DUA BELAS

10.1K 506 18
                                    

AKU masih belum memercayai apa yang kulihat tadi malam. Aku bahkan tidak bisa tidur, membayangkan yang terjadi antara keponakanku dan kakak iparku. Bagaimana mereka bisa berbuat demikian? Bagaimana awalnya? Bagaimana mereka... damn!

Hal yang membuatku geram adalah Mas Imam. Lelaki yang kucintai ternyata berani berbuat seperti itu dengan anak kandungnya sendiri. Mas Imam sudah mengkhianatiku. Dia sudah menduakanku dengan anaknya sendiri.

Pagi ini kami berempat duduk bersama di meja makan. Aku pura-pura bersikap biasa, seolah tak terjadi apa-apa.

"Mbak seneng lho Dik, akhirnya kamu bisa kembali ke rumah ini dan kita bisa makan bareng lagi," ujar Mbak Andini ditingkahi anggukan oleh Nicky.

"Nicky juga seneng Om Dika tinggal disini lagi, jadi Nicky ada temen main," ucap Nicky.

Aku membalas mereka dengan senyum. Mas Imam sendiri tampak diam pagi ini tak terlalu banyak berkomentar.

"Mas," kataku pada Mas Imam. "Aku boleh nebeng mobil Mas nggak?"

Mas Imam menoleh, tampak terkejut. "Mas... hmm... pagi ini mau nganter Nicky," kilahnya.

"Ayolah Mas, aku belum kuat bawa mobil. Lagian kan kita searah," paksaku. Aku menoleh pada Nicky. "Nick, boleh ya Om pergi sama Papa?"

Nicky mengangguk. "Boleh Om. Boleh banget. Nicky biar sama Mama aja."

Aku menatap Mas Imam. Ia tampak kecewa.

Keheningan melingkupi sepanjang perjalanan. Mas Imam tampak tak begitu antusias, aku sendiri bingung harus mulai dari mana.

"Kok diem aja, Mas?" tanyaku sekadar memecah keheningan. "Mas lagi nggak enak badan?"

Mas Imam menggeleng. "Emang kenapa kalau Mas diem?"

"Ya nggak biasanya aja Mas," cetusku. "Mas nggak mau pergi sama aku ya?"

"Kok ngomong gitu?"

"Mas pengennya pergi sama Nicky ya?"

Mas Imam menoleh. "Maksud kamu apa sih, Dik?"

"Mas ada hubungan apa sama Nicky?"serangku tak sabar.

Air muka Mas Imam berubah seketika. Ia meminggirkan mobilnya.

"Mas selingkuh sama Nicky! Aku tahu itu!" aku geram.

"DIKA!" bentak Mas Imam.

"Aku sengaja pergi dari rumah karena tak ingin merusak keluargamu. Aku melakukannya demi Nicky dan Mbak Andini. Sekarang apa yang Mas lakukan?" aku menuntut tanggungjawabnya sebagai laki-laki.

Mas Imam mengusap mukanya dengan kedua tangannya. "Mas juga nggak tahu apa yang terjadi..." lirihnya.

Aku menjatuhkan punggungku ke jok. Tubuhku terasa lemas seketika. Jadi semua itu benar.

"Waktu itu Mas nggak sengaja masuk ke kamar Nicky yang kebetulan habis mandi. Dia bertelanjang bulat. Mas gelap mata. Mas menggoda Nicky dan semua itu terjadi begitu saja."

Aku berdecak. Luar biasa!

Mas Imam mengatakan ia ketagihan setelah pengalaman pertamanya dengan Nicky. Hampir tiap malam dia mendatangi kamar putranya dan bercinta dengannya. Bahkan ia pernah melakukannya di kamarku ketika aku pergi dari rumah.

Aku tidak mau mendengarkan apapun lagi darinya.

Aku keluar dari mobil dan membanting pintunya dengan keras. Mas Imam memanggil-manggil namaku namun tak kupedulikan. Aku memberhentikan taksi lalu meninggalkannya. Telepon dari Mas Imam tak kupedulikan. Aku benar-benar tak ingin berbicara apapun dengannya.

Sepanjang hari aku berusaha menyibukkan diri walau rasa sakit itu terkadang datang menghampiri. Terbayang kenangan-kenangan kami yang akhirnya membuatku sakit hati.

Tak berapa lama, ponselku berbunyi. Nicky menelepon.

"Ya Nick?"

"Om, Nicky mau bicara sama Om."

"Bicara? Apa? Ngomong aja Nick."

"Nggak bisa disini Om, nanti pulang kantor Nicky tunggu di kafe yang dekat tikungan ya."

"Oke."

Nicky menutup teleponnya. Sepertinya ada hal serius yang ingin dibicarakannya. Nada suaranya mengatakan demikian.

Sore hari sepulang kantor, aku bergegas menuju kafe yang dimaksud. Nicky sudah menunggu. Di depannya tampak segelas jus jeruk yang tinggal setengah. Aku langsung menuju mejanya. Nicky menyambutku dengan mencium tanganku. Aku duduk berhadapan dengannya lantas memesan secangkir kopi.

"Ada apa Nick? Kok tiba-tiba ngajak ketemuan disini? Kita kan bisa ngobrol di rumah?" kataku.

Nicky menatapku murung. "Papa, Om."

"Papa? Kenapa Papa?"

Nicky terlihat ragu. Ia meremas ujung kemejanya.

Aku menunggu tak sabar.

"Papa maksa Nicky terus Om, hampir tiap malam. Kalau Nicky nolak, Papa pasti mukulin Nicky."

Aku terkejut. Nicky memperlihatkan lebam di tangannya.

"Nicky pengen pergi aja dari rumah. Nicky nggak mau ketemu papa lagi." Nicky mulai terisak. Butiran air meloncat-loncat dari sudut matanya.

Ternyata Mas Imam lebih parah dari yang kuduga. Jadi selama ini ia memaksa anaknya untuk melayaninya.

Aku menggeser tempat dudukku dan memeluk keponakanku. Tangisan Nicky semakin deras.

Aku harus berbicara dengan Mas Imam!

Malam hari aku sengaja menunggu kedatangan Mas Imam. Aku yang sebelumnya enggan berbicara dengannya terpaksa harus melakukannya demi Nicky. Aku harus memperingatkannya kalau perlu menghajarnya.

Ketika sedang menunggu, aku melihat Mbak Andini terburu-buru keluar kamar. Ia berbicara di telepon entah dengan siapa tapi sepertinya penting.

"Ada apa, Mbak?" tanyaku ketika kakakku selesai menelepon.

"Mas Imam Dik," bibir Mbak Andini bergetar wajahnya pucat. "Kena tembak, kondisinya kritis."

Tanpa sadar aku menganga.

"Ya Tuhan..."



***BERSAMBUNG***

My Cute NephewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang