Pintu kamarnya tiba-tiba dibuka dari luar, terlihat sosok paruh baya dengan stelan tidur berwarna navy.
"udah bangun nak? Baru mau ayah bangunin" ucapnya santai.
Baran terkejut mendengar suara yang begitu ia rindukan. Penyebab dari kekacauan yang terlihat di wajahnya.
"ayah?"
Haikal mendekat ke arah putranya, tercetak raut penyesalan serta khawatir pada wajahnya. Ia berjongkok di hadapan Baran.
"maafin ayah ya Al, ayah bener-bener gak tau kalo kamu udah siapin makan malem buat ayah" sesalnya.
Baran masih bingung untuk menentukan sikap. Di satu sisi, ia kecewa pada ayahnya. Namun disisi lain, ia begitu ingin memeluk pria paruh baya di hadapannya ini untuk menyalurkan kerinduannya yang begitu besar.
"kamu sakit?" suara Haikal menyadarkan Baran dari lamunannya.
Wajah Baran pagi ini memang terliat pias, tatapannya pun terlihat sayu. Baran menggeleng.
Haikal menghela nafas "Al marah sama ayah?"
Baran kembali menggeleng.
"pak Will bilang hari ini jadwal checkup, mau Ayah anter?"
Rupanya penawaran itu mampu membuat Baran sedikit menolehkan wajahnya ke arah sang Ayah.
Baran tidak bisa lagi menyembunyikan senyumannya. Ia sedikit mengangguk untuk mengiyakan tawaran Haikal.
Haikal tersenyum lega "nah gitu dong, senyum"
"kamu nyeremin kalo gak mau ngomong kaya barusan" seloroh Haikal.
"Al gak pernah bisa marah sama Ayah" ujar Baran.
Haikal tersenyum, lalu mengelus surai putranya "Ayah tau".
"jadi, mau ayah anter?" tawar Haikal kemudian.
Baran mengangguk.
Ia kembali kalah dengan rayuan sang ayah, dengan mudahnya.
.
.
.
.
Sore ini Alya menemani putrinya bermain di halaman belakang rumahnya.Sudah menjadi kebiasaannya setiap hari untuk meluangkan waktu disela kesibukan pekerjaannya untuk putri sematawayangnya.
Dulu, Alya merupakan seorang wanita karir yang sangat mencintai pekerjaannya. Namun, bisa berubah 180 derajat setelah dianugerahi seorang putri kecil yang begitu ia cintai.
Kini, prioritas utamanya adalah putri kecilnya, Elle.
.
.
.
Sesuai Dengan janji Haikal, ia mengantar putranya untuk chechup. Saat mengantre untuk menunggu giliran masuk, Haikal tidak bisa lepas dari ponselnya.Terlihat begitu sibuk mengetikkan balasan pada seseorang.
Baran kesal melihat ayahnya yang masih saja sibuk walaupun sedang bersamanya. Ditambah lagi perutnya terasa tidak nyaman sejak bangun tidur tadi.
"yah, Al ke toilet bentar" izinnya.
Sang ayah tidak bergeming, masih berkutat dengan ponsel di tangannya.
Baran menghembuskan nafas kesal, ingin melancarkan protes tapi mual tiba-tiba menyerangnya. Ia berjalan tergesa sambil membekap mulut dengan sebelah tangan.
Sesampainya di toilet, Baran mengeluarkan sarapan paginya sampai tenggorokannya terasa terbakar dan perutnya kembali kosong.
'Apa-apaan ini, kenapa harus sakit saat akan checkup begini sih' rutuknya dalam hati.
Baran kembali duduk di samping ayahnya yang 'masih'dengan kesibukannya bersama ponsel.
Setelah menunggu selama beberapa menit, akhirnya tiba giliran Baran untuk menemui dokternya.
"Al bisa masuk sendiri dulu? Ayah harus ketemu klien di sekitar sini."
Baran tidak bergeming, ia telah setengah jalan menuju ruangan Joni. Ia sedang malas untuk mennggapi pertanyaan ayahnya yang entah ke berapa kalinya seperti ini.
Ia melanjutkan langkahnya tanpa berniat berbalik pada sang ayah. Baran berusaha menenangkan emosinya dengan menarik dan menghembuskan nafas dengan perlahan.
Haikal yang tidak melihat respon dari putranya mendesah pelan, ia paham bazhwa telah kembali melukai perasaan putranya.
Namun ia juga merasa bahwa tanggung jawabnya terhadap perusahaan begitu besar sehingga beberapa kali ia harus lebih mementingkan pekerjaannya daripada putranya.
Dan kini, ia kembali harus mengambil tindakan serupa.
.
.
.
TbcMaafkan aku yang lama banget gak update 🙏, bulan-bulan ini kegiatan kuliah lagi padet-padetnya. Sekalinya update cuma bisa sedikit -_-

YOU ARE READING
Aldebaran [HIATUS]
Teen Fictionkebahagiaan bukan berasal dari apa yang kita miliki, namun berasal dari apa yang kita rasakan.