Tidak terasa ini sudah bulan Mei. Langit Tadonunang, desaku masih saja menangis. Gemercik hujan bercampur nyanyian katak memecah kesenduan sore itu. Sudah satu minggu ini setiap sore pasti hujan. Kulihat Pak Satria baru saja pulang dari kota Ruteng, katanya di sana ada kegiatan. Setelah meneduhkan sepeda motornya dan melipat jas hujan, ia memanggil kami yang sedang sibuk membuat tikar.
Tikar ini terbuat dari daun pandan yang dikeringkan, kemudian dianyam menjadi tikar. Keahlian kami telah diajarkan Mama. Tikar ini nantinya akan kami jual untuk makan kami sehari-hari. Walaupun orang tua kami sering mengirim uang, kegiatan ini untuk mengusir sepi dan menambah uang jajan kami dan kemudian sisanya akan kami tabung. Pak Satria memanggil kami, dan kami harus menghampirinya walaupun kami harus melewati hujan. Pak Satria sepertinya akan memberikan sesuatu, benar saja kami sangat kaget, karena Pak Bagas memberi kami satu pak buku dan beberapa bolpoin. Ia sangat baik sekali, sering juga ia memberi kami jajan dan permen.
Kami sangat berterimakasih.
“Pak, terimakasih Pak”
“Ya, digunakan dengan baik ya, itu hadiah untuk kalian karena kalian dapat nilai bagus”
Seraya masuk rumah, ia menyuruh kami melanjutkan kembali kesibukan kami membuat tikar.****
Pak Satria sudah seperti kakak kami sendiri, segala kegiatan kami ia selalu ikut, dari berolahraga, pergi ke kebun dan lain-lain. Seperti halnya saat kami berkebun ia selalu membantu kami, mungkin karena dia kasihan dengan kami karena semuanya kami lakukan sendiri seperti saat kami berkebun menanam sayur sore itu. Semua kegiatan kami biasa lakukan berdua, kami malah merasa sungkan ketika Pak Satria selalu membantu kami.
****
HP Pak Satria terdengar berdering kala itu, saat kami meminta bantuan Pak Satria untuk mengerjakan PR IPA. Itu merupakan telepon dari ibunya yang ada di Jawa.
“Halo, piye kabare (bagaimana kabarrnya), Le (sebuah panggilan anak laki-laki dari Jawa Tengah/ Timur)?”. Kudengar suara ibunya dari seberang telepon
“ Apik (baik) Buk”. Sahut Pak Satria sambil berlalu menuju luar rumah untuk ke tempat yang lebih sepi.Saat seperti itulah yang selalu Pak Satria tunggu, yaitu telepon dari ibunya. Obrolan mereka nampak bahagia. Tak jarang Pak Satria menghabiskan waktu lebih dari setengah jam. Waktu itu, Pak Satria sering menanyakan kabar, dan apa saja yang terjadi di Jawa. Ia juga berbagi kabar keadaannya di sini.
Pak Satria adalah seorang anak yang sudah tidak memiliki ayah. Ayahnya telah meninggal lima tahun yang lalu karena penyakit liver. Sebuah penyakit yang menyerang bagian hati.Dulu ia sangat ketakutan saat sang ayah dengan terpakasa harus dimasukkan ke ruang ICU. Segala macam kabel terpasang, kondisi ayahnya sudah sangat lemah.
Ibunya sangat lusuh dan sedih. Pak Satria tertunduk di depan pintu ICU, sedangkan ibunya dituntun tantenya menuju ruang tunggu. Saat itu ia juga sekilas adiknya menangis kencang ditenangkan oleh pamannya di ujung lorong. Sekilas Pak Satria melihat sang dokter sibuk dengan alat kedokteran seperi infus dan alat bantu oksigen yang menancap di hidung ayahnya. Ia sangat ketakutan, dan air matanya tak henti-hentinya membasahi pipinya.Dua hari di ruang itu tak menyiratkan kebahagiaan. Pak Satria malah mendengar tamparan berita yang menyebarkan duka mendalam. Seketika ia terdiam, hanya tangis menggelora yang ia dengar memenuhi lorong ruang itu.
“ Kami dari tim dokter telah semaksimal mungkin berusaha tetapi, Bapak Purwanto tidak dapat kami selamatkan”
Ya, sosok yang selalu melindunginya itu telah tiada. Duka menyelemutinya.Pak Satria yang mempunyai sifat yang sangat pemalu, pesimis dan sering putus asa. Ia juga sedikit sekali memiliki teman baik. Banyak teman yang tidak mau menjadi temannya karena sifatnya tersebut. Banyak juga yang mengejeknya sehingga dan ia pun sering mengalami tekanan.
Saat menempuh pendidikan kuliah, sempat ia tidak mau melanjutkan kuliahnya karena tekanan ekonomi keluarga. Pernah juga ia meminta ibunya untuk berhenti kuliah dan bekerja saja tetapi, ibunya tidak menyetujuinya karena sudah setengah jalan. Akhirnya Pak Satria tetap semangat kuliah dan berhasil sampai mendapat gelar sarjana.
Ia juga bercerita bahwa ia dulu masih ragu akan menjadi guru saat masih kuliah. Dengan segala sifat buruknya, ia pesimis apakah ia dapat mengajar dengan baik atau tidak, tetapi ia terus belajar dan menghapus sifat buruknya. Katanya untuk merubah sifat buruknya ia selalu melihat sosok ibu dan adiknya. Sampai menjadi sosok Pak Satria yang sekarang yang telah berubah 180 derajat.
Saat wisuda ia sempat merasa iri. Ia melihat teman-temannya digandeng orang tua yang lengkap saat berjalan melewati mimbar wisuda. Selesai wisuda ibunya memeluknya erat, ibunya sangat bangga. Pak Satria sangat bahagia karena perjuangannya selama empat tahun terbayar. Ia juga tak perduli lagi dengan keadaanya yang penting adalah ia harus membuat ibunya bahagia.
Selesai wisuda, sempat juga ia merasa kebingungan dalam mencari pekerjaan, alhasil Pak Satria sempat menganggur selama enam bulan. Dalam masa itu ia mencoba mencari pekerjaan kesana-kemari. Mendaftar guru sekolah, bimbel hingga ia nekat mencoba menjadi pegawai bank, tetapi hasilnya nihil. Memang, di Jawa katanya adalah tempat yang sulit dalam mencari pekerjaan, tetapi, kata Pak Satria tidak ada yang tidak mungkin, jika kita terus berusaha. Ia mengatakan mungkin saja belum saatnya dan belum rejeki.
Sampai ada program mengajar di daerah terpencil. Tak mau melewatkan kesempatan, Pak Satria mencoba mendaftar, barangkali ia dapat diterima. Rejeki memang tak kemana, benar saja ia diterima, ia heran dapat diterima padahal yang mendaftar ribuan orang. Ia bersyukur, walaupun ia harus terbang menuju NTT.
Sempat ia merasa sedih dan khawatir, karena ia harus meninggalkan keluargannya. Lebih-lebih di rumah tidak ada sosok laki-laki yang harus menjaga keluarganya. Ibunya juga sempat tidak setuju, tetapi mau bagaimana lagi, kata ibunya semua demi kebaikan anaknya dan akhirnya ia pun pamit dan terbang menuju Manggarai.
Sampai di sini ia sangat bahagia, ia belajar ribuan pengalaman. Ia dapat menikmati kesederhanaan, kerja keras dan rasa syukur. Walaupun kami berbeda suku dan agama, ia sangat bersyukur bertemu masyarakat dan anak-anak di sini, katanya semangat belajar kami luar biasa. Dengan itu ia sangat bahagia menjadi guru.Sungguh luar biasa Pak Satria. Aku sempat bersedih saat dulu mendengar cerita hidupnya. Cerita hidupnya membuatku mengerti arti hidup ini yang mengajariku untuk selalu menghormati orang tua. Walaupun sekarang aku ditinggal jauh oleh orang tuaku, aku harus belajar dengan rajin dan harus bisa mandiri, karena belajar merupakan tugasku sebagai murid, dan yang terpenting adalah suatu hari nanti aku harus menjadi polisi.
“Sudah selesai kah nomor 3?’’. Tanya Pak Satria.
“Sudah Pak”. Jawab kami.Aku tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Twin's Dream
Fiksi RemajaSebuah Novel Cerita inspirasi dari daerah Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Tentang mimpi, angan dan impian yang bukan untuk dipermainkan.