Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam, keadaan Baran tidak membaik. Suhu badannya malah semakin panas dari sebelumnya. Ia gelisah dalam tidurnya, meracau memanggil ayahnya. Kentara sekali sedang membutuhkan kehadiran sang ayah di sisinya.
Bi Sum masih setia duduk di sampingnya sambil mengganti kain di dahi remaja itu sesekali. Nasal kanula terlihat masih bertengger di hidung Baran, nafasnya masih terdengar berat.
Pak will telah menghubungi Joni yang biasa menangani Baran sejak kecil, setengah jam kemudian om nya itu baru sampai di kediaman Baran dan langsung melesat kedalam kamar sang kemenakan.
Terlihat Baran yang sedang tertidur dengan tidak tenang.
"Al..Al bangun dulu yuk, om mau periksa" ucapnya sambil mengelus surai kecokelatan baran dengan lembut.
Baran tidak bergeming, ia masih meracau mamanggil ayahnya lirih.
"Al..bangun dulu" Joni menepuk pipi keponakannya itu agak keras.
Baran akhirnya terbangun dengan nafas terengah-engah.
"kamu mimpi buruk lagi?" tanya joni khawatir, ia mencoba menenagkan baran dengan mengelus surainya lembut.
Baran mengangguk samar "kenapa om ada disini?" Baran bertanya dengan suara paraunya.
Joni tersenyum "gimana om gak kesini kalo ponakan om yang nakal ini sakit sambil manggil-manggil ayahnya kayak barusan hemm?" godanya sambil menjawil hidung Baran pelan.
Baran nampak heran, terihat dari sepasang alisnya yang saling bertaut "aku? Kapan aku panggil-panggil ayah?"
Joni terkekeh medengar kebingungan sang kemenakan "mau om telfonin ayah kamu?"
Bukannya menjawab kebingungan Baran, Joni malah melontarkan pertanyaan yang membuat lekukan di antara kedua alis Baran semakin jelas terlihat.
"kenapa harus telfon ayah?"
"om tau kamu lagi kangen berat sama ayah sampe kebawa mimpi kaya barusan"
Baran memalingkan wajahnya dari Joni "aku gak kangen kok" lirihnya.
Joni tersenyum mafhum "kamu bisa jujur sama om, gausah dipendem sediri kaya gini, sakit kan jadinya" ucapnya sambil menagkup sebelah tangan baran dengan kedua tangannya.
"om telfon ayah kamu sekarang ya?" tawarnya.
Baran menoleh cepat "jangan..ayah..ayah pasli lagi sibuk, kan?" ucapnya dengan suara melemah, kedua maniknya kini diselimuti lapisan kaca yang bisa meluruh kapan pun.
"Sesibuk apapun ayah kamu, dia harus tetep perhatian sama anak kesayangannya ini. Apalagi kamu sakit gara-gara virus rindu yang udah dia buat"
Baran menggeleng tak setuju terhadap pendapat Joni yang mengada-ada, meskipun tidak sepenuhnya salah. Sebagian hatinya bahkan membenarkan kata-kata Joni.
"aku cuma kecapen om, seminggu ini emang padet banget jadwalnya" ucapnya ragu, kedua maniknya terlihat memandang ke segala arah.
Joni membali menjawil hidung itu gemas "kamu emang gapunya bakat buat bohong yaa..."
Baran mendengus, omnya memang sangat paham terhadap apa yang ia rasakan. Bahkan ia rasa, Joni lebih peka daripada ayahnya sendiri terhadapa perasaannya.
Joni mengeluarkan benda pipih dari dalam saku kemeja yang ia gunakan. Joni berjalan sabil mendekatkan gawainya ke arah telinga.
"om gausah..udah pasti.."
"gak diangkat Al.."
Baran menghembuskan nafasnya berat "kan udah Al bilang gausah, pasti gak akan diangkat".
"biar om coba sekali lagi"
Joni kembali mendial nomor kakaknya
"percuma om, gak mungkin diangkat"
"halo?"
"......."
Baran menatap omnya itu tak percaya. Pasalnya, sang ayah sangat sulit dihubungi bahkan oleh dirinya sekalipun.
"sedang apa?"
"....."
"ia tolong sampaikan kalo Al lagi rindu berat sama ayahnya"
Baran kembali menunduk, sudah diaduga bahwa ayahnya tidak mungkin menerima panggilan itu. Pasti sekretarisnya ayahnya sedang tidak memegang ponsel saat ini.
"sampe dia ngedrop"
Baran menoleh cepat ke arah Joni dan menggeleng keras-keras, pergerakan cerobohnyaitu kembali mengundang pening pada kepalanya. Baran menopang dahinya dengan sebelang tangan.
"......"
"udah itu aja, tolong sampaikan pesan saya barusan ya?"
"......"
"oke, terimakasih"
Dan panggilan diakhiri.
Baran masih menunduk dengan memijat dahinya.
"kenapa om harus bilang kalo aku lagi drop?" lirihnya dengan suara rendah, ia mendongakkan kepalanya perlahan, memandang ke arah joni dengan mata sayunya.
Joni mengangkat sebelah alisnya "emang kenapa? Om gak bohong, kan?"
Baran kembali mendengus sebal "ya tapi gausah dibilangin juga, Al gak mau ganggu kerjaan ayah"
Joni hanya terssenyum mendengar alasan baran, ia mengeluarkan beberapa alat kesehatan dari dalam tasnya dan mulai memeriksa Baran. Mulai dari tekanan darah, irama detak jantung, suhu tubuh, serta nafas Baran.
Baran mengikuti serangkaian pemeriksaan itu dengan tenang meskipun masih terlihat kesal.
"akhir-akhir ini kamu sering kambuh?" selidiknya pada sang kemenakan.
Baran tidak menjawab, ia kembali memalingkan kepalanya ke arah berlawanan.
"obat dari inhaler udah gak terlalu berefek?" Joni tidak menyerah, ia masih melontarkan pertanyaan seputar kesehatan Baran.
Baran masih bungkam.
"kamu lebih gampang capek?"
Baran berdecih, panas juga lama-lama telinganya mendengar pertanyaan-pertanyaan Joni yang seluruhnya benar.
"om cerewet"
Joni menghembuskan nafas lega karena Baran kembali berbicara "bukan cerewet namanya, om itu khawatir sama kamu, dan om yakin 100% kalo kamu ngerasain semua gejala yang om tanyain barusan"
"aku baik-baik aja" jawab Baran dingin.
"kita ke rumah sakit sekarang ya?"
"gak"
"kamu harus diperiksa Al"
"tadi kan udah"
"om butuh peralatan yang lebih lengkap buat periksa kamu"
"gak perlu, om gak perlu repot-repot periksa, aku sehat"
Kemenakannya ini benar-benar keras kepala, tidak jauh berbeda dari ayahnya. Buah emang tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.
"asma kamu tambah parah Al"
"udah tau"
"kenapa kamu biarin? Kenapa gak hubungin om? Udah gak sayang sama diri sendiri hemm? gak sayang sama ayah kamu? gak sayang sama om?"
"bu bukannya gituu..."
"terus gimana Al? Kamu maunya kayak gimana? Jujur aja om capek kalo kamu kayak gini terus! om berusaha bikin kamu lebih baik, tapi kamu sendiri gak mau berusaha!"
"aku..aku cuma..." mara Baran mulai berkaca-kaca, ia berusaha menahan gejolak di dalam dadanya. Ia tak ingin terlihat lemah di hadapan Joni.
"Cuma apa?"
Cklek..
.
.
.
TBC
YOU ARE READING
Aldebaran [HIATUS]
Ficção Adolescentekebahagiaan bukan berasal dari apa yang kita miliki, namun berasal dari apa yang kita rasakan.