Amarah (Seperti api yang tak kunjung padam)

35 31 9
                                    


                     Tak terasa waktu begitu cepat. Kami sudah hampir lulus SMA. Tinggal beberapa bulan lagi Ujian Nasional tiba. Siang itu aku sangat bersyukur karena aku mendapat kabar kesuksesan kakak-kakaku. Kak Astri akan lulus kuliah kebidanan di kota Manado dan kak Indra juga telah bekerja di perkantoran elit di Jawa. Aku senang sekali mendengar kabar itu. Pelajaran saat SMA memang semakin sulit, Toni saja yang terkenal pintar saat SMP nilainya menurun drastis, apalagi aku, aku harus mati-matian membaca demi kelulusan ini.

                      Liburan semester ini kuhabiskan untuk belajar, belajar dan belajar. Kembali membuka buku dan mengulang kembali pelajaran merupakan pilihan yang tepat untuk mengisi liburan. Saat sedang belajar, Toni pulang entah dari mana, dengan menggenggam sebatang rokok, ia menghisap rokok, dan menghempaskan asapnya ke udara.

“Kamu merokok Ton?”.
Tanyaku kaget, aku kaget melihatnya merokok. Langsung saja ia membuangnya ke luar rumah, seolah menutupi bahwa ia sekarang merokok.
“Memangnya kenapa Ron, jangan terlalu ketus lah, memangnya mengapa kalau merokok?”. Jawab Toni.

                      Aku menutup buku lantas berdiri di hadapannya.
“Oh, pantas ya uang yang Mama dan Papa kirim cepat habis, kamu bilang untuk beli keperluan sehari-hari, ternyata seperti itu?”.
“Aku tidak perduli Ron, toh Kak Indra sekarang sudah bekerja, tinggal minta saja beres”. Toni membela diri sambil mendorong tubuhku sampai terhempas beberapa langkah ke belakang.

“Oh, memang ya setelah kamu mengenal Rovan kamu menjadi berubah, kamu menjadi sombong, bahkan kamu menjadi malas, aku kecewa denganmu Ton. Ingat pesan Papa, ingat juga pesan Pak Satria untuk meraih cita-cita kita”.

                   Aku sangat kecewa dengan dia. Beberapa bulan ini ia sangat mengecewakan. Jarang sekali ia membantu pekerjaan rumah, menjadi malas belajar dan hasilnya nilainya menjadi turun. Aku menduga sejak ia mengenal Rovan yang semakin brandal itu, sifat baik dalam dirinya semakin memudar.

“Ah terserah, aku tidak perduli dengan semua itu, aku yang pegang uang, bebas kan uangnya aku pakai buat apa?!”. Jawab Toni dengan sombongnya.

“Baik, sekarang lakukan saja semua kesenanganmu. Kalau kamu terus begini, jangankan jadi TNI jadi kuli saja kamu tak akan bisa,!!”.

                 Aku pergi dari rumah, aku berlari tak tentu arah. Aku sangat muak dengan Toni. Sedangkan dari kejauhan Toni masih saja memanggilku, aku tak memperdulikannya.

                Sore itu aku berjalan, mungkin sudah satu jam lamanya. Kakiku sangat lelah, tak pernah aku berjalan sampai satu jam. Sampai kaki ini menuntunku sebuah ke pantai. Pantai ini tak begitu bagus, tak berpasir putih atau warna air pantai yang berwarna hijau toska, hanya kerikil dan karang yang berjejer rapi, tetapi bagaimanapun aku suka. Aku sengaja menuju pantai, karena aku suka sekali dengan pantai, suka dengan suara deburan ombak dan angin yang menenangkan. Aku juga sering kesini untuk membeli ikan dengan motor papa yang ia tinggalkan untuk kami.

                          Mungkinkah aku dapat sedikit lebih tenang dengan mendengar deburan ombak yang semakin dekat kudengar?. Suaranya damai sekali, apalagi saat menghempas batu karang dan kemudian kembali lagi ke laut, dan berulang lagi seperti itu. Aku duduk di batu karang yang besar itu, menikmati angin semilir yang menyisir rambutku. Kulemparkan berulang kali kerikil kecil ke tengah laut, barangkali amarahku sedikit teredam.

                      Saat itu kulihat kumpulan burung camar yang berterbangan menuju hutan mangrove nan jauh di sana. Kurasa mereka pulang menuju sarang setelah seharian mencari makan. Sejenak aku terdiam melihat matahari yang sedikit demi sedikit tenggelam. Warna jingganya yang terpendar seolah mempertemukan siang dan malam. Aku sempat berfikir apakah siang dan malam bisa bertemu dan berkata “aku sudah tak rindu”. Seperti rinduku saat ini, aku rindu keluargaku, aku juga rindu Pak Satria. Melepas rindu dengan menikmati semua rindu ini. Saat itu sangat menyesal, aku tak mampu menjaga kakaku.

“Papa, Mama Pak Satria aku minta maaf e”.

                     Biasanya saat seperti ini aku menghubungi Papa, ataupun Pak Satria atau hanya untuk sekedar bertukar kabar yang sering sekali menasehati kami. Tetapi, beberapa bulan ini nomor Pak Satria tidak aktif dan HP kami rusak. Walaupun kami sudah berpisah dengan Pak Satria selama lima tahun, kami masih sering berkomunikasi, tetapi saat ini kami benar-benar kehilangan kontak dengannya. Bila ingat Pak Satria, aku juga ingat dengan cita-citaku: Polisi.

                 Mendung di ufuk barat mulai menangis sangat deras. Aku berlari menuju gubug tua di pinggir pantai. Cepat sekali hujan turun, padahal beberapa menit yang lalu masih kulihat warna cerah di langit. Terdengar suara adzan dari kampung muslim di seberang desa. Saatnya mereka beribadah, teringat Pak Satria yang beribadah sampai lima kali sehari untuk memenuhi kewajibannya.

              Suara yang sangat indah, aku menikmatinya dan melepas lelah di gubug itu. Atap di gubug itu benar-benar hampir nihil. Atapnya hanya terpal yang berlubang yang rusak diterbangkan sang bayu. Mau tak mau tubuhku basah kuyup karena hujan senja kala itu sangat deras. Aku lelah, aku tidur saja. Aku tak peduli betapa basahnya tubuhku atau dingin yang menggerogoti tubuhku. Ya, aku tidur saja, aku lelah.

****

              Saat aku terbangun tubuhku terasa dingin dan gemetar. Aku baru ingat aku tadi malam kehujanan semalaman. Aku sentuh dahiku dan terasa sangat panas, kepalaku sangat pusing. Ya, aku sakit. Aku mecoba sekuat tenaga menegakkanku ke bambu gubuk yang mulai lapuk. Kusebarkan pandanganku melihat sekeliling. Dari kejauhan kulihat para nelayan yang sudah mulai melaut, pagi benar mereka melaut sedangkan mentari belum sempurna tersenyum. Mungkin mereka takut hujan kembali turun, karena di bulan desember, pukul 10 biasanya sudah turun hujan kembali.

                    Tubuhku sangat lemas, aku hanya bisa terduduk di gubug itu  untuk beberapa waktu dan menikmati angin pantai lagi, lagi dan lagi. Dalam benakku aku bertanya, apakah Tomi mencariku, apakah Toni mengkhawatirkanku?. Aku mencoba berdiri kemudian melangkahkan kaki, mencoba kuat, dan aku putuskan untuk pulang saja. Aku yakin dia sedang bingung mencariku.



                  Sejak tadi malam Toni hanya mondar-mandir mencariku. Ia bertanya ke teman-temanku barangkali aku ke rumah mereka. Berkeliling desa juga sudah ia lakukan. Toni sangat sedih pagi itu, ia sangat khawatir denganku. Apalagi sejak tadi siang ia mengetahui bahwa aku belum makan. Ia menunggu gusar di depan rumah. Sesekali ia berdiri dan duduk kembali. Ia bertanya-tanya kemana aku pergi.



               Sementara aku berjalan lemah, jalanku terseok dan menyeret. Aku tak mengerti dengan surya yang meninggi yang membuatku semakin berpeluh. Tak biasanya aku selemah ini, aku tetap berjalan dengan sekuat tenaga karena masih ada empat desa yang harus kulalui, di tengah perjalanan hujan pun kembali menyapaku. Aku mempercepat langkahku, berharap aku bisa cepat sampai rumah dan istirahat. Dengan sisa tenaga akupun hampir sampai rumah. Benar saja, kulihat Toni menghampiriku di tengah hujan. Ia terlihat sangat menghawatirkanku, apalagi ia melihat wajahku yang pucat dan ia sempat mengucapakan kata maaf padaku. Aku tak peduli dengannya, sisa amarahku pun masih membelenggu. Aku menolak bantuannya dan berjalan sendiri masuk ke rumah. Belum sampai pintu rumah, pandanganku gelap, dan aku pingsan. Ku dengar sayup Toni meneriakiku, lalu aku tak ingat lagi.

****

           Aku membuka mata, berat sekali rasanya. Aku sadari tubuhku sudah berada di tempat tidur dan bertengger kompres di dahiku. Kamarku gelap sekali, terdapat pelita di meja, pasti desaku sedang mati lampu. Di meja itu juga terhidang sepiring nasi, segelas air minum dan obat.

“ Cepat makan Roni”.
Suara Toni yang mengagetkanku. Ia sangat menyesal dengan selama ini yang ia lakukan. Ia berjanji tidak akan mengulanginya dan akan berbuat lebih baik dan tidak akan nakal lagi. Ia juga menceritakan bahwa ia mencariku kemana-mana.

                       Aku mencoba menegakkan tubuhku, sambil makan aku mendengar semua cerita tentang kekhawatirannya. Saat itu yakin bahwa ia akan benar berubah. Aku melihat sosoknya yang dulu kembali lagi. Sosok kakak yang dulu aku kenal. Aku sangat bersyukur dan yakin ia telah kembali.

“Aku pukul kamu e, kalau kamu begitu lagi”.
Aku menjitak kepala Toni. Ia mengangguk.
“Aku berjanji”.

The Twin's DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang