Selamat Datang di Kota Semarang (Sungguh-sungguh adalah kunci utama)

24 20 10
                                    

                   Zainul memeluk kami. Ia berkata, dia akan bangga ketika suatu saat menjadi seseorang yang kami inginkan. Kota pahlawan memisahkan kami. Ia adalah seseorang yang sangat inspiratif, ia rela jauh dari keluarganya, hanya untuk kebutuhan keluarganya. Bahkan ia rela meninggalkan anaknya yang masih kecil, semuanya ia lakukan untuk anaknya dan untuk masa depan anaknya. Perjalanan masih satu hari, besuk pagi kami sampai. Tidak sabar kami segera menginjak tanah, karena selama tiga hari tiga malam kami terapung di lautan. Untung saja aku hanya mabuk darat, kalau mabuk laut bisa-bisa aku pingsan di kapal.
                 

                Hari mulai malam, aku menyandarkan tubuhku di ranjang kapal, sedangkan Tomi baru saja selesai menghubungi Mama. Mama berkata tetap hati-hati dan jaga kesehatan. Toni juga menceritakan saat aku mabuk di otto. Menyebalkan, Mama dan Papa tertawa dan mengejekku, tetapi tak apa bagiku yang penting mereka tak lagi bersedih.

                Waktu menunjukkan pukul 11 malam, besuk pagi kami sudah sampai tujuan. Aku menata bantal dan menarik selimut, diikuti Toni yang mematikan lampu dan sesegera mungkin masuk ke alam mimpi. Seperti mimpi kami yang akan segera terwujud.

****

                    Mentari masih belum muncul. Fajar itu aku sangat kaget karena awak kapal membangunkan kami untuk segera turun karena sudah sampai Semarang. Sontak kami kaget, segera kami raih tas ransel kami dan tas pakaian kami. Kulayangkan pandangan kami menyusuri sudut demi sudut kamar, barangkali ada barang kami yang tertinggal. Setelah beres, kami segera turun kapal. Kami harus bersabar, karena ribuan penumpang antri menuruni kapal.

               Lega, aku telah menginjak tanah, tanah pelabuhan. Kubaca dengan jelas “PELABUHAN TANJUNG EMAS, SEMARANG”. Kami segera melangkahkan kaki kami bersama mentari yang nampak meninggi. Kami sempat bingung, kemana kaki ini harus melangkah. Tujuan kami yaitu segera mungkin mencari tempat tinggal. Angkot pun mengantar kami berkeliling kota. Panas, itu yang pertama kali kami rasakan, padahal ini masih pagi. Mungkin panasnya dua kali lipat dari kampungku. Apalagi dalam angkot sangat penuh sesak, kala itu para penumpang memandang kami lekat-lekat. Mereka memandang kami, orang kembar bermuka sama yang terlihat bingung.

                          Dari balik jendela angkot, kusebarkan pandanganku pada pemandangan kota yang sangat padat. Kulihat jalan raya yang terisi penuh kendaraan yang tak ada habisnya. Ramai sekali, kemudian kulihat gedung-gedung tinggi yang menyentuh langit. Aku memang tampak udik, tak apa,  memang aku anak desa.

“Kiri pak”.

                     Q Kami putuskan untuk turun saja, karena kami bingung harus turun di mana, karena penumpang sudah tidak ada lagi, kami pun ikut turun saja. Kebetulan sekali angkot ini rutenya berhenti menuju kawasan kampus yaitu Universitas Negeri Semarang, kami berhenti saja di kampus ini. Kata Kak Indra yang harus mencari tempat tinggal yang terjangkau yang sama dicari oleh para mahasiswa. Segera kami menyusuri gang untuk mencari tempat tinggal.

                     Kami sempatkan menghampiri kios kecil pinggir jalan. Kami memesan es teh yang sanggup melenyapkan dahaga yang dari tadi menyiksa tenggorokan kami. Setiap tegukan seolah melegakan dan menghapus lelah kami. Segera kami melanjutkan langkah kami. Terdapat jajaran rumah yang bertingkat, kami tanya satu persatu rumah tersebut. Ada yang murah ada pula yang mahal, dan sampai akhirnya kami memilih rumah yang beratap hijau itu. Rumah itu hanya memiliki tiga kamar, harganya terjangkau dan sederhana.

                 Pemilik rumah itu adalah bu Sumi, seorang janda tua yang mengubah rumahnya menjadi kos-kosan semenjak dua anaknya sudah bekerja di Jakarta. Kos ini hanya kami berdua, sedangkan anak kos yang lain telah lama lulus.

                        Segera kami menempati kamar yang sama, di dalamnya berisi dua kasur yang terhampar di lantai. Segera kuletakkan tubuh ini menikmati empuknya kasur. Begitu juga Toni, tanpa di suruh ia langsung melempar tubuhnya ke kasur. Kami istirahat siang itu. Lelah sekali, yang penting kami telah sampai tujuan kami.

****

                   Satu minggu di sini membuat kami bosan, tetapi tetap saja kami latihan. Menjadi jadwal rutin kami untuk mengahadapi pendaftaran yang masih tiga bulan lebih. Aku masih ingat pesan Kak Indra. Ia berpesan bahwa kami harus tetap latihan agar tetap menjaga fisik kami. Melihat keuangan yang menipis, kami putuskan untuk bekerja saja. Tak mau terus menerus merepotkan Kak Indra dan memintanya mengirimkan uang, sedangkan uang yang dibawakan keluarga kami akan kami tabung untuk jaga-jaga, barangkali ada kebutuhan yang mendesak. Toni berkata bahwa kita tak boleh manja terus-terusan. Aku jadi teringat saat kami berkelahi gara-gara kenakalan Toni, dia benar-benar telah berubah.

****

                       Hari ini kami putuskan untuk mencari kerja. Dandanan necis dan rambut yang klimis, kami siap mencari kerja. Beralaskan sepatu butut yang kami bersihkan sebersih mungkin.

“Mau pergi kemana, Nak?”.

                   Tanya Bu Sumi yang sedang sibuk menyapu lantai dan halaman kos. Tubuhnya yang mulai renta dengan jibab yang menghiasi kepalannya melihat heran dengan dandanan kami.

“Kami, mencari kerja dulu Bu”.

                Jawabku sambil kami berlalu. Kami berlalu sambil melihat Bu Sumi memberikan senyuman kepada kami. Ia adalah sosok ibu kami di sini, ia sungguh baik dan menerima kami dengan tangan terbuka. Sering sekali ia juga memberi kami makanan saat ia memasak makan lebih.

                Kami berlalu mencari ke pelosok kampus, mencari pekerjaan yang pas untuk kami. Sudut kampus kami lalui, kami tanya bengkel dan restoran barangkali tempat tersebut membutuhkan tenaga kami yang hanya memiliki ijazah SMA, tetapi kami ditolak mentah-mentah. Kami melanjutkan perjalanan, sepanjang perjalanan mahasiswa menatap kami, pandangan yang sama saat dulu naik angkot. Mungkin jarang sekali mereka melihat saudara kembar yang akur dan kesana kemari selalu bersama. Kami tak menghiraukan, biar saja mereka seperti itu.

                 Siang sudah begitu terang, memunculkan peluh yang begitu deras. Setelah istirahat kami melajutkan perjalanan, berkeliling sampai kami menemukan sebuah tempat fotocopy. Kami tautkan pandangan kami pada brosur di depan tempat fotocopy tersebut. Pas dan kebetulan sekali, mereka sedang membutuhkan dua pekerja, langsung saja kami menawarkan diri untuk menjadi pekerja di tempat fotocopy tersebut.

               Kulepaskan pandanganku pada tempat ini, cukup besar dan ramai, ada lima mesin fotocopy yang tersusun rapi di sini. Langsung saja kami menemui bossnya yang bernama Pak Anwar. Ia berkata bahwa, bekerja di sini yang penting rajin dan ulet, untuk masalah ahli atau tak ahli tidak masalah, nanti kami akan dibantu untuk bisa mengoperasikan mesin fotocopy. Kami besyukur, kami langsung diterima untuk bekerja di sini.

The Twin's DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang