07| DOKTER KWON

888 119 9
                                    

Hari semakin gelap. Hyorin menyeka tirai jendela di ruang tamu, demi memeriksa apakah anaknya sudah pulang atau belum. Namun, jalanan di depan rumah masih sepi. Belum ada tanda-tanda kepulangan sang anak terlihat.

Kembali mendudukkan diri di sofa, Hyorin memindahkan ponsel yang sejak tadi menempel di telinga kanannya menjadi ke sebelah kiri. Wanita cantik itu sedang melakukan percakapan yang cukup panjang dengan seseorang di seberang sana.

"Iya, begitulah.... Eum, aku selalu menanyakan apakah dia merasa gelisah atau tidak, dan untungnya dia selalu menjawab tidak.... Iya, aku harap juga begitu.... Tentu saja, dia bahkan sudah memiliki tem–"

"Aku pulang~"

"Oh! Itu dia sudah pulang. Akan kutelepon lagi nanti, Dokter Kwon. Annyeong!"

Hyorin melemparkan ponselnya sembarang ke sofa, buru-buru menghampiri Jinhwan yang berjalan dengan menyeret langkahnya setelah melepaskan sepatu. Anaknya itu terlihat lelah sekali. Seperti kebiasaannya yang sudah-sudah, Hyorin akan selalu mengecup dahi anaknya setelah ia pulang.

"Ibu, hari ini aku tidak bisa lama-lama berada di meja makan. Aku punya banyak sekali tugas yang harus kukerjakan." Jinhwan mengadu dengan nada lelah. Kedua lengannya melingkar pada pinggang ramping sang ibu, sementara kepalanya sengaja ia sandarkan dengan manja pada bahu.

Hyorin lantas mengusap kepala anaknya sayang. "Kasihan anak Ibu. Kalau begitu, ibu akan segera memanaskan makan malam selagi kau mandi. Jadi, kau bisa segera makan dan mengerjakan tugasmu."

Jinhwan tertawa senang. Mengeratkan pelukan pada ibunya yang sangat pengertian.

Mereka hanya hidup berdua. Hanya memiliki satu sama lain. Namun, Jinhwan selalu merasa lebih dari cukup. Sebab ibunya selalu ada. Menyediakan segala hal di dunia ini hanya untuknya, bahkan tanpa perlu ia minta. Hidupnya seakan sempurna bersama Sang Ibu.

"Terima kasih, Bu. Jinan sayang Ibu."

"Ibu juga sayang Jinanie."

Sayangnya, Jinhwan lupa bahwa hidup dan ibunya, tak pernah sesempurna itu.

.

.

"Aiissh... sudah kubilang untuk berhenti memanggilku dengan Dokter Kwon. Dasar, perempuan menyebalkan-tapi-selalu-bikin-rindu yang satu itu!"

Kwon Jiyong mengomeli ponsel yang berada di tangan kanannya, lalu melemparkannya asal ke atas meja kerja. Punggungnya kemudian dihempaskan pada sandaran kursi yang sedang ia duduki, sebelum memijat pelipisnya pelan.

Seharian ini, dokter tampan itu telah menangani cukup banyak pasien hingga membuatnya lelah. Tapi, lalu kawan lamanya menelepon. Jiyong merasa sedikit lebih baik setelah mendengar suara lembut dari perempuan itu, Min Hyorin.

Setelah memutuskan untuk pindah ke Seoul—yang sebetulnya adalah saran darinya sendiri—mereka jadi semakin jarang berkomunikasi. Panggilan suara tadi adalah pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir. Dan, obrolan mereka tidak jauh-jauh dari keadaan sang anak yang dulu pernah menjadi pasiennya untuk waktu yang lama.

Jiyong bukannya mengeluh, sih. Dia mungkin hanya rindu suara ceria Hyorin yang biasa menceritakan tentang kejadian-kejadian lucu di kantor padanya. Atau, tentang kegagalannya dalam eksperimen memasak.

Hah, rasanya sudah lama sekali.

Cukup lama melalang-buana ke masa lampau, entah bagaimana pandangan Jiyong akhirnya dapat jatuh pada pigura di atas mejanya. Sebuah foto yang diambil lebih dari dua puluh tahun silam. Menampilkan empat orang mahasiswa yang tersenyum ceria pada kamera. Min Hyorin muda menjadi satu-satunya perempuan disana yang tersenyum paling lebar, diapit oleh tiga laki-laki yang saling berangkulan akrab.

LOST.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang