sebelumnya mohon maaf untuk kesalahan penulisan atau kesalahan-kesalahan lainnya.
.
.
Perjalanan menuju rumah membutuhkan waktu sekitar 20 menit. Pak Will menghentikan kendaraan itu tepat di depan pintu masuk kediaman megah milik tuannya. Ia melihat ke arah tuan mudanya melalui cermin didalam mobil. Terlihat Baran yang masih setiamenutup mata dengan masker yang menutupi sebagian wajahnya. Pawill tidak tega membangunkan baran yang terlihat nyenyak. Ia turun dari kemudi dan membuka pintu di samping tempat duduk baran secara perlahan.
Rona pucat dari wajah Baran terlihat semakin jelas jika dilihat dari dekat, Pak Will menyingkirkan poni yang menutupi dahi tuan mudanya lembut lalu menyentuh dahi putih itu, terasa hangat. Ternyata tuan mudanya benar-benar sakit, tak jarang Pak Will menemukan tuan mudanya dalam keadaan drop semenjak ia bekerja pada ayah Baran. Namun, intensitasnya bertambah semenjak sang ayah semakin jarang memiliki waktu untuk menemaninya di rumah. Pak Will melihat tuan mudanya yang lebih banyak menyibukkan dirinya dengan kegiatan sekolah dan berorganisasi, sang sopir paham bahwa tuan mudanya itu hanya mencari pelarian untuk mengalihkan rasa rindunya terhadap sang ayah yang sulit dibendung.
Kini, tidak ada lagi Baran yang dijemput dengan mobil ketinggalan jaman milik ayahnya, tidak ada lagi Baran yang tidur di atas ranjang kecilnya yang berderit saat digunakan, tidak ada lagi baran yang datang ke sekolah dengan barang-barang murah yang itu-itu saja, tidak ada lagi Baran yang menunggu ayahnya menjemput selama ber jam-jam di halte depan sekolahnya. Yang ada saat ini hanyalah baran dengan segala fasilitas mewah yang ayahnya sediakan khusus untuk dirinya. Teman-teman yang awalnya melihatnya dengan pandangan aneh akhirnya mulai mendekat saat mengetahui bahwa Baran telah menjadi bagian dari mereka –dibaca:anak orang kaya- betapa berpengaruhnya uang dihadapan manusia.
Sang ayah membuktikan tekadnya saat mendengar alasan Baran yang begitu menginginkan mendali OSN saat duduk dibangku SMP dan ia benar-benar sukses saat ini. Karena kinerja yang yang begitu memuaskan, Haikal-Ayah Baran dipercaya untuk memegang anak perusahaan tempatnya bekerja. Tentu saja dengan gaji yang berkali-kali lipat lebih banyak daripada sebelumnya. Perusahaan ini bergerak pada bidang suku cadang otomotif yang sedang berada dalam masa kerjayaan. Pada awalnya, anak perusahaan yang ia kelola hampir saja gulung tikar, namun berkat kegigihan dan kemampuan Haikal dalam mengelola perusahaan akhirnya cabang perusahaan tersebut kembali bangkit dan berkembang pesat. Sang atasan yang merasa puas dengan hasil kerja bawahannya itu seringkali memberinya bonus yang tidak sedikit jumlahnya hingga akhirnya Haikal bisa memberikan fasilitas serba mewah bagi putranya hanya dalam waktu yang relatif singkat.
Namun, segala keberhasilan itu tidaklah gratis. Ada harga yang harus dibayarnya, kebersamaan dengan sang putra mau tidak mau harus ia korbankan. Karena cabang perusahaannya itu berada di luar kota, Haikal hanya akan pulang sekali dalam satu bulan, itu pun hanya selama dua sampai tiga hari.
Baran melangkahkan kaki jenjangnya gontai menuju ke bagian dalam rumahnya yang tidak terlalu besar karena hanya ditempati dirinya, sang ayah, satu pembantu rumah tangga dan sang sopir. Ia ingin segera masuk ke kamarnya namun merasa tidak mampu lagi berjalan dan berakhir dengan menidurkan tubuh lemasnya di atas sofa ruang keluarga. Ia kembali memejamkan matanya untuk menetralisir pening yang semakin mengganggu, sialnya lagi ia merasa ada sesuatu yang berat menekan kuat dadanya. Asthmanya kambuh di saat yang tidak tepat, ia berusaha mengatur nafasnya dengan tetap tenang, namun usahanya tidak membuahkan hasil. Ia butuh inhalernya, dan ia baru ingat bahwa tasnya ia tinggalkan di dalam mobil karena ingin segera beristirahat, ia merutuki kecerobohannya.
"Al ini tasnya...yaampun Al.." Pak Will terpogoh menghampiri tuan mudanya yang terlihat begitu tersiksa untuk sekedar mengambil nafas.
Pak Will mengeluarkan benda berwarna biru itu dari dalam tas sekolah milik Baran lalu memberikannya kepada Baran yang masih memiliki kekuatan untuk menggunakan inhalernya sendiri. Ia menghembuskan nafasnaya terlebih dahulu sebelum menghirup obatnya. Entah karena efek panik atau asmanya, baran malah terbatuk saat menyemprotkan obat itu kedalam mulutnya.
"tenang Al..jangan panik" intruksi Pak Will sambil mengangkat tubuh bagian atas Baran sedikit agar berada dalam posisi duduk bertumpu pada tubuh kekarnya.
Ia mengelus punggunng tuan mudanya agar lebih tenang, Baran masih terbatuk.
"bi..tolong ambilin air anget buat Al" teriaknya pada bi jum yang sdang berkutat di dapur.
Tak lama kemudian bi jum datang dengan mug berisi air hangat untuk baran dengan wajah khawatir. Ia segera meminumkan air hangat yang ia bawa kepada Baran. Batuknya sudah berhenti, tapi nafasnya masih sesak.
Pak Will mengambil alih inhaler yang ada di genggaman lemah Baran dan kembali mengulang prosedur penanganan seperti yang telah Baran lakukan terlebih dahulu. Baran masih terlihat kepayahan dalam mengambil nafas. Tubuhnya sudah dibanjiri keringat saat ini.
"masih sesek?" tanya Pak Will khawatir.
Yang ditanya hannya mengangguk, Baran tidak merasakan efek obat dari inhaler yang baru saja ia gunakan. Ia memejamkan matanya kuat-kuat, kedua tangannya kengepal sampai membuat buku jarinya memutih, jari-jari kakinyapun terlihat tegang.
"sa sakiit bangeet..." keluhnya dengan nafas pendek-pendek.
Kedua orang yang menyaksikan kesakitan yang dialami sang tuan muda terlihat mulai panik.
"bi bantu bawa Baran ke kamarnya" pintanya pada bi jum.
Dengan sigap keduanya membawa tubuh jangkung Baran kedalam kamarnya, setelah didudukkan dengan posisi punggung menyandar pada headboard ranjang, Bi Sum mengeluarkan tabung oksigen dari dalam nakas di samping ranjang milik Baran. Bi jum memasangkan nasal kanula di hidung bangir majikannya dengan hati-hati. Setelah terpasang, ia mengatur besar oksigen yang dibutuhkan baran dengan memutar tuas pada bagian atas tabung untuk membantu pernafasan Baran. Ia terliihat sudah berpengalaman untuk melakukan hal seperti ini, tentu saja, bukan sekali dua kali Baran kambuh saat dirumah yang mengharuskannya menggunakan nasal kanula seperti saat ini.
Bi Sum memandang ke arah baran yang terlihat mulai bisa bernafas dengan cukup baik "udah cukup al?" tanya bi Sum memastikan.
Baran mengangguk kecil. Nafasnya mulai membaik malaupun masih terasa agak berat dan sakit saat menarik nafas. Pak Will yang duduk disampingnya meraih kedua tangan Baran yang masih mengepal, meluruskannya perlahan dan mengoleskan minyak kayu putih di atas telapak tangan yang terasa dingin dan lembap itu. Pak will melakukan hal yang sama pada kedua telapak kaki Baran yang terlihat seperti sedang kram, lalu memakaikannya kaus kaki untuk membuat tubuh baran tetap hangat.
Baran yang kehabisan tenaga mulai memejamkan matanya yang terasa semakin berat, tak lama kemudian terdengar dengkuran halus dari kedua belah bibirnya yang sedikit terbuka. Hal itu dapat mengurangi rasa khawatir dua orang paruh baya yang berada di samping Baran saat ini.
Sebelah tangan Bi Sum bergerah menyingkirkan poni yang terasa basah dari dahi Baran, merasakansuhu tubuh tuan mudanya yang cukup tinggi.
"tolong gantiin bajunya bi, basah gini kasian Al"
Bi Sum segera melaksanakan permintaan Pak Will.
"ko tambah kurus aja sih badan kamu" lirihnya saat seragam putih Baran sudah tersingkap sepenuhnya, memperlihatkan tubuh kurusnya.
Pak will tersenyum kecut "titip dulu ya bi, kalo sampe nanti malem keadaannya gak membaik, saya telfonin omnya biar diperiksa"
Bi sum mengangguk, kedua tangannya masih sibuk dengan lap dengan air hangat yang ia usap-usap dipermukaan tubuh Baran dengan perlahan sebelum akhirnya mengeringkannya dan memakaikan pakaian baru yang lebih nyaman.
.
.
TBC
YOU ARE READING
Aldebaran [HIATUS]
Ficção Adolescentekebahagiaan bukan berasal dari apa yang kita miliki, namun berasal dari apa yang kita rasakan.