LIMA

15.6K 712 17
                                    

HAMPIR semalaman aku tidak bisa tidur. Aku teringat terus kejadian sore tadi. Entah setan apa yang merasukiku hingga aku tega berbuat begitu dengan keponakanku sendiri. Aku sungguh menyesal.

Tapi diluar semua itu, jujur aku menikmati permainan Nicky. Kontolnya yang besar dan kokoh membuat titik sensitifku terlena. Ia mengeluarkan sensasi yang membuat sekujur tubuhku berpesta. Nicky sungguh hebat. Belum pernah aku merasakan kenikmatan yang luar biasa seperti tadi.

Tapi tetap saja itu bukan hal yang dibenarkan.

Aku mengemudikan mobilku dengan mengantuk. Hari ini training yang kudapatkan cukup menguras tenaga dan pikiran. Tubuhku terasa lelah, belum lagi mataku yang semakin lama semakin berat.

Dan rasa kantuk itu benar-benar mendatangkan masalah bagiku. Tanpa sengaja aku menyenggol sebuah sepeda motor hingga terguling ke trotoar. Aku segera meminggirkan mobil dan turun untuk melihat kondisi pengemudi motor tersebut.

"Bu, maaf ibu tidak apa-apa?"

Seorang wanita berjilbab hijau dan bertubuh tambun berusaha berdiri. Ia melepas helmnya dan berbalik. Ia melotot.

"Tidak apa-apa gimana? Lihat nih motor saya!" Si Ibu tampak sangat emosi. Kulihat motornya tak terlalu parah, hanya goresan kecil dan spion kirinya patah.

"Saya ganti buat kerusakannya," aku mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan.

Si ibu malah melotot. "Heh Mas, situ pikir saya tidak mampu benerin motor saya? Sekarang gini aja, kita ke kantor polisi, kita selesaikan masalah ini!"

"Kantor polisi? Kenapa harus ke kantor polisi Bu?"

"Mas sudah mencelakakan saya dan harus diproses di kantor polisi!"

"Mencelakakan ap..." tiba-tiba aku menyadari di sekelilingku sudah berkumpul banyak orang. Kalau aku terus membantah, aku bisa dikeroyok. Akhirnya aku menyerah.

Singkat kata kami berdua pergi ke kantor polisi.

Di depan petugas si ibu terus nyerocos menyalahkanku atas insiden tadi. Aku cuma diam walau dalam hati sangat kesal karena aku tak melakukan seperti apa yang ia tuduhkan. Aku ingin sekali menjambaknya. Untunglah pada saat itu Mas Imam datang. Aku merasa sedikit lega.

"Ibu jangan khawatir, orang yang menabrak ibu akan saya masukan ke dalam penjara," ujar Mas Imam.

"Mas!" aku terhenyak.

Mas Imam mengedip padaku, memberiku kode. Ia memborgol tanganku dan memasukkanku ke dalam sel kemudian menguncinya.

"Sudah selesai. Sekarang ibu sudah boleh pulang." Mas Imam tersenyum ramah.

"Makasih Pak, tolong beri dia hukuman seberat-beratnya." Si ibu menatapku garang. "Rasain kamu!" katanya sambil berlalu.

Setelah si ibu pergi, Mas Imam melepasku. Ia tertawa melihat kejadian konyol ini.

"Kita ngopi dulu yuk," ajaknya. Aku mengangguk. Mas Imam membawaku ke kedai kopi di seberang kantor polisi.

Kami membahas kejadian konyol tadi.

"Untung ada Mas, kalo enggak kamu bisa dipenjara beneran," candanya.

"Untunglah Mas." timpalku.

"Sebaiknya kamu pulang bareng Mas aja, bahaya kalau kamu nyetir dalam keadaan ngantuk. Mobilnya biar disimpen disini aja."

Aku menggeleng. "Aku naik taksi aja, Mas."

Mas Imam tampak kecewa. "Dika, ayolah!" paksanya.

Aku berpikir sebentar. Sebenarnya aku enggan, tapi aku benar-benar sudah kehabisan tenaga. Mas Imam sepertinya sangat berharap aku pulang dengannya. Akupun mengangguk.

Selang setengah jam, aku sudah berada di mobil Mas Imam. Aku baru sadar, pria gagah di sebelahku ini terlihat sangat tampan dari samping.

Aku menelan ludah.

"Kamu sudah punya pacar?" tanyanya memecahkan keheningan.

Aku diam sebentar. "Sekarang nggak. Aku mau konsen di karier dulu," jawabku tegas.

"Mas...nggak bisa lupain kamu, Dik." Kata-kata itu lagi. "Nggak bisa ya, kita pacaran diam-diam lagi kayak dulu?"

Aku menggeleng. "Sekarang aku nggak bisa Mas."

"Karena Mbakmu dan Nicky?"

Aku mengangguk.

"Kalau itu alasannya kamu nggak perlu khawatir. Mbakmu dan Nicky biar jadi urusan Mas saja. Mas janji akan selalu menjamin kebahagiaan mereka."

"Dengan berselingkuh?" sergahku.

"Mas tidak tahu namanya, tapi Mas benar-benar cinta sama kamu."

"Mas?!"

"Mas jujur Dik," ucapnya. "I'm gay and I love you!"

Aku mengalihkan pandanganku keluar jendela. Ada perasaan pedih yang menelusup relung hatiku. Kalau boleh berkata jujur akupun sebenarnya masih mencintai Mas Imam. Dia sosok yang tak pernah tergantikan sekalipun aku sering berganti-ganti pacar. Dengannya aku bisa merasakan kehangatan seorang pria yang mencintaiku sepenuh hati.

"Dika..." Mas Imam memegang tanganku. Ia meminggirkan mobil di jalan yang sepi. "Berikan Mas kesempatan lagi. Mas janji tidak akan pernah menyakiti kamu."

Mas Imam menatapku dengan kedua mata teduhnya yang selalu membuatku tak berdaya. Aku kalah, aku luluh, tak punya kekuatan lagi. Kubiarkan ia menciumku dengan segenap hasrat yang memenuhi rongga dadaku.

Tanpa terasa setitik air mengalir dari sudut mataku.

*

Kami tiba di rumah sebelum jam makan malam. Mbak Andini menyambut kami dan mengatakan makan malam sebentar lagi siap. Aku pamit untuk mandi dan ganti baju. Aku masuk kamar, namun tak lama seseorang mengetuk kamarku.

"Nicky?" kataku melihat bocah itu muncul dari balik pintu.

Nicky menutup pintu dan tersenyum.

"Kenapa Nick? Ada yang bisa Om bantu?"

"Anu Om..." Nicky tampak ragu.

Aku mengangkat alis, menunggunya.

"Om... tar malem kita itu lagi yuk..."

"Apaan?"

"Ituuu..."

"Itu apaan?"

"Kayak kemarin..."

"Kemarin emang ngapain?"

Pipi Nicky bersemu merah. "Ngewek."

***BERSAMBUNG***

My Cute NephewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang