cklek
Obrolan antara paman dan keponakan itu harus terhenti saat mendengar suara pintu yang terbuka, menampakkan kehadiran Bi sum dengan bubur dan air minum diatas nampan yang ia bawa.
Bi sum nampak kikuk, tak enak hati mengganggu pembicaraan yang terlihat cukup serius.
"aduh..maaf saya ganggu, tapi Al belum makan sejak pulang sekolah tadi, jadi saya bawain bubur" sesalnya.
"eh ia gak apa-apa bi, bawa aja kesini. Biar saya yang suapin anak nakal ini" usul Joni.
Tanpa menunggu waktu lama, nampan berisi bubur itu telah berpindah ke tangan Joni.
"kalo gitu saya permisi dulu, titip al ya pak?"
"okee, Al aman di tangan saya kok bi.."
Bi sum kembali meninggalkan kamar tuan mudanya, menyisakan keheningan yang cukup mengganggu di antara Joni dan baran.
"om pulang aja, Al bisa makan sendiri. Kasian tante Nia pasti udah nungguin" baran buka suara.
Joni menggeleng "om udah bilang ko, om pengen liat kamu makan dulu, kalo makanannya gak bisa masuk terpaksa harus pasang infus. Ayo aaa..."
Baran menyerah dan membuka mulutnya. Satu suapan, dua suapan, sampai tiga suapan tidak terjadi masalah. Namun, pada suapan ke empat Baran meresakan perutnya bergejolak. Ah..dia kesal sekali, seharusnya ia bisa menghabiskan satu mangkuk bubur itu dengan mudah, tapi perutnya benar-benar menyebalkan kali ini. Baran membekap mulutnya dengan sebelah tangan, bahkan matanya mulai berair, berusaha menahan isi perutmya yang berontak ingin keluar.
Ia berhasil, isi perutnya tak jadi keluar. Tapi gejolak dalam perutnya tidak juga berkurang. Joni yang paham akan kondisi Baran pun menyodorkan air putih yang dibawa Bi Sum.
"gausah dipaksain kalo mual"
Baran tidak mau diinfus, karena menyakitkan saat tangan kita ditusuk dengan jarum berrongga seperti itu. Ia bertekad untuk menghabiskan setidaknya setengah mangkuk bubur untuk meyakinkan joni agar tidak memasang infus di punggung tangannya.
"aku gak.." belum juga menyelesaikan pekataannya, isi perutnya itu kini telah mencapai kerongkongan, ia kembali menutup mulutnya.
Dengan cekatan joni menaruh baskom kecil kehadapan Baran "gak usah ditahan, keluarin aja, pasti gak enak kan?" ucapnya lembut sambil mengolesi tengkuk baran dengan minyak kayu putih.
Baran menyerah, ia memuntahan bubur yang dengan susuh payah ia telan barusan.
"kamu gak makan siang ya?" tanya Jonitepat sasaran.
Baran memang tidak sempat makan siang karena malah sibuk mengobrol dengan kedua sahabatnya. Ia merutuki kebodohannya saat ini, bagaimana mungkin ia melewatkan waktu makannya dalam keadaan tidak fit. Baran mengangguk lemah setelah menyelesaikan acara cuci perutnya.
Ia menyandarkan tubuh lemasnya pada headboard, nafasnya terengah engah meskipun nasal kanula masih menenpel di bawah hidungnya.
Joni mengambil dua helai tisu untuk mengeringkan wajah pucat Baran yang berkeringat.
"kamu tiduran dulu, om mau pasang infus sekalian masukin obatnya biar gausah kamu minum"
Baran tidak melawan saat Joni menyamankan posisi tidurnya dan memsangkan jarum di punggung tangannya, ia meringis dengan sbelah tangan bebas mencengkram lemah selimutnya.
"om udah kasih obat tidur, biar bisa tidur nyenyak malem ini" jelas Joni.
Baran mengangguk lemah "makasih om" lirihnya sebelum memejamkan matanya, obatnya mulai bereaksi rupanya.
.
.
.
TBC
YOU ARE READING
Aldebaran [HIATUS]
Teen Fictionkebahagiaan bukan berasal dari apa yang kita miliki, namun berasal dari apa yang kita rasakan.