Alvin, Tersenyumlah (Tersenyumlah, walau itu sedikit mustahil)

72 43 32
                                    

           
              Setelah memberi makan babi pagi itu, Alvin segera bersiap untuk sekolah. Dengan terburu-buru ia segera ke rumah kami untuk berangkat sekolah bersama. Rumahnya lebih jauh dari rumah kami, letaknya setelah lapangan dan belokan desa. Ia mengajak kami cepat-cepat untuk segera berangkat sekolah karena kami hampir terlambat. Kemarin, Alvin berjanji akan berangkat bersama. Alvin sempat meminta maaf, karena ia tahu bahwa kami menunggu cukup lama.  Kami setengah berlari pagi itu, tak sempat aku menikmati perjalanan pagi itu. Mentari kala itu juga sudah cukup tinggi. Biasanya saat berangkat ke sekolah, kami selalu ditemani kabut tipis dan mentari masih malu bersembunyi. Bagiku tak apa, yang penting adalah pagi itu kami tak terlambat sekolah.
 

              Sesampainya di sekolah, segera menempati tempat duduk kami masing-masing, sesaat kemudian lonceng masuk langsung terdengar. Jam pertama adalah matematika dan kami semua langsung mendapat nilai matematika, hasil ujian kemarin. Hari ini Bu Sellin membagikan nilai ujian harian. Suaranya yang jelas dan lantang, menjelaskan bahwa Bu Sellin sedang dalam emosi yang tidak stabil. Sebelum membagi ujian, ia menjelaskan lagi ujian yang kemarin. Aljabar dan bilangan prima kembali ia jelaskan cara memecahkan rumusnya. Kemudian ia membagikan setumpuk kertas ujian kami. Ia mengatakan bahwa nilai ujian kali ini tidak ada yang memuaskan.
Hanya nilai 7 yang paling baik di kelasku. Sedangkan nilai yang paling buruk adalah nilai 2. Satu persatu pun nilai dibagikan. Semua yang telah mendapatkan nilainya pasti langsung menyembunyikan nilainya agar teman yang lain tidak tahu. Seperti halnya si Leon yang mati-matian menyembunyikan nilainya saat direbut Wulan yang ingin tahu nilainya, sampai kertas ujiannya terlihat lusuh tak berbentuk.

“Kalau nilai kalian masih seperti itu, ibu tidak segan menulis nilai buruk di raport kalian nanti, besuk ujian ulang, jangan sampai kalian mendapat nilai buruk lagi”.

         Ucapan Bu Sellin seolah menampar kami. Aku buka pelan-pelan nilaiku, aku bersyukur mendapat nilai 6. Tidak baik, juga tak terlalu buruk, tetapi bagaimanapun juga aku harus mendapat nilai yang lebih baik Seketika aku tertunduk berfikir keras mana letak kesalahanku. Kuhitung berulang kali hasil jawabanku, tetapi masih saja jawaban yang kutemukan masih saja salah dan salah. Sambil berlalu, terlihat Bu Sellin sangat kecewa dengan nilai kami. Matematika memang sangat sulit, tetapi kalau belajar tidak akan mendapat nilai jelek seperti ini. Betapa kagetnya aku, saat mengetahui Alvin mendapatkan nilai 3. Wajahnya lesu mengetahui nilainya, matanya pun berkaca-kaca, karena ia sangat bingung karena takut jika Ayahnya marah saat mengetahui nilainya sangat jelek.

“Jangan menangis eh, cengeng ah”. Aku menggodanya sambil menyenggol tubuhnya.
“Siapa yang menangis?’’. Tampak ia malu dan memalingkan mukanya.

****

                   Aku masih terus menghibur Alvin, dan memberinya semangat saat perjalanan pulang. Langkah kakinya lemah dan menyeret, wajahnya tertunduk selama perjalanan. Bahkan tak seperti biasanya, ia tampak lebih diam selama pelajaran hari ini. Hanya melamun penuh ketakutan. Ia hanya tersenyum  saat aku mencoba menggodanya dan terus menggodanya.

                Siang itu aku memutuskan tak langsung pulang ke rumah, karena aku ingin bermain ke rumah Alvin. Sementara Toni langsung pulang ke rumah, ia diajak Papa menjual beras hasil panen. Sesampainya di rumah Alvin, kami disambut ayahnya Alvin: Om Paul. Om Paul tampak sedang bersantai di ruang tamu dengan segelas kopi dan rokok yang sepertinya baru saja ia hisap. Sementara tangan kirinya mengayunkan capingnya dan mengibaskan di depan mukanya untuk menciptakan hawa sejuk. Setelah pulang dari kebun, kegiatan seperti itulah yang selalu Om Paul lakukan untuk melepas lelah.
“Kevin, jangan lupa kasih makan babi e”.

              Pinta Om Paul sambil menyeruput kopi yang masih tampak mengepul. Menandakan kopi masih panas dan nikmat bila diminum dalam keadaan seperti itu. Setelah meminta Alvin memberi makan babi, muncul pertanyaan yang membuat Alvin terkejut. Pertanyaan yang sangat Alvin harap tak ingin terucap dari mulut papanya.

“Nilai ujian kamu sudah dibagikan kah? Dapat nilai berapa?”.

             Kevin tampak diam. Di hadapan papanya ia hanya menundukkan kepala. Tubuhnya gemetar dan terpaku, tampak  ia sangat gugup. Papanya yang bingung kemudian bertanya kepadaku berapa nilaiku dan nilai Alvin. Aku tergagap, aku juga takut, apalagi postur tubuh Om Paul yang tinggi besar dan wajah sangarnya dihiasi kumis tebal yang seolah memenuhi atas bibirnya. Aku langsung saja menjawab berapa nilaiku, aku juga bingung ketika aku harus mengucapkan nilai Alvin atau tidak. Sampai ia memutuskan untuk menjawab sendiri.

“Dapat nilai tiga Pa”.

                  Jawab Alvin menyaut dengan nada yang lemah. Sontak dimatikannya rokok di tangan Om Paul, padahal rokok yang ia hisap masih separuh. Ditariknya tangan Alvin dan hampir saja Alvin dipukul oleh Om Paul kalau aku tak melerainya.

Asi ongga ( Jangan Pukul) Om Paul”.
Aku mencoba menenangkannya.

             Untung saja Om Paul tidak memukul Alvin. Seketika ia hanya memberikan petuah dan nasihat dengan nada yang tinggi. Diambilnya kertas ulangan Alvin, diremasnya, dibuang dan sambil berkata.

“Jangan buat malu Papa e, Papa kerja capek kerja hanya untuk kamu Nak!!”. 

                Sambil berlalu Om Paul meninggalkan rumah dengan motor bututnya dan pergi entah kemana. Terlihat sekali Om Paul sangat kecewa dan menghilang di ujung jalan. Kulihat Alvin menangis, derai air matanya seolah tak mau berhenti menuruni pipinya. Wajahnya sangat lusuh, seolah kekecawan merenggut jiwanya dengan perasaan rasa bersalah atas nilainya yang sangat jelek itu. Aku hanya bisa memintanya sabar dan berhenti menangis. Aku ingat saat Alvin memberikan semangatnya bak motivator. Aku mencoba memberi semangat sepertihalnya dulu ia lakukan kepadaku.

“Sudah Alvin, kamu pernah bilang kan ke aku, bahwa pasti nilai kita akan lebih baik kan?. Asalkan kita mampu untuk memperbaikinya”.

             Aku mencoba menenangkannya. Lantas, ia berjalan, melangkah menuju makam mamanya yang ada di depan rumahnya. Di situ ia bersimpuh sambil mengusap air matanya. Tangannya membelai makam mamanya dari ujung ke ujung. Mama Alvin telah lama tiada, sudah hampir tiga tahun Alvin ditinggalkan mamanya karena sakit parah. Kanker telah merenggut nyawa mamanya. Saat itu ia masih kelas 5 SD. Saat itu ia sangat terpukul, sampai-sampai ia tidak masuk sekolah sampai dua minggu. Ia pun sering sekali bersedih, saat Alvin teringat pesan mamanya.

“Sekolah yang tinggi Nana, jaga adikmu”.

                Dulu ia meronta dan menangis kencang seolah tak mau kehilangan mamanya. tante dan papanya sampai kualahan memegang Alvin saat sang Mama dimasukkan ke liang lahat. Sedangkan sang adik hanya menangis di gendongan pamannya. Saat sedih, Alvin pasti mengunjungi makam mamanya, hanya untuk menceritakan masalah yang ia hadapi.

“Aku bodoh Ron, aku telah membuat kecewa orang tuaku, pasti kalau Mama masih hidup, ia pasti juga sangat marah padaku” kata Alvin.
“Terkadang semua itu butuh proses, pasti kamu bisa mendapat nilai yang lebih baik, kamu harus buktikan pada Papamu, bahwa kamu bisa”.

              Aku hanya bisa menghiburnya. Terlihat sunggingan senyum muncul di bibirnya. Aku harap ia tidak terlalu sedih karena nilainya. Nampak ia sudah bisa tertawa, aku ingin dia mampu melupakan masalahnya dan ia ingin membuktikan pada papanya. Sahabatku ini memang luar biasa. Ia selalu mampu berjuang saat ia terpuruk.

****

             Semenjak saat itu, ia belajar sangat rajin. Satu jam belajar mungkin sudah tak cukup. Saat belajar IPS bersama, aku cepat merasa bosan, tetapi ia masih saja berkutat dengan hafalan panjang tentang sejarah Indonesia dan nama-nama pahlawan nasional. Ia juga tak mau mempunyai pengalaman buruk dengan matematika, berlatih memecahkan soal merupakan makanan renyah untuknya. Bahkan nilai tujuh adalah nilai terendah yang ia dapatkan. Saat pelajaran pun ia tak lagi diam dan sekarang ia aktif bertanya serta selalu menjawab pertanyaan. Hasilnya pun luar biasa, nilainya terus meningkat. Ia juga menjadi buah bibir guru-guru. Kata guru-guru, Alvin menunjukan prestasi yang luar biasa. Sejenak aku kagum saat melihatnya selalu tunjuk jari untuk menjawab pertanyaan. Alvin sudah membuktikan bahwa ia tak ingin membuat Papanya kecewa lagi. Aku ingin sekali sepertinya. Bersungguh-sungguh memberbaiki kesalahannya.

Dia menoleh kepadaku dan tersenyum.

The Twin's DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang