Kenyataan

4.4K 462 54
                                    

Aku masih menangis sesenggukkan di kamar sahabat baikku, Kiba. Sejak aku kabur dari rumah—lebih tepatnya di usir oleh Ayahku—aku memutuskan langsung membawa semua barang-barang berhargaku, memasukannya kedalam koper ber-merk Gucci milikku, dan kabur ke penthouse milik Kiba.

Entah mengapa, tujuanku adalah tempat di mana si bungsu Inuzuka tinggal. Mungkin kalau aku ke rumah Gaara yang ada malah aku ikut di ceramahi olehnya, mengingat Gaara sama cerewetnya dengan ayah dan Ibu. Sasori? Jangan harap kekasihku selalu ada di apartement. Dia lebih banyak keluyuran.

Tapi sungguh, aku baru tahu kalau Kiba sekarang tinggal satu atap dengan Shikamaru. Setahuku, ibu Kiba belum mengizinkan mereka tinggal bersama walaupun Kiba kini telah menjadi mate dari alfa pemalas yang aku kenal itu.

"Naruchi, berhentilah menagis. Kau membuatku bingung."

Aku mengusap kedua mataku yang berair dengan sebelah tanganku. "Bagaimana aku tidak menangis? Ayah mengusirku." Isakku. "Aku harus kemana Kicchan?"

Bisa kulihat pipi Kiba bersemu, mungkin karena aku memanggilnya juga dengan panggilan masa kecil kami. Siapa suruh dia terus-menerus memanggilku 'Naruchi'? Usiaku sudah delapan belas tahun dan aku merasa panggilan itu sudah tidak cocok denganku.

"Bisakah kau berheti memanggilku seperti itu?" protesnya. Ia menarik pipiku dengan keras hingga aku menepis tangannya. "Malu tahu jika Shika mendengarnya."

Aku menyilangkan tanganku di dad, menatapnya dengan penuh selidik. "Sejak kapan kau menikah dengan Shikamaru itu?" sontak pertanyaanku membuat dia terkejut. Aku kan hanya bertanya saja padahal, reaksinya agak berlebihan.

"Siapa yang menikah, dasar kau bodoh!" aku meringis ketika Kiba menjitak kepalaku yang bersurai pirang ini. For your information, rambutku ini pirang sejak lahir, bukan karena aku mewarnai rambut untuk bergaya.

"Habis kau adalah mate Shikamaru, dan aku juga bisa mencium bau Shikamaru di seluruh sudut tempat tinggalmu. Jadi aku berpikir kalian sudah menikah." Aku memajukan beberapa senti bibir bawahku melihat Kiba yang mendadak memelototiku. Ugh, aku kan jadi ingat ayahku.

"Shikamaru hanya sedang menginap di sini untuk beberapa hari kedepan, Naruto. Dia menandai teritorinya, agar aku merasa nyaman jika heatku datang." Jelas Kiba dengan gugup. "Lagipula tinggal bersama kan belum tentu sudah menikah."

Aku berpikir sejenak. Bukan, bukan memikirkan pernikahan Kiba dan Shikamaru. Aku tidak mungkin tinggal di apartement Kiba dan menumpang selamanya bukan? Lagipula jika aku tadi tidak salah dengar, Kiba menyinggung soal heat, berarti sebentar lagi heatnya akan datang. Kiba pasti ingin menghabiskan masa menyiksa itu berduaan saja dengan kekasihnya yang jenius pasti. Walau Kiba mungkin tidak akan tega mengusirku, tapi aku juga harus tahu diri, 'kan?

Apa harus tinggal di apartement Sasori? Ah, bahkan ketika aku menceritakan perihal diusirnya aku oleh ayahku melalui sambungan telfon dengannya, Sasori sama sekali tidak datang melihatku. Sibuk sekali orang itu.

"Haruskah aku tinggal di apartement Sasori, Kiba?"

"TIDAK!" Kiba berteriak sangat nyaring sehingga membuat telingaku berdengung. Bisa tidak sih dia tidak usah seberlebihan ini reaksinya?

"Tinggal dengan Sasori adalah ide paling buruk darimu yang pernah aku dengar!" ucap sahabatku itu. "Kau kan bisa tinggal denganku, Naruto."

See? Kiba pasti menawarkanku tinggal bersamanya. "Aku tidak bisa terus tinggal denganmu, Kiba. Bisa-bisa Shikamaru cemburu padaku."

Kulihat mulut Kiba yang sedikit ternganga. Apa perkataanku tadi lucu ya? "Mana mungkin Shikamaru cemburu padamu?" Ia tertawa. "Kau 'kan sama denganku. Mungkin aku yang cemburu padamu nanti."

Perfect Nanny CandidateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang