22 Agustus 2012.
Hari ini ruang kelas 9 A disulap dan ditata sedemikian rupa. Sebuah microphone telah dipasang untuk pembawa acara. Meja bertaplak, serta kursi yang ditata rapi. Pot-pot bunga juga diletakkan di pojok kanan dan kiri meja. Aku tahu benar mengapa para guru menata ruang kelas seperti itu. Hari itu mungkin adalah hari yang tidak kami inginkan.
Pak Satria duduk di antara Pak Victor dan Pak Dami. Pagi ini adalah hari perpisahan Pak Satria. Ia duduk di tengah seolah tersidang, dan menjadi pusat perhatian. Dalam acara itu, ia memberikan pesan dan kesan selama mengajar di sini. Pesan tulus ia berikan kepada kami agar tidak nakal dan terus belajar rajin. Teringat suatu masa saat ia pertama kali menginjakan kakinya di SMP ini. Saat itu ia tampak masih canggung melihat kami. Teringat juga saat ia setiap hari senin dan rabu masuk di kelasku. Tak sengaja air mata kami menetes.Terlihat Vitri, Lian dan Ica yang sesengukan menahan sedih yang teramat sangat. Rio, Rian dan Candra yang selalu kena marah Pak Satria pun juga tampak berkaca-kaca dengan air mata yang tampak sulit terbendung.
“Perpisahan bukan berarti berhenti menyatukan hati, karena saat satu orang mengenal orang lain pada saat itu juga hati mereka terikat, jadi bapak tidak akan melupakan kalian”.
Sebuah kata-kata yang sangat menyentuh hati kami. Aku tenang, itu berarti antara kami tidak akan saling melupakan. Bagaimana kami bisa melupakannya, ia adalah sosok guru yang selalu membimbing dan mengajarkan kami semua kebaikan.
Aku masih tidak percaya, akankah aku melihatnya kembali di sekolah ini, mengajar bahasa Indonesia lagi?.
Ia sekarang bersama semua muridnya di lapangan. Panasnya matahari tak kami hiraukan. Kami berdiri mendengar pesan terakhirnya dan berdoa agar kami baik dan sehat-sehat saja. Ia juga pamit bahwa ia akan pergi meninggalkan tanah ini besok pagi.Satu persatu ia memberikan salam terakhir untuk kami, peluk terakhir dan mungkin ini tak akan lagi kami melihatnya menenteng buku dan masuk kelas kami. Mungkinkan kami akan bertemu dengannya lagi suatu saat nanti?. Mungkin itu yang dipikirkan juga oleh teman-temanku. Mereka begitu erat memeluknya seolah tak ada lagi pelukan hangat tentang ilmu yang ia berikan, tentang candaanya, tentang kemarahannya dan semua tentang dia: Pak Satria.
“Pak, terimakasih atas semuanya, sehat-sehat ya Pak”
Sekarang ia berdiri di lorong sekolah. Lambaian kami di sambutnya dengan senyuman. Kami semua sudah harus pulang, sambil mengusap air matanya, bayangannya tampak semakin mengecil dan hilang.****
Kami benar-benar memeluknya erat. Belum sempat ia masuk ke rumah, aku dan Tomi benar-benar tak mau melepaskan pelukan kami. Lima ekor ayam yang ia bawa lantas ia lepaskan.
“Pak, jangan pulang ke Jawa ya Pak”. Pinta kami.
Sambil melepas pelukan kami, ia memegang pundak kami. Melihat mata kami dalam-dalam sambil berkata.
“Sudah-sudah, senyum dong. Bantu bapak bunuh ayam yuk. Kita makan ayam malam ini”.Sambil mengiyakan kami hanya diam. Dalam batin kami, tidak akan ada lagi sosok Pak Satria lagi besuk. Sempat-sempatnya ia masih bercanda, agar kami tidak diam dan terus bersedih.
****
Para tetangga dekat sudah berkumpul malam. Tak seperti biasanya, rumah Om Agus sangat sesak. Di sini juga datang Om Paul serta Om Kristo yang rela datang dari kota. Kopi sudah berjajar rapi di depan para tamu. Sekarang giliran nasi tiga bakul dan lauk ayam buatan Pak Satria sendiri, datang menyusul. Kami pun santap malam, santap malam yang terakhir dengannya.
Walaupun kami makan ayam, makanan ini terasa tidak enak. Om agus terdiam, begitu juga isterinya. Aku dan Toni pun tak selera seperti biasa. Serta teman-temanku yang datang hanya duduk termenung diam seribu bahasa. Sebenarnya masakan Pak Satria malam ini sangat enak, dengan bumbu kecap yang terasa pas, tidak terlalu manis ataupun asin. Tetapi bagaimana pun juga ini merupakan makan malam yang terakhir dengannya. Sangat, sangat tidak enak, makan ayam tetapi dalam keadaan sedih. Tangis pecah malam itu, Om Agus memeluknya erat, kata Pak Satria, ia tidak akan melihat sosok ayah lagi saat ia pulang nanti. Ia mengucapkan ribuan terimakasih telah menjadi orang tuanya saat berada di sini. Tante Erin duduk lemas dan hanya mampu menyeka air mata yang tak kunjung berhenti menetes. Pak Satria sudah mereka anggap anak sendiri.
****
Satu tahun sangat cepat berlalu. Jika aku mampu menghentikan waktu, aku akan menghalanginya untuk berputar. Tangis minggu pagi itu terdengar kencang dari keluarga Om Agus. Memecah pagi yang masih tampak gelap oleh kabut karena mentari masih sembunyi di balik lembah, hanya terlihat semburat cahaya kuning. Begitu banyak yang telah ia berikan, tawa, duka, pengalaman, semangat, dan tentunya senyuman. Koper besar itu telah ia tarik. Otto Cahaya Surya sudah menunggu dengan iringan musik dari band Sheila on 7 yang berlirik “Aku pulang, tanpa dendam, kuterima kekalahanku”.
Seolah lagu itu menyiratkan bahwa Pak Satria telah dikalahkan telak oleh waktu, dan ia pulang tanpa dendam. Terdengar nikmat untuk dibawakan oleh suara sang vokalis yang sendu itu. Sekeliling otto kayu sudah tersebar warga desa yang sangat sedih melepasnya. Pelukan terakhir darinya, ia merengkuh kami berdua.
“Hei Polisi, TNI, kalian harus membela negara kita e”
“Pasti Pak”. Aku meyakinkan.
“Pak, jangan lupakan kami, Bapak adalah kakak kami” Toni memeluk erat sambil tersedu.Sambil menyeka air mata kami, ia hanya mengangguk sambil membawa koper dan tas besarnya.
Ia benar- benar pergi. Lambaian tangan dari kami melepas kepergiannya.
“Di’a-di’a lako (hati-hati di jalan) Pak”. Teriak Tomi.
“Kalian juga baik-baik e, jaga kesehatan kalian”.Ia sudah hilang di telan kabut. Hanya tertinggal memori-memori kenangan yang tak mungkin kami lupakan. Aku hanya bisa menangis. Begitu banyak kenangan bersamanya. Pesannya agar selalu belajar untuk meraih cita-cita, yang pasti akan kami wujudkan.
Terimakasih Pak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Twin's Dream
Novela JuvenilSebuah Novel Cerita inspirasi dari daerah Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Tentang mimpi, angan dan impian yang bukan untuk dipermainkan.