Semua akan baik-baik saja, Mbak." kataku menenangkan.

Mbak Andini melepas pelukannya dan mengangguk.

"Setelah Mas Imam siuman, segeralah Mbak menyerahkan diri ke kantor polisi." kataku berat.

Mbak Andini tampak terkejut. "Apa maksudmu, Dika?"

Aku menelan ludah. Berat rasanya bagiku mengatakan semua ini pada kakakku sendiri.

"Aku mengetahui semuanya. Mbak sengaja menyewa pembunuh bayaran untuk menembak Mas Imam kan?"

Nicky bersembunyi dibalik punggungku.

Mbak Andini menatapku tak percaya.

***

Rupanya Mbak Andini mengetahui perbuatan suami dan anaknya, ia begitu marah namun tak diungkapkannya. Ia bersikap biasa namun ternyata merencanakan sesuatu yang berbahaya.

Kemarahannya pada Mas Imam menjadi dendam yang teramat besar. Ia nekat menyewa seorang pembunuh bayaran untuk memberi pelajaran pada suaminya. Sialnya rencana itu tak sengaja diketahui Nicky. Keponakanku mendengar percakapan mamanya dengan sang pembunuh.

Pada hari ketika aku bertemu Nicky di kafe, sebenarnya Nicky hendak mengatakan hal itu namun ia ragu. Akhirnya dia mengatakan hal lain yaitu hubungannya dengan ayahnya.

Pada hari yang direncanakan, Nicky menyelinap ke ruang kerja ayahnya dan membawa sepucuk pistol. Ia ingin menyelamatkan ayahnya yang sedang berada dalam bahaya.

Tak butuh waktu lama bagi Nicky untuk menemukan sang pembunuh yang menyamar sebagai kurir pengantar makanan yang sudah diberi racun.

Nicky langsung menyerang pembunuh itu. Perkelahian alot terjadi di dalam kantor polisi. Nahas, pistol yang dibawa Nicky direbut si pembunuh lantas ditembakkan ke dada Mas Imam.

Pembunuh itu berhasil diringkus, namun Mas Imam terbaring koma.

***

Tiga bulan kemudian...

Rumah ini terasa berbeda tanpa kehadiran Mbak Andini. Ia divonis penjara setelah mengakui semua perbuatannya.

Kondisi Mas Imam sudah pulih dan ia sudah kembali sehat seperti dulu.

Pagi ini aku, Nicky, dan Mas Imam duduk untuk sarapan. Tugas Mbak Andini kini beralih padaku, aku harus bangun lebih pagi menyiapkan sarapan untuk keponakan dan kakak iparku.

"Om, Nicky suapin ya?"

Aku mengangkat alis. "Kenapa mesti disuapin?"

"Karena Om Dika sekarang pacar Nicky jadi mulai sekarang Om bakal Nicky suapin."

"Eits enak aja," seru Mas Imam. "Om Dika ini pacar Papa, harusnya Papa yang nyuapin!"

"Nggak bisa! Nicky yang nyuapin!"

"Papa!"

"Nicky!"

Aku geleng-geleng kepala melihat kelakuan ayah dan anak ini.

"Udah ah, kalian ini!" Aku berdiri kemudian meraih tangan Mas Imam juga Nicky.

"Daripada ribut disini, mending ribut di kamar aja yuk!" ajakku. Nicky dan Mas Imam saling melempar senyum. Ayah dan anak itu lalu adu cepat lari ke kamar dan meninggalkanku sendiri di bawah.

"Dasar!" aku segera berlari mengejar mereka.


***TAMAT***


Bonus

"Nick, masukin kontol kamu dong," pinta Mas Imam.

"Maaass..." aku melotot padanya. Kami sepakat, Mas Imam dan Nicky tidak boleh saling menganal.

Mas Imam tampak kecewa.

Aku kemudian naik ke atas tubuh Mas Imam. Kuremas kontol Mas Imam lalu kumasukkan ke dalam lubang pantatku. Nicky segera menyusul. Ia ikut memasukkan kontolnya yang besar ke lubangku. Rasanya aaahhhh...

"Om Nicky mulai genjot ya."

"Papa duluan."

"Nicky duluan!"

"Papa duluuu!"

Ya Tuhaaann...

My Cute NephewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang