Kami siap dengan menenteng dua tas besar dan tas ransel yang kami gendong. Kami siap, di depan rumah, mereka siap melepas kami berdua. Kulihat wajah Mama yang sangat lesu. Ia bersandar pada bahu Kak Indra, lemas dan tak berdaya. Sebenarnya aku tak rela berpisah dengan mereka lagi dan lagi.
Air mata mengucur deras di wajah Mama, aku menyekanya dan memeluknya erat. Papa memeluk Toni dan ia meminta Toni agar benar-benar menjaga aku. Walaupun ia khawatir, ia memberi kepercayaan penuh pada kami.
“Jaga adik Nana”.
“Iya Pa”. Jawab Toni.Kami juga memeluk Kak Indra dengan erat. Kami sangat berterima kasih karena ia selalu memberikan semangat untuk kami.
“Ingat pesan kakak e, jangan lupa menghubungi kami saat sampai di Jawa”.
Kakak memang telah membelikan kami HP baru, HP yang hampir sama sebagai ganti milik kami yang telah rusak. Kakakku ini memang sangat baik, ia juga membelikan kami keperluan-keperluan kami untuk ke Jawa.
Kami benar-benar akan pergi, langkahku sangat berat, kakiku seolah membeku, seolah tak mau melangkah sejengkal pun kala itu. Dengan sisa air mata yang masih saja menetes, aku harus melangkah, diiringi mereka yang menuntun langkah kami, memberi semangat pada kami, harapan serta kepercayaan yang besar. Mereka seolah menjadi sang pembuka pintu, saat pintu itu sudah terbuka-kami tinggal memasukinya dengan bebas.
Angkutan kami sudah menunggu lama di seberang jalan. Musik dangdut seolah melekat saat kedatangannya. Kulihat Alvin berdiri di sana. Ia tersenyum dan memberi hormat kepada kami.
“Hormat Pak Polisi, Pak TNI, sukses ya”.
Aku memukul kecil perutnya. Ia sedikit kesakitan dan tersenyum kepada kami. Senyumannya mengiring kepergian kami. Aku melempar tas begitu pula tubuh kami.
“Hati-hati kembar!!”.
Teriakan Alvin mengingatkanku saat dulu ia dimarahi oleh papanya, ia mampu berbenah diri, ia selalu mendapat nilai baik dan di SMA ia mampu menjadi juara kelas. Luar biasa, Alvin memang hebat, sekarang ia akan mendaftar kuliah untuk menjadi guru di kota Kupang. Lambaian tangan mereka seolah mendoakan kami agar selamat dalam perjalanan. Semakin terdengar tipis bersamaan laju otto semakin meninggalkan mereka. Kami akan baik-baik saja sampai tujuan kami: Semarang.
****
Rasa mual merasuki tubuhku selama perjalanan. Pijitan Toni seolah tak mempan mengobati mabuk pejalanan yang kualami. Apalagi kami melewati dinginnya kota Ruteng yang menusuk. Sebuah kota kecil yang luar biasa, yang mampu membuat orang-orang menggil oleh dinginya. Kota yang selalu diselimuti kabut dan selalu ditemani hujan. Seperti pagi itu, hujan sudah turun, padahal mentari belum begitu menguasai hari. Aku jadi teringat Eflin, bagaimana kabarnya?. Aku dengar ia tengah sibuk dengan cita-cita keduanya. Aku tersenyum dibalik jendela, merasakan gemercik air hujan yang mererpa mukaku.
Aku memang tak mampu berlama-lama di mobil.Masih tiga jam lagi untuk menuju pelabuhan di Labuhan Bajo, ibukota kabupaten Manggarai Barat. Aku tak sabar sampai dan sesegera mungkin menghirup udara bebas. Suasana bemo yang penuh sesak membuatku ingin segera meluruskan kaki dan segera menjauhi aroma mobil yang membuatku mual.
Labuhan Bajo, sebuah kota yang tersohor sebagai pintu gerbang wisata ke kepulauan komodo yang menjadi primadona wisata di Nusa Tenggara Timur. Aku mencoba menenangkan diriku dengan menghamburkan pandanganku untuk beradu pada hutan sekelilingku di balik jendela bemo. Sungguh indah pemandangan ini, nampak kepulauan itu di ujung barat, yang bercampur kilatan cahaya yang berpendar cerah siang itu. Tak terasa sampai juga berhenti di pelabuhan Labuhan Bajo, aku tenang.
Mengambil nafas panjang adalah hal pertama yang aku lakukan. Kusebarkan pandangan pada ratusan manusia yang lalu lalang yang siap melewati lautan. Kaki kami menginjak pelabuhan ini, sejenak kuusap keringat dingin yang berjajar rapi di keningku. Setelah membayar tiket kami siap menaiki kapal besar di depan kami. Kapal ini sangat besar, karena dapat menampung lebih dari seribu penumpang. Tujuan mereka bermacam-macam, ada yang ke Bali, Surabaya ada pula yang ke Jakarta, karena tujuan akhir kapal ini adalah ke ibu kota. Kami segera menempati kamar kami. Kusebarkan pandanganku, terlihat ada empat ranjang yang bertingkat. Aku lelah, segera kurebahkan tubuhku.
Dua ranjang yang lain ditempati oleh dua orang pemuda, yang satu bertujuan ke Surabaya sedangkan yang satunya lagi bertujuan ke Mataram NTB. Dua pemuda yang sangat ramah, mereka bernama Zainul, dan Antok, sambil menunggu keberangkatan kapal, kami berbincang.
“Asli Flores Mas?”. Tanya Zainul.
“Iya Kak, kami ingin ke Semarang”. Jawab Toni.Zainul ingin ke Surabaya, ia ingin pulang kampung setelah dua tahun ia tak pulang. Sejak dua tahun lalu, ia bekerja di Labuhan Bajo sebagai agen travel wisata di kota itu. Sesaat kemudian, kapal pun berangkat, obrolan kamipun kami lanjutkan di luar kamar, sambil melihat lautan nan luas.
“Adek-adek ini baru pertama merantau ya?”.
Sambil mengiyakan, kuhempaskan pandanganku ke lautan luas. Kulihat kepulauan komodo di samping kiriku. Sebuah pulau yang tersohor dengan kadal raksasa yang mendunia itu, tapi aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Sepertinya kepulauan itu sangat elit dan rasanya aku takakan mungkin menikmati paket wisata yang sangat eksklusif itu.
“Pulau itu sangat indah”.
Saut Antok, seorang pemuda yang selama satu minggu ini mengelilingi pulau itu dan keliling Flores. Pemuda tampan itu seumuran dengan kami, ia memutuskan mengisi liburan kuliahnya untuk mengunjungi si komodo. Dengan gaya necis ia memakai kaca mata hitam karena matahari yang menyilaukan.
“Aku akan rindu pulau ini”.
Gumam Antok yang seolah sangat bahagia dengan pulau Flores. Ia telah mengunjungi danau tiga warna: Kelimutu, bahkan ia telah merasakan timurnya Flores: Larantuka. Katanya, pulau yang tak ada bandingannya. Dalam benakku tak heran, karena pulau Flores menyimpan seribu keindahan, seolah potongan-potongan surga terjatuh di pulau itu.
“Kalian mau apa ke Semarang dik?”.
Pertanyaan Zainul memecah lamunanku. Ia kaget saat mengetahui tujuanku. Ada pandangan nyinyir bersamaan dengan kerutan di dahinya. Ia menyatakan Jawa itu keras. Hanya orang-orang yang beruntung dan berjuang yang bisa. Jawa banyak sekali yang kalau tidak dengan “uang” tidak akan berjalan lancar, tetapi banyak juga yang jujur di sana. Ia menenangkan kami, dan memberikan semangat pada kami.
Zainul adalah seorang pemuda yang sudah beberapa kali merantau.
Sebelum ke Labuhan, ia juga pernah merantau ke Kalimantan dan Makassar. Dulu ia juga sangat berjuang, sampai akhirnya Flores menuntunnya ke sebuah kesuksesan. Ia juga mengatakan pada kami “kalau tak mau merantau, kita takakan merasakan kesuksesan”. Sempat ia merasa terpuruk karena harus meninggalkan orang tuanya di Surabaya, tetapi ia selalu dikuatkan oleh ibunya yang selalu mendukungnya. Ia sangat percaya karena selalu mendapat doa dari ibunya. Seketika aku ingat Mama.Doa Ibu memang luar biasa katanya. Antok mengajak kami untuk makan siang. Dalam kapal banyak sekali yang menjual makanan. Sejenak aku melamunkan tentang perkataan Zainul, aku berdiri dan semangatku bertambah. Ku langkahkan kakiku untuk segeramenuju warung nasi yang berada di ujung koridor. Perut kami sudah tak tahan,ingin segera diisi.
****
Aku menghampiri Toni yang berdiri di ujung kapal. Ia sedang menikmati malam penuh bintang. Sudah sehari semalam kami terombang ambing di kapal. Kami baru saja melewati NTB, Antok sudah turun, ia berpesan “jangan menyerah” kepada kami. Mungkin tengah malam nanti kami akan sampai di Bali dan mungkin besuknya sore kami sudah sampai pulau Jawa.“Sebentar lagi Ton”. Aku memecah lamunannya.
Ia tersenyum. Pandanganya penuh semangat. Berbeda sekali saat ia sedang bandel-bandelnya. Aku menikmati angin yang menyisir rambutku bersama sinar bulan purnama yang terlukis di lautan dan kemudian hilang bersama buih. Mungkinkan kami bertemu dengan Pak Satria di Jawa?.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Twin's Dream
Ficção AdolescenteSebuah Novel Cerita inspirasi dari daerah Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Tentang mimpi, angan dan impian yang bukan untuk dipermainkan.