"tante..tante kenapa?" pemuda di hadapannya merasa khawatir saat wanita paruh baya di hadapannya menatap wajahnya tanpa berkedip, ia melambaikan telapak tangannya di dipepan wajah Alya.
"siapa nama kamu dek?" tanya Alya.
"akuu...
"Deoon jangan buru-buru!" interupsi sebuah suara khas milik seorang wanita dari arah belakang.
"nama kamu Deon?" Tanya Alya yang masih menunggu jawaban pemuda di hadapannya.
Deon menggaruk tengkuknya "ia tan maaf ya sekali lagi" tulusnya.
"Deon ngapain kamu duduk..eh yaampun, kamu apain ini anak orang?" kaget Risa-ibu Deon.
"Deon gasengaja tubruk ma"
Risa memandang khawatir ke arah Elle yang masih sesenggukan "adek cantik, sakit ya kakinya?"
Elle mengangguk tanpa memandang ke arah orang yang mengajaknya berbicara.
"tolong maafin kak Deon ya, barusan dia buru-buru solnya ayahnya lagi sakit. Adek cantik mau maafin kak Deon?"
Elle mengangkat pandangannya, melihat ke Arah Deon dengan pandangan sendu "Ayahnya kakak lagi sakit? Pasti kakak sedih ya?"
Deon tersenyum mendengar ketulusan yang terucap dari gadis cilik di hadapannya "kakak sediiih banget, lebih sedih lagi kalo kamu masih nangis gini" ucapnya seranya mengusap air mata di bilah pipi Elle.
"kamu mau kan maafin kakak?"
Elle manganggu tegas "tentu, Elle gak mau bikin kakak tambah sedih"
Alya yang sedari tadi hanya menjadi pengamat tersenyum bangga, tak menyangka bahwa hati polos sang putri begitu bersih dan tulus.
"anak mami emang kayak peri kecil beneran, ayo berdiri sayang. Kita kan mau ketemu temen-temen Elle"
"sekali lagi tolong maafin aku ya tante"
"mana mungkin tante gak maafin kamu sedangkan Elle sendiri udah bilang kayak gitu, yang penting lain kali kamu lebih hati-hati ya.."
Rona wajah Deon seketika kembali ceria "sip tante, makasih"
"kalo boleh tau kamu kelas berapa sekarang?"
"kelas tiga SMA tan"
"pantesan.." lirih Alya hampir tak terdengar.
"tante, aku permisi dulu"
"oh yaa..semoga ayahnya cepet sembuh" tulus Alya. . . . . Setelah menunggu satu minggu lamanya, akhirnya hari yang Baran nantikan tiba.
Hari ini sang ayah berjanji akan pulang untuk menemuinya.
Baran sudah sibuk sedari pagi, menyiapkan makan malam spesial untuk menyambut kepulangan ayahnya.
Sebenarnya Baran hanya ikut membuat list menu untuk disajikan dan berbelanja, ia memang paling payah dalam masalah perdapuran.
Rencananya sang ayah akan sampai di rumah pukul 7 malam dan Baran sudah terlihat begitu sibuk sedari siang.
"Baran, duduk dulu. Jangan bolak-balik terus, bibi pusing liatnya" seloroh Bi Jum. Sejujurnya ia khawatir melihat tuan mudanya tidak berhenti bergerak sedari pagi
Baran merengut tak suka "Baran kan bantuin bibi, biar kerjaannya cepet beres"
Bi Sum tersenyum geli "masih banyak waktu, santai sedikit dong"
Baran sedang malas berdebat dengan wanita paruhbaya di hadapannya dan memilih untuk menutut kali ini. Ia mendudukkan tubuhnya di atas sofa empuk di ruang keluarga.
Setelah mendudukkan tubuhnya, barulah Baran menyadari bahwa ia sudah kelelahan. Bagaimana bisa ia tidak menyadari konfisi tubuhnya sendiri akibat terlalu bersemangat menyambut kedatangan ayahnya.
"nah..udah kerasa kan capeknya?" goda Bi Sum yang kembali menengok ke arah Baran.
"hmm" Baran hanya membalasbya dengan gumaman tak jelas.
Bi Sum berinisiatif membawakan air minum untuk tuan mudanya yang terlihat kelelahan.
"makasih bii" Baran berujar pelan. . . . . Waktu menunjukkan pukul 10 malam dan Baran telah menunggu ayahnya sejak pukul 7. Ia sudah mencoba berkali-kali menghubungi ponsel sang ayah untuk menanyakan keberadaannya, namun belum ada satupun balasan.
Ia bahkan menghubungi ponsel sekretaris ayahnya, dan beliau mengatakan bahwa ayahnya telah berangkat sejak sore dan tanpa didampingi olehnya.
Baran menghela nafas 'lagi-lagi kayak gini' batinnya.
Pak Will yang merasa kasihan terhadap tuan mudanya pun berusaha menghibur Baran.
"istirahat dulu aja Al, nanti pas bangun tuan pasti udah di rumah" ucapnya sambil mengelus punggung Baran.
"wajar gak sih kalo Al marah sama ayah?" tanya Baran lirih.
"Al tau Ayah sibuk kaya gini buat Al, tapi Ayah udah sering banget kayak gini" ujarnya dengan emosi yang tertahan.
Pak Will yang paham bahwa saat ini Baran hanya butuh didengarkan pun hanya tersenyum mafhum.
"Al ngerasa semua yang Ayah kasih ini gak bisa ngegantiin waktu yang banyak terbuang tanpa kebersamaan"
"jujur kadang Al ngerasa sepi, meskipun Al punya banyak temen di sekolah, Al punya bibi sama Pak Will yang selalu ada, tapi sebagian hati Al kosong tanpa ada Ayah"
Baran mengusap wajahnya kasar.
"dan itu sangat mengganggu"
"mungkin orang lain bakal berpikir bahwa apa yang Al ungkapin ini berlebihan, tapi Ayah adalah satu-satunya keluarga yang Al miliki saat ini" emosi yang betusaha Baran tahan sedari tadi mulai membludak, matanya memanas dan tenggorokannya terasa kering.
Setetes cairan bening lolos dari matanya. Dengan gerakan cepat ia mengusapnya.
Baran bangkit dari duduknya "ah..kayanya Al mau tidur aja" ia benci memperlihatkan sisi lemahnya di hadapan orang lain, dan Baran berusaha untuk menghindar kali ini. . . . .
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Baran terbangun dengan kepala yang teasa berat, efek menangis semalaman. Matanya terlihat sembab dan bibirnya terlihat sedikit membengkak.
Ia berniat membasuh wajahnya, namun tubuhnya terasa lemas. Baran mendudukkan dirinya di ujung ranjang.
Ckek
Pintu kamarnya tiba-tiba dibuka dari luar, terlihat sosok paruhbaya dengan stelan tidur berwarna navy.
"udah bangun nak? Baru mau ayah bangunin" ucapnya santai.
Baran terkejut mendengar suara yang begitu ia rindukan. Penyebab dari kekacauan yang terlihat di wajahnya.
"ayah?" . . . . TBC
Sebelumnya mau minta maaf karena updatenya lama banget >_< sebenernya aku sempet kehilangan motivasi buat lanjut nulis. Tapi liat beberapa coment di work ini bikin semangat aku kembali. Terimakasih ^o^.