Semangat (Seperti lentera dalam gelap)

58 37 16
                                    

                Setelah ujian semester pertama, kami semua menerima rapot. Aku sangat beryukur saat kulihat rapotku lumayan bagus, walaupun semua nilai pelajaran rata-rata hanya mendapat nilai 7, hanya bahasa Indonesia dan agama Katolik yang mendapat nilai 85. Berbeda dengan Toni, hanya matematika yang tertulis angka 76 sedangkan yang lain di atas 80. Berapa pun nilai yang aku dapat, kata wali kelasku: Bu Imelda, kami harus bisa menambah nilai kami di semester berikutnya, karena menentukan naik atau tidaknya kami. Tidak puas dengan nilai yang aku dapatkan, aku harus mempertahankan dan  harus meningkatkannya  

****

               Liburan selama dua minggu di semester ini akan kami habiskan untuk membantu Papa dan Mama. Bulan ini sawah kami sudah saatnya panen. Saat panen, selalu mengharuskan kami berkutat dengan padi, menggilingnya dan menjualnya. Sabit, karung dan termos telah kami siapkan untuk dibawa ke sawah.
Tidak ada kesibukan membuat Pak Satria berinisiatif untuk membantu kami ke sawah untuk ikut memanen. Katanya, di Jawa ia tidak pernah menyentuh sawah, apalagi untuk menyentuh padi dan menggilingnya seperti saat itu. Ia benar-benar anak kota.

             Pagi yang hangat mengantar kami menuju sawah. Sawah kami berada jauh di belakang rumah kami. Sawah kami memang sawah bersama milik keluargaku dan Om Agus, sehingga semua hasil panen selalu kami bagi dua. Perjalanan ke sawah yang naik turun tak menyurutkan semangat kami. Dengan telanjang kaki, kami melewati sungai dan bukit.
“Masih jauh kah Om?”. Pak Satria bertanya.

                 Jari Om Agus menunjuk tepat pada pohon kemiri besar itu, menunjukkan bahwa sawah kami berada di dekat pohon kemiri yang Om Agus tunjuk. Sampai perjalanan kami berujung di pohon kemiri itu. Kulihat padi-padi kami yang nampak menguning. Kubelai padi-padi, sambil kurasakan angin yang mengempas wajahku. Kami semua pun langsung menyiapkan senjata kami: sabit dan siap memanen padi. Batang padi tampak menguning dengan bulirnya yang menggantung. Suara gesekan padi terdengar nyaring karena angin, membuat hati tentram. Suasana seperti ini-lah yang aku suka.
Beti leas (Sakit punggung) eh Om, Mama”. Tukas Pak Satria.

           Sambil memegang punggungnya, Pak Satria terlihat sangat lucu. Baru sebentar saja memanen padi saja katanya punggungnya cepat pegal. Sontak keluargaku dan keluarga Om Agus tertawa lepas. Sambil bercanda, mereka bilang bahwa Pak Satria tak pernah menyentuh sawah. Memang benar, karena ia hidup di antara hiruk pikuk jalanan kota.

                        Tante Erin, isteri Om Agus lantas menyuruh Pak Satria untuk istirahat saja dan minum kopi panas yang sedang Tante Erina buat, katanya untuk penghilang rasa capek. Setelah hampir lebih dari dua petak sawah, kami semua memutuskan untuk beristirahat. Kopi khas Manggarai merupakan kopi yang luar biasa, rasanya yang asli dan sangat dirindukan. Dituangnya air panas, dan dicampurkan kopi dan gula. Dari kejauhan, tercium aroma kopi yang nikmat. Seolah hidungku tak lelah menhirup wanginya. Banyak yang berkata, jika sekali merasakan kopi ini akan merasakan jatuh cinta. Mamaku pun menyiapkan ketela goreng yang enak, teman kopi siang itu. Kuambil ketela goreng panas, kumakan dan kunikmati. Rasanya gurih dan empuk.. Sungguh suasana siang panas ini membuat kami semakin akrab. Masih ada tiga petak sawah lagi yang harus kami segera selesaikan.

                   Setelah panen selesai sejenak kuseka keringat dan langsung kami membawa tumpukan-tumpukan batang padi ke mesin giling yang berada dekat dengan sawah. Mesin giling ini selalu kami pinjam dari Om Deus yang selalu menjadi langganan keluargaku saat panen tiba. Terdengar suara mesin giling yang memekakkan telinga, memunculkan harapan kami, agar panen kali ini banyak hasilnya. Biasanya sawah kami bisa menghasilkan 12 karung padi. Hasilnya nanti. Biasanya kami menjualnya di kios ataupun ke pasar.

               Sungguh luar biasa Pak Satria, ia rela berpanas-panasan seperti ini. Kata Pak Satria, ia ingin merasakan kehidupan yang sama seperti kami, berjuang keras untuk sesuap nasi. Walaupun keringat yang mengucur keras di dahinya tak ada kata lelah saat itu. Bahkan di sela-sela mengangkat karung padi, ia masih saja memberikan semangat untuk kami. Kadang aku merasa kasian, karena kulitnya yang dulu bersih, nampak mulai menghitam karena sengatan matahari yang sangat panas.

                 Setelah panen selesai kami semua bergotong-royong memanggul karung beras yang memiliki berat 10 kg ke rumah. Untuk sampai ke rumah, kami harus melewati sungai dan persawahan yang naik turun. Kira-kira kami harus kembali lagi tiga kali. Sangat lelah yang kami rasakan, sambil mengusap keringat, Mamaku telah mempersiapkan hidangan. Inilah yang aku tunggu. Sayur nangka muda yang bersantan dan sambal terasi menjadi santap siang ini. Melepas lelah, mengembalikan tenaga kami. Biasanya untuk panen kami menghabiskan waktu tiga hari sampai semuanya beres.

****

               Masuk sekolah masih seminggu lagi. Untuk melepas kebosanan, kami habiskan sore dengan pemuda-pemuda desa untuk bermain takraw di lapangan. Lapangan desa tak cukup luas, karena berada di antara rindangnya pohon kemiri yang menjulang tinggi. Sore itu Bang Marsel dan Ando bermain sangat maksimal. Aku beruntung satu tim dengan mereka. Kami dapat memukul telak tim Toni. Toni bermain cukup menyulitkan. Sempat aku tersungkur ke tanah demi mengejar bola yang sepertinya keluar, tetapi masuk di ujung garis. Bola itu berhasil ku tendang ke dalam dan dapat diatasi oleh Bang Marsel.

                     Setelah bosan dengan voli dan takraw, kami membunuh waktu dengan bermain kemiri. Sebuah permainan seperti kelereng. Kelereng merupakan barang mewah yang sulit ditemukan di kios-kios desa. Ia hanya dapat ditemukan di kota dan tentunya harganya sangat mahal, sehingga kemiri-lah penggantinya. Kami sangat mudah mendapatkan buah kemiri. Pohon kemiri banyak tumbuh liar di sekitar lapangan, sehingga kami tinggal memungutnya di tanah, karena buah kemiri yang matang akan jatuh dengan sendirinya. Saat bermain kemiri Alvin-lah ahlinya. Ia selalu dapat mengambil kemiri dari kami. Syarat permainan ini adalah jika yang dapat mengenai sasaran dengan tepat, ia dapat meminta kemiri yang tidak dapat mengenai sasaran. Alhasil aku kehabisan kemiri karena dibantai oleh Alvin dan Toni. Tembakanku yang selalu meleset-lah sebabnya.

                   Kami juga sering mencari ikan. Musim hujan seperti ini ikan di belakang sungai kami sangat banyak. Sungai belakang rumahku tak cukup dalam. Untuk mencapainya kami harus melewati sawah dan tebing. Kami juga harus melewati hutan bambu kuning untuk mencapainya.
Dengan membawa pancing sederhana dan parang ke sungai untuk memburu ikan dan belut. Kami sangat bahagia, karena bisa makan ikan hari ini. Kadangkala kami juga mendapat belut yang besar. Hasilnya tidak seberapa, seperti sore ini. Aku, Toni dan Alvin membakar sedikit tangkapan kami di pinggir sungai dan menikmatinya. Sungguh suasana yang teduh sore itu, kami melihat sekelompok burung yang terbang menghiasi langit senja kala itu diiringi gemercik sungai dengan latar belakang lukisan langit Manggarai yang mulai berganti senja.
Kami mendapat belut dan ikan yang sangat banyak sehingga kami putuskan untuk membawa sisa tangkapan kami ke rumah. Mama sangat senang dan menutuskan untuk menggoreng tangkapan kami. Saat memasak ikan merupakan sesuatu yang aku tunggu, karena masakan Mama selalu menjadi idola keluarga. Kami pun memutuskan untuk makan bersama dengan keluarga Om Agus.

             
              Makan malam kali ini kami lakukan sebagai wujud rasa syukur kami atas panen yang melimpah. Nasi hangat dan segelas kopi menjadi teman santap malam. Sungguh malam yang damai yang ditutup dengan hujan yang mengguyur deras.

The Twin's DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang