Sebelumnya mohon maaf untuk kesalahan dari penulisan kata dan kesalahan-kesalahan lainnya.
let's start it!
Aldebaran Carel Fairuz
Rintik hujan menemani seorang anak muda yang masih mengenakan seragam putih birunya walaupun waktu telah menunjukkan pukul 8 malam. Ia setia menunggu seseorang yang dirindukannya setiap hari. Ia tetap tersenyum walaupun tubuhnya letih, tubuhnya lembap dan mulai bergetar kedinginan. Ia tidak peduli, ia tetap menunggu di tempat biasa menunggu. Ia tetap tersenyum, walaupun hatinya mulai ragu dengan ketidak pastian yang mulai bergumul di dalamnya.
"kenapa ayah lama yaa?" lirihnya entah pada siapa.
"mungkin ayah sibuk hari ini, ya...ayah gak mungkin lupa, dia pasti sibuk sampai gak bisa jemput tepat waktu" lanjutnya.
Tak lama kemudian terlihat sepasang cahaya menyilaukan menghampiri sang anak, ia tersenyum senang, dengan kedua tangan yang masih setia memeluk dirinya yang sudah kedinginan. Sesekali terdengar suara batuk dari mulunya.
Satu unit mobil jeep keluaran lama berhenti tapat dihadapannya, tak lama kemudian turun seorang pria paruh baya yang masih terlihat tampan diusianya yang hampir menginjak kepala empat dengan ekspresi khawatir melihat sang putra menghampirinya dengan langkah kecil yang terlihat lemah dan jangan lupakan tubuh kurusnya yang bergetar kedinginan.
Pria itu menangkup kedua sisi sang putra dengan kedua tangannya "kenapa masih nunggu ayah hmm?" dipandangnya kedua manik sayu itu dengan tatapan lembut.
Sang putra tersenyum begitu tenang "ayah udah bilang bakal jemput, tadi Deon nawarin ikut pake mobinya, tapi ayah udah janji bakal jemput hari ini"
"tapi ayah terlambat Al...apa yang ayah bilang yang harus kamu lakukan kalo ayah terlambat?"
"ayah kan udah janji, dan aku percaya ayah selalu menepati janji" jawabnya ringan.
Sang ayah menghembuskan nafasnya lelah, salahnya karena berjanji akan menjemput putranya hari ini. Semuanya memang sudah ia rencanakan dengan matang untuk menjemput putranya, namun apa daya, urusan kantor dirasanya lebih mendesak daripada sekedar menjemput putra sematawayangnya. Ia bukanlah seorang ayah yang baik, bukan(?)
"nanti aja kita lanjutkan ngobrolnya dirumah oke? Kamu udah menggigil gini"
Sang anak hanya mengangguk sambil mengikuti langkah lebar ayahnya, lagipula ia sudah tidak memiliki tenaga untuk berdebat dengan ayahnya saat ini.
Setelah keduanya duduk dengan nyaman di dalam mobil, sang ayah melepaskan jas yang ia gunakan dan menyelimuti sang putra yang terlihat semakin kedinginan, sepertinya yang ia takutkan benar-benar akan terjadi. Suara batuk dari mulut sang putra mulai terdengar lebih intens dan menyakitkan, nafas putranya itu bahkan sudah terdengar berat.
"kamu mau mampir ke klinik om Joni dulu Al?" tanyanya khawatir.
Sang putra berdeham sebelum menjawab pertanyaan ayahnya, suaranya mulai sulit keluat omong-omomg " gakk usah yah..Al mau pulang aja, jangan khawatir" lirihnya.
Sang ayah mengangguk maklum, putranya ini memang sangat sulit diajak ketempat berbau tajam seperti klinik. Ia sesegera mungkin melajukan mobil tuanya menuju rumah sederhana milik keluarga kecilnya. Meskipun kecil, ia selalu bahagia tiggal di dalamnya karena membangun rumah itu dengan keringatnya sendiri.
Perjalanan menuju rumah memakan waktu selama 15 menit, selama itu juga baran tertidur karena begitu kelelahan.
"Al..udah sampe nak, bangun dulu yuk" sang ayah menggoyangkan bahu putranya lembut, khawatir jika putranya terkejut saat dibangunkan.
Baran mengerjap lemah, membiasakan pandangannya yang agak buram setelah tidur singkatnya
Baran terlihat masih sangat mengantuk "udah sampe yah?"
Sang ayah tersenyum "ia Al..kita udah sampe, kuat jalan?"
Baran tersenyum, lalu mengangguk, tak ingin ayahnya lebih khawatir. Ia membuka pintu mobil dengan tenaga seadanya lalu melangkahkan kakinya keluar dari mobil dengan agak terhuyung. Sang ayah yang berada di sampingnya dangan sigap menahan tubuh kurus putranya dengan memegang kedua lengan lemas Baran.
"kalo emang gakuat tinggal bilang aja Al"
"maaf yah.." sesal Baran.
.
sang ayah menggiring putranya kedalam kamar yang tidak begitu luas. Ia menatap Baran khawatir, sedari tadi putranya batuk dengan nafas yang semakin berat. Baran memiliki penyakit asma yang diturunkan sang ibu.
"sesek ya Al?"
"dikit yahhh.."
"inhaler kamu dimana?"
"hhh...ditas"
Sang ayah membuka tas putranya dan menemukan inhaler pada bagian depan yang mudah dijangkau. Ia segera menyemprotkannya kedalam mulut sang puta setelah sebelumnya mengocoknya terlebih dahulu. Setelah semprotan kedua, Baran menghentikan tangan ayahnya, merasa nafasnya berangsur membaik.
"udah?" tanya sang ayah.
Baran mengangguk dengan mata terpejam, ia merasakan seragam lembapnya perlahan dibuka, kembali membuka kedua kelopak matanya.
"biar Al buka sendiri aja yah" ucapnya lemah.
Sang ayah terlihat ragu "beneran bisa?"
"bisa ko, ayah istirahat aja..besok harus kerja kan?"
Sang ayah nampak berpikir "keliatannya ayah ambil cuti dulu Al, nanti siapa yang jagain kamu kalo ayah kerja?"
Baran menggeleng "gausah ambil cuti yah...besok aku juga sekolah"
Giliran yang ayah yang menggeleng kuat "gimana mau sekolah? Kamu sakit begini kok"
"ayahhh...." Baran mulai melancaran aksinya merajuk pada sang ayah untuk mendapatkan izinnya agar tetap sekolah esok hari, bagaimana bisa ia tidak sekolah saat besok ada seleksi penting yang harus ia ikuti.
Sang ayah terdiam sejenak "hmm...kita liat kondisi kamu besok yaa" sang ayah menggusak pelan rambut putranya "kalo kamu cukup sehat buat sekolah, ayah bakal izinin. Tapi kalo masih sakit begini ya gabakal ayah kasih izin" finalnya.
Sang putra hanya membalasnya dengan membentuk huruf "O" menggunakan jari telunjuk dan jempolnya yang dirapatkan kedua ujungnya sambil tersenyum manis pada sang ayah.
Sang ayah berjalan menuju lemari yang berada pada sisi kanan ranjang dang mengeluarkan sepasang piyama yang dirasa cukup untuk menghangatkan tubuh putranya yang kedinginan
"sekarang ganti dulu bajunya nih, ayah ke kamar dulu...kalo butuh apa-apa tinggal panggil ayah aja oke?"
"okee"
.
.
.
TBC
.
Aku lagi coba hal baru, hehehe... mohon maaf kalo masih banyak kekurangan
(sumber mulmed: pinterest)
YOU ARE READING
Aldebaran [HIATUS]
Teen Fictionkebahagiaan bukan berasal dari apa yang kita miliki, namun berasal dari apa yang kita rasakan.