SEPULUH

11.4K 560 99
                                    


ATAS restu Mbak Andini, aku dan Mas Imam menikah. Sebuah desa kecil di Italia kami pilih untuk meresmikan hubungan kami. Kami menikah didepan petugas catatan sipil dengan Mbak Andini dan Nicky menjadi saksi.

Ikrar itu telah terucap dan kini aku resmi menjadi istri Mas Imam.

Setelah menikah kami berempat menghabiskan waktu sepekan di Italia, untuk bulan madu sekaligus berlibur. Selama masa bulan madu, aku dan Mas Imam tinggal di kamar yang sama sementara Nicky dan Mbak Andini terpisah di kamar yang berbeda.

Suamiku tak henti-hentinya bersyukur. Ia sangat bahagia karena pada akhirnya bisa menikah denganku.

Namun status pernikahan ini hanya berlaku di rumah. Di luar aku tetap adik iparnya dan sebisa mungkin kami harus merahasiakan perihal pernikahan ini mengingat profesi Mas Imam sebagai polisi.

"Mas juga minta maaf karena nantinya akan lebih memprioritaskan Nicky dan Mbakmu," ujarnya.

Aku menggeleng dan tersenyum. "Tak apa Mas. Memang itu kewajibanmu." Aku sama sekali tak keberatan. Apapun keputusan Mas Imam itu tak mengubah kenyataan bahwa dia suamiku dan mereka tetap keluarga bagiku.

Di rumah aku berbagi tugas dengan Mbak Andini. Hal yang bisa kukerjakan kuambil alih sebisaku. Aku tak mau merepotkan kakakku, terlebih statusku kini bukan hanya adiknya, tapi istri dari suaminya.

Untuk urusan ranjang aku pun tak menuntut terlalu banyak. Suamiku punya prioritas yaitu kakakku. Tapi Mas Imam berusaha adil. Dalam satu minggu, tiga malam ia bersamaku, sisanya bersama Mbak Andini.

Nicky yang kini menjadi anakku, sedang belajar memanggilku Mama. Aku yang memintanya memanggil demikian. Awalnya ia menolak karena merasa geli sendiri, tapi lama-lama ia mulai terbiasa. Nicky kini memanggilku Mama Dika.

Walaupun menjadi istri dan ibu, penampilanku tetap laki-laki. Tak ada yang berubah. Hanya sesekali ketika Mas Imam sedang nakal, ia memintaku memakai lingerie dan memakai make-up hanya untuk memenuhi fantasi seksnya.

*

Jam enam pagi kami berempat berkumpul untuk sarapan. Pagi ini giliranku memasak. Aku membuatkan nasi goreng kepiting kesukaan Mas Imam, sandwich tuna pesanan Nicky, dan telur mata sapi untuk Mbak Andini. Aku sendiri membuat secangkir kopi dan setangkup roti gandum.

"Ma, nanti jadi jemput Nicky kan?" tanya Nicky.

Mbak Andini mengangkat wajah dan menatap putranya.

"Mama Dika, Ma," ralat Nicky. Mbak Andini membulatkan mulut.

Aku mengangguk. "Beres kantor nanti Mama jemput ya."

Nicky mengacungkan jempolnya.

"Deuuh yang punya Mama baru manja banget siiih," canda Mbak Andini.

"Ya dong, Mama Dika is the best!" Nicky menyombong.

"Iiihh..awas kamu ya, nggak bakal dikasih uang jajan!" ancam Mbak Andini.

"Biarin...wek!" Nicky menjulurkan lidah. Ia tampak sangat lucu.

Kami tertawa. Sarapan pagi ini terasa amat menyenangkan.

Kami menyudahi sarapan. Siap berangkat menuju aktifitas masing-masing. Sebelum berangkat aku pamit dan mencium tangan Mas Imam. Suamiku membalas dengan mencium keningku.

"Hati-hati di jalan ya Sayang, jangan terlalu capek," pesannya.

"Iya Mas," aku mengangguk.

*

Hari ini aku pulang lebih awal dari biasanya. Aku langsung berangkat ke sekolah Nicky untuk menjemputnya.

Hanya sepuluh menit menunggu, Nicky datang dan langsung naik ke mobil.

Namun kulihat ada yang aneh dari anak tampan itu. Tak seperti tadi pagi, Nicky kelihatan pendiam. Ia tampak lelah dan murung.

"Kamu kenapa sayang? Kelihatannya capek banget?" tanyaku.

Nicky menghela napas. "Nggak tahu Ma, sejak tadi badan Nicky rasanya nggak enak."

"Kita ke dokter ya?"

Nicky menggeleng. "Nggak usah, Nicky mau tidur aja."

"Ya udah, kalau gitu kamu tidur di mobil dulu ya, nanti Mama bangunin kalau nyampe." Kukecilkan AC mobil dan mulai melaju meninggalkan parkir sekolah.

Sepanjang perjalanan Nicky tertidur. Kulihat keringat dingin deras mengucur dari pelipisnya. Penasaran, kuraba keningnya.

"Astaga!" aku kaget. Keningnya sangat panas! Tanpa berpikir lagi, kubelokan mobilku menuju rumah sakit.

Aku menghubungi Dokter Dave dan langsung disambut begitu tiba. Dokter tampan itu langsung membawa Nicky untuk diperiksa. Aku menunggu di luar dengan cemas.

Tak lama Dokter Dave keluar dari ruang periksa dan memanggilku. Ia mengajakku ke ruangannya untuk berbicara empat mata.

"Anak saya kenapa, Dok?" tanyaku tak sabar. Aku belum pernah melihat Nicky sakit seperti ini, aku jadi sangat khawatir.

Dokter Dave tiba-tiba tersenyum dan menyalamiku.

Aku menatapnya heran. "Kenapa, Dok?" tanyaku.

"Selamat, putra anda hamil."

***BERSAMBUNG***

Disclaimer :

Cerita ini hanya fiktif belaka, murni imajinasi penulis, mohon tidak mempertanyakan logika berkaitan dengan cerita. Terima kasih.

My Cute NephewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang