01

26.8K 2.3K 23
                                    

Jika kau terlalu banyak mengalami sakit secara batin karena kekasihmu, apakah kau akan terus-terusan menangis? Tidak. Seharusnya semakin berdiri tegak, melupakan fakta tentang perih yang kekasihmu torehkan di hati.

Jung Sonhee berdiri di pinggir halte. Menyumpali telinganya dengan earphone silver yang diberi oleh sang ayah. Menyaksikan orang-orang yang berlalu-lalang di seberang sana di panasnya pagi ini.

Senyumnya mengembang ketika beberapa anak kecil dengan seragam warna-warni dan tas ransel bergambar hello kitty berhenti di sampingnya. Mereka berbicara tanpa memedulikan sekitar yang bahkan dapat membahayakan diri. Namun kemudian Sonhee sadar kalau tak jauh di sana, ada sesosok wanita yang mungkin lebih tinggi darinya sedang berlari. Menarik telinga ketiga anak-anak itu bergantian sambil berkata, “Ibu ‘kan sudah bilang, jangan berlari di trotoar. Kalian ingin membuat Ibu sedih, ya?” ketiga anak itu lantas menggeleng cepat. Memeluk ibu mereka sesekali mencium pelipis bergantian.

“Itu semua anak-anak Ibu?” Sonhee refleks bertanya, membuat wanita itu menoleh sesaat membenarkan duduknya.

“Aku mengadopsi mereka. Yah, sebagai teman karena suamiku meninggal saat kecelakaan motor dua tahun lalu.”

Sonhee dapat melihat senyum yang wanita itu lemparkan. Terselip rasa sedih namun berhasil menutupinya. Wanita hebat yang Sonhee pernah temui setelah ibunya sendiri.

“Terkadang kau harus mengihklaskan apa yang tidak berhak kau genggam seutuhnya, ‘kan?” Sonhee melepas earphone yang sempat ia pasang lagi beberapa menit yang lalu. Wanita itu terkekeh, matanya menerawang pada langit yang memacarkan terik. “Aku terlalu sering menangisi suamiku. Tapi aku berpikir lagi, aku ini bodoh, bukan?”

Sonhee tak tahu harus menjawab apa. Gadis itu malah mengikuti arah pandang wanita di sebelahnya. Sedikit menyipit karena terik, kemudian ia berbicara. “Awal dari pertemuan, bukankah akan berakhir dengan perpisahan?” Sonhee mengepalkan salah satu tangannya. “Aku salut padamu karena bisa sekuat ini ... ah, aku harus pergi.” Bus yang Sonhee tunggu-tunggu menginterupsi kalimatnya sendiri. Gadis itu tersenyum simpul sambil mencubit salah satu pipi sang anak, kemudian melambaikan kedua tangannya.

....

“Sonhee-ya. Kau dipanggil Pak Kim di ruang guru.”

Sonhee mendengus. Ini sudah kali keempat si guru tua itu menyuruh untuk menghadapnya.

Tanpa membuang banyak waktu, Sonhee menutup novelnya. Melepaskan earphone dan bergegas ke ruang guru.

Mata sonhee menyapu ruang guru, mencari di mana pak Kim karena di meja yang seharusnya guru itu duduki sedang kosong. Tapi kemudian netranya mampu menemukan sosok pria tua dengan kacamata yang menggantung di leher dan penggaris kayu lipat di tangan sedang melihat juga ke arahnya. Sonhee menghampiri saat nama gadis itu terpanggil. Menuruti pak Kim kala pria tua itu menunjuk mejanya.

“Sonhee ... kau sudah makan?”

Sonhee memutar bola matanya, “Tidak perlu berbasa-basi, Pak Kim. Nilai apa yang merosot kali ini?” Sonhee melipat kedua lengannya di depan dada. Menepukkan ujung sepatunya ke lantai kayu.

Pak Kim menggeleng, “Tidak ada. Hanya saja...,” Pak Kim menjeda sejenak. Ia mengambil kacamatanya yang hendak ia pakai sebelum melanjutkan, “kau banyak melamun seminggu ini. Ada apa?”

“Bukan urusan Bapak.” Salah satu alis Pak Kim terangkat naik, sedikit tak menyangka dengan jawaban muridnya itu. “Urusan pribadi saya, agar saya yang simpan. Guru, teman, semuanya, tidak berhak bertanya ada apa dengan saya. Bukan begitu, Pak Kim?” Sonhee sebenarnya tidak mengerti, apa yang terjadi dengan dirinya.

Ia menyadari beberapa minggu ini nilainya merosot turun. Sering melamun saat guru sedang menjelaskan. Atau bahkan tak dapat menahan amarah jika ada yang terlalu banyak bertanya dengannya. Ditambah sikapnya yang mulai berani pada beberapa guru. Termasuk Pak Kim; wali kelasnya.

Pak Kim menghela lalu menghamburkan napasnya pelan. “Sonhee, kau sudah kelas tiga. Fokuslah pada sekolahmu. Bapak tidak ingin tahu ‘apa masalahmu’, hanya mungkin bisa meringankan saja.” Sonhee meniup salah satu surai yang menutupi sebagian kening sebagai jawaban. “Kau bisa kembali ke kelas, sekarang.”

Gadis itu memgangguk sambil melempar senyum buatannya.

Sonhee menggigit bibir bawahnya setelah menginjakkan kakinya keluar dari ruang guru. Ia tak menyangka kalau masalahnya akan seberat ini—sampai mengganggu kegiatan belajarnya. Dan saat gadis itu hendak memasuki kelas, suara seorang laki-laki yang memanggil namanya sontak membuatnya menghentikan langkah.

Sonhee mematung setelah berbalik. “Jeon Jungkook ...,” katanya pelan.

Laki-laki bernama Jungkook itu melambaikan tangannya. Ia berlari kecil untuk menghampiri Sonhee yang masih tak berkutik. Lalu Jungkook memamerkan gigi-gigi kelincinya, membuat matanya mengecil sipit.

“Hei, Sayang. Bagaimana kabarmu?”

———

Ini bakal jadi ff terpendek, ya. Satu part aku batesin ngga sampe 1000 kata. Tapi semoga kalian bisa suka.

-25 November 2018

JEON JUNGKOOK ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang