EMPAT

17.9K 732 62
                                    


KAMI bertiga duduk dengan canggung. Nicky hanya mengaduk-aduk serealnya tanpa selera. Mas Imam membolak-balik korannya tanpa dibaca. Aku sendiri, menatap lesu nasi goreng tanpa minat untuk melahapnya. Mbak Andini melihat kami bertiga dan merasakan keanehan pagi ini.

"Kalian... sehat kan?" wanita cantik itu menatap kami bergantian. "Apa sarapan pagi ini nggak enak?"

"Hmm, bukan Mbak, sama sekali bukan itu, cuma hmmm..." aku bingung apa yang harus kukatakan.

"Nicky pergi duluan deh, ada kumpul anak basket pagi ini. Yuk Om." Nicky berdiri dan menyampirkan tas di bahunya. Anak manis itu mencium tangan mama dan papanya.

"Papa juga pergi, ada rapat pagi ini." Mas Imam melipat koran dan menaruhnya di atas meja.

Mbak Andini mengembuskan napas. Ia meletakkan sendok di atas mangkuk krim supnya dan mengelap lembut bibirnya dengan tissue.

"Ya sudah, kalau begitu Mama juga berangkat sekarang." Mbak Andini berdiri dan mengambil tasnya.

Sarapan pagi ini bubar terlalu cepat. Tak ada kehangatan seperti kemarin. Aku kehilangan selera makan setelah kedatangan Mas Imam ke kamarku semalam.

Aku terpaksa mendorongnya ketika ia menciumku. Aku benar-benar tak ingin terlibat lagi dengannya. Cukup di masa lalu aku merasakan kehangatan pelukannya dan kelembutan bibirnya. Aku tak mau lagi melibatkan perasaanku dengan kakak iparku itu.

Nicky juga lebih banyak diam pagi ini. Mungkin ia takut aku akan mengatakan perbuatannya semalam pada kedua orangtuanya, padahal ia tak perlu terlalu khawatir. Aku tak akan pernah mengatakannya.

Aku tak tahu apa yang Mas Imam rasakan pagi ini. Sepertinya tak berbeda denganku dan Nicky.

Di mobil, Nicky lebih banyak diam. Aku memutar otak, mencari bahan obrolan.

"Kok diem aja, Nick?" kataku. "Takut Om lapor sama papa mama kamu?"

Nicky menggeleng.

"Terus kenapa dong? Dari tadi kamu lesu banget."

"Semalem Nicky mimpi papa meninggal. Nicky takut Om. Nicky sayang banget sama papa, nggak mau kehilangan papa," tutur Nicky, wajahnya terlihat murung.

Aku menoleh sebentar dan tersenyum. "Nicky sayang banget sama Papa?"

Nicky mengangguk.

"Nicky tenang aja, nggak bakal terjadi apa-apa sama papa. Papa baik-baik saja." Aku kembali konsentrasi menyetir. Pagi ini aku kembali mendapat peringatan agar tak berurusan dengan Mas Imam. Aku tak akan tega melihat Nicky bersedih juga Mbak Andini.

*

Aku pulang lebih cepat hari ini. Aku tiba di rumah lebih dulu dari Mas Imam dan Mbak Andini. Nicky sepertinya sudah pulang dan berada di kamarnya.

Aku segera mandi dan berganti pakaian lantas menuju kamar Nicky.

"Lagi apa Nick?" tanyaku. Nicky sedang di atas kasur, menulis di buku catatannya sambil makan sesuatu.

"Ngerjain PR Om," jawabnya sambil mengunyah.

Aku duduk di dekatnya. "Lagi makan apa sih?"

"Cilok. Mau?"

Aku tersenyum dan menggeleng. "Lucu banget sih kamu. Lagi ngerjain PR apa sih?"

"Matematika. Tar lagi selesai."

Aku memerhatikan buku tulis Nicky. Tulisannya rapi dan bersih. Tangannya begitu terampil menulis rentetan rumus matematika yang membuat mataku berkunang-kunang.

My Cute NephewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang